Kamis, 08 Mei 2014

SUATU MALAM DI PERKEMAHAN HW

Kepada pandu HW

I
Dalam pekatnya gelap
Kita bunuh kepengecutan
Dalam lembutnya dingin
Kita bakar semangat pandu
Dalam garangnya cita-cita
Kita bentuk barisan

Berteriaklah kita!
HW…HW…HW…YESS…!!!
Berprinsip ‘fastabiqul khairat’
Menegakkan panji-panji persyarikatan

II
Dalam letih yang tak terkata
Kita bulatkan barisan persatuan
Dalam kantuk yang menyengat mata
Tepuk kita tak akan pernah lemah
Semangat dengan ikhlas yang tak terkira
Nyanyian bawa kita menuju pagi

Kita tetap berteriak!
HW…HW…HW…YESS…!!!
Dengan haluan sedikit bicara banyak bekerja
Bawa kita dalam perjuangan tanpa henti

III
Perlahan kita melangkah
Menerobos alam sahabat kita
Sambil bercengkerama
Dengan angin dan dedaunan
Dalam barisan-barisan persatuan
Pelangsung dan penyempurna
Khittah perjuangan persyarikatan

Kita masih berjalan
Menerobos gelap yang  yang penuh rahasia
Kita sentuh kehidupan lain
Bersahabat dengan mereka



Andam Dewi.
Senin, 21 Maret 2011
Pukul 19.50 WIB

SIAPAKAH LAGI YANG AKAN BERTASBIH

siapakah lagi yang akan bertasbih
jika suara adzan tak lagi
mampu menggetarkan hati
dan komando-komando syetan
yang menyesatkan hati pikiran dan jiwa
malah kita elu-elukan di setiap desah nafas kita
ketakutan tidak bisa kita terangi
kebekuan tak bisa kita sinari

siapakah lagi yang akan bertasbih
jika suara hati nurani kita
telah ditunggangi oleh hawa nafsu
dan di mana kodrat kita
sebagai hamba kita letakkan
siapakah lagi yang akan bertasbih
jika ayat-ayat Al Qur'an tidak lagi kita jadikan imam
dalam buasnya roda-roda kehidupan
dan lihat mereka yang tergilas semakin gila dengan ketidakpastian

siapakah lagi yang bertasbih
jika di setiap tempat banyak orang berbicara
tentang angka-angka bernilai uang
dan mimpi-mimpi bunga tidur
dan kitab kumal bergambar syetan

siapakah lagi yang akan bertasbih
jika masjid musholla dan langgar sepi tak di huni
padahal bangunannya didirikan dengan modal raksasa
megah tidak ketulungan

siapakah lagi yang akan bertasbih
mari letakkan tangan kanan
di atas dada dan katakan
:mulai hari ini aku yang bertasbih

SEWARNA MIMPI

kesendirian
ternyata bukan
kesepian
kesunyian
kesedihan
ketakutan
tapi aku punya
makna
dalam itu
sungguh sewarna mimpi
tak dapat terduga sebelumnya

(2011)

SEUTAS KENANGAN

(Mengenang Kemesraan Mes)

bawalah seutas kenangan
tentang kita yang pernah terdendangkan
lewat sebait nyanyian
yang tak akan terlupakan
oleh matahari atau rembulan
bawalah seutas kenangan
ke dalam episode kehidupan
anggap semua berjalan dengan perlahan
atau kau sedang hidup dalam sejuta impian

sudah cukup lama
kesepian ini memeluk dada
hampir membuatku renta
bersemayam dalam rasa
hingga sudah tak terduga
aku masih setia
dan kaulah itu yang kudamba
dengan berharap aku terus membawa
meskipun entah akan ke mana

melayang sudah cinta dari dekapan
tinggal kini rindu dalam badan
hingga kini secara perlahan
aku akan tetap berjalan
mengarungi perih luka perjalanan
andai semua rasaku kau rasakan
bagai manis sebuah kecupan
atau bagai hangat sebuah dekapan

mungkin ini jadi saat terakhir kita bersama
setela waktu yang dinanti jadi percuma
sedang rindu hanya jadi sisa
yang akan meninggalkan kecewa
yang akan meninggalkan selaksa
dan aku pun tak akan tau seperti apa
kau membawa apa yang kau rasa
semoga saja kau bahagia

bawalah sebuah kenangan
di antara ribuan kenangan
yang pernah kita rasakan
dengan sejuta perasaan
yang dulu kita sediakan
untuk kebahagiaan
meskipun akhirnya kekecewaan
yang kita rasakan
(2009)

SETELAH LUKISAN PENGHABISAN

(Kepada Prof. DR. Dacnel Khamars)

pada dinding-dinding zaman
terpahat jejak-jejak peradaban
berbingkaikan dalamnya penghormatan
dihiasi rinai-rinai pembaharuan
yang datang dari
ganasnya akar kemiskinan
dan inilah mimpi penghargaan

belum tiba
pada rasa tersempurna
terus dan terus meraja
dalam berkarya
meski tak sama lagi
pada pandangan mata
badai, topan dan gelombang
yang menghempas
tak pernah sisakan
luka yang membusuk
inilah lukisan penghabisan
yang tercipta
dan sesudahnya
jangan pergi jauh ke sana
karena kami
masih membutuhkannya

jangan berhenti memberi kami
harapan-harapan sempurna
meski kita tau
tak ada yang sempurna
tapi kau yang dulu
dan kau yang kini
adalah insan berjasa
yang memberi kami peluang

kenang...kenang...
akan kami kenang hingga nanti
dengan sepercik do'a
yang kami baca
ketika kami datang dan pergi
dan tempat yang dibangun
dengan perjuangan ini
bukan lagi pelarian
bukan lagi pengisi waktu luang
bukan lagi bunga iseng

setelah lukisan penghabisan ini
kicau beo tak lagh terdengar
langit jua tak mendung lagi
tapi jangan pergi dulu
meski bentang usia
telah senja
nikmatilah dulu warna-warni
yang terlukis indah

SESEPI SEPI

sesepi ini kesepianku sesepi hari yang akan terus menampar silih berganti dan wajah sepiku memar tak terkira sesepi harap yang coba aku rajut dengan kata sepi yang aku bawa dari kesepian dan nanti akan aku bawa mengunjungi rahang sepi demi rahang sepi sesepi diriku yang terjatuh dalam kubangan resah karena yang kudapat dalam kesepian hanyalah rindu dan kau tak pernah ada di setiap sepi yang kudatangi

(2012)

SERIBU KALI SAJA

(rindu buat Mei Lin)

jika besok mentari akhirnya terbit pula
tataplah mega-mega indah
yang mengarak menemaninya
seperti rembulan yang terbit malam ini
dan mega-mega indah
yang mengarak menemaninya

atau tatap saja rintikan hujan
jika memang matahari tak ada
hitunglah ribuan rindu yang jatuh ke bumi
dan itulah rindu yang kutitipkan padamu

seperti matahari yang terbit
ukirlah seberapa besar semangat atau kesal
yang kau punya esok pagi
mungkin seribu kali semangatmu itu saja
hasrat dan gejolak sanubariku
ingin hidup di sisimu nanti
atau seribu kali kesalmu itu saja
yang kuhitung dengan kecewa
ketika rinduku semakin menelanku

seperti rintik hujan
dendangkanlah semangatmu atau kesalmu
pada dinding sang waktu
maka cukup seribu kali semangatmu itu saja
hasrat dan gejolak yang kurangkai
untuk bisa menatap wajahmu lagi
atau cukup seribu kali kesalmu itu saja
yang teronggok di dadaku
kehilangan kamu
(2009)

SERIBU DO'A


seribu do'a mulai kuhitung
dari setiap langkah menujumu
tak sedikitpun aku dapat peduli
lihat aku
pada memori-memori
rinai cahaya
ada sedikit rasa tak percaya
aku tak berdaya
dengan senyum itu

(2011)

Rabu, 07 Mei 2014

SASTRA PERIODE TAHUN 45


Periode tahun 1945 mencakup masa perkembangan sastra Indonesia dari tahun 1945 sampai sekitar tahun 1950. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 mempunyai pengaruh yang besar sekali bagi kebudayaan Indonesia, termasuk kehidupan dan perkembangan sastra. Bahasa Indonesia yang berkembang pesat pada masa Jepang, yang sudah dipergunakan sebagai media dalam segala keperluan hidup pada masa itu, sesudah Proklamasi Kemerdekaan ditetapkan sebagai bahasa resmi negara Republik Indonesia. Persentuhannya dengan kebudayaan bangsa lain dan dengan kemajuan teknologi modern makin memperkaya perkembangan bahasa Indonesia. Dengan demikian, sebagai media pengungkapan sastra, bahasa Indonesia memiliki potensi dan  kemampuan  yang makin bertambah besar.
Sikap para pengarang dan seniman tentang kebudayaan Indonesia berbeda dengan masa sebelum proklamasi. Mereka memandang perkembangan kebudayaan Indonesia dari horizon yang lebih luas. Kemerdekaan telah memberikan kebebasan bagi mereka untuk mengadakan orientasi pada perkembangan sastra dunia, baik Barat maupun Timur.
Pada mulanya konsepsi dan pandangan mereka tentang masalah kebudayaan hampir bersamaan, tetapi beberapa tahun kemudian timbul perbedaan-perbedaan. Walaupun perbedaan-perbedaan tersebut menjadi jelas dan tajam sesudah tahun 50-an, benihnya sudah tumbuh beberapa tahun sesudah kemerdekaan. Itulah sebabnya, periode tahun 1945 dibedakan atas dua corak, yaitu (a) Angkatan 45, dan (b) sastra di luar Angkatan 45.
Kehidupan sastra di luar Angkatan 45 tidak dibicarakan secara khusus. Sastra di luar Angkatan 45 meliputi kegiatan sastra para pengarang angkatan-angkatan sebelumnya yang tetap menulis pada sekitar 1945, seperti Nur Sutan iskandar, Sutan Takdir Alisjahbana, dan lain-lain. Selain itu, termasuk dalam kelompok tersebut para pengarang yang kemudian menolak eksistensi dan konsepsi Angkatan 45 seperti pengarang-pengarang Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Seperti juga pada setiap pembagian yang terdahulu maka batas-batas antara dua corak itu tidak tegas benar. Pembagian itu lebih bersifat menjelaskan, bahwa tidak semua pengarang dan seniman mendukung konsepsi dan ide Angkatan 45.

PENGERTIAN ANGKATAN 45 DAN SIKAP PENGARANG TERHADAP ISTILAH ANGKATAN 45
1.       Pengertian Angkatan 45
Dalam masyarakat Indonesia istilah Angkatan 45 memiliki dua pengertian, yaitu (1) pengertian dalam bidang politik, dan (2) pengertian dalam bidang sastra dan seni.
Angkatan 45 dalam bidang politik mencakup tokoh-tokoh masyarakat yang aktif berperan dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan sekitar tahun 1945. Angkatan 45 dalam pengertian ini memiliki organisasi dan kepengurusan sendiri sejak dari pimpinan pusat sampai pada cabang-cabangnya di daerah tingkat II di seluruh Indonesia.
Angkatan 45 dalam bidang sastra dan seni mencakup sejumlah pengarang dan seniman Indonesia sejak masa sesudah Perang Dunia II dan yang memiliki konsepsi dan corak tersendiri yang berbeda dengan angkatan terdahulu.
Kedua pengertian itu tidak memiliki hubungan secara langsung, tidak seperti halnya dua pengertian yang terkandung pada istilah Pujangga Baru. Dalam hal ini bila disebut Angkatan 45 yang dimaksud ialah Angkatan 45 dalam bidang sastra dan seni.
Nama Angkatan 45 sebenarnya baru terkenal  mulai tahun 1949 pada waktu Rosihan Anwar untuk pertama kalinya melansir istilah Angkatan 45 dalam suatu uraiannya dalam majalah Siasat tanggal 9 Januari 1949. Sebelum itu, orang menggunakan istilah bermacam-macam, yaitu Angkatan Kemerdekaan, Angkatan Chairil Anwar, Angkatan Sesudah Perang, Angkatan Pembebasan, Generasi Gelanggang,, Angkatan Bambu Runcing, dan sebagainya.
Sejak tahun 1949 untuk menyebut angkatan yang dimaksud orang menggunakan istilah Angkatan 45. Walaupun namanya Angkatan 45, sebenarnya angkatan itu sudah timbul sejak tahun 1942 (zaman Jepang), yaitu sejak munculnya sajak-sajak Chairil Anwar, yang baik bentuk, , gaya bahasa, maupun isinya lain dari puisi-puisi sebelumnya.
Yang banyak jasanya dalam mempertegas kehadiran Angkatan 45 serta kedudukan penyair dan sastrawan pendukungnya ialah H.B. Jassin. Ia berhasil memberikan keterangan tentang seluk beluk angkatan itu dan memberikan uraian tentang kepeloporan Chairil Anwar dalam angkatan tersebut.
2.       Sikap Para Pengarang Terhadap Istilah Angkatan 45
Ada beberapa pendapat tentang istilah Angkatan 45, ada yang setuju terhadap istilah tersebut, ada pula yang menyatakan kemerdekaan. Mochtar Lubis, Pramudya Ananta Toer, dan Sitor Situmorang, termasuk pengarang yang menerima penggunaan istilah Angkatan 45, sedangkan Asrul Sani dan beberapa pengarang lagi termasuk yang keberatan dengan istilah Angkatan 45 dengan beberapa istilah dan semboyan lain yang sering digunakan oleh angkatan tersebut. Baik yang setuju atau pun tidak, mempunyai dasar alasan masing-masing.
Beberapa alasan yang dikemukakan oleh mereka yang tidak setuju dengan istilah itu ialah sebagai berikut.
a.       Tahun 1945, yaitu tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tidak sepenuhnya berhubungan dengan hal-hal yang mulia dan baik, karena pada tahun itu juga terjadi pembunuhan dan penculikan pada kedua pihak yang bertempur. Dengan demikian, penamaan angkatan dengan tahun 1945 dapat juga mengingatkan kita pada hal-hal yang keji dan kotor.
b.       Para sastrawan diragukan sahamnya bagi perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan  sehingga timbul kesangsian apakah mereka berhak menggunakan nama keramat Angkatan 45. Keraguan itu berdasar atas adanya beberapa karangan Chairil Anwar yang terlalu bersifat individualistis, karangan Idrus yang tampak sisnis terhadap perjuangan atau revolusi bangsa, dan juga karangan Asrul Sani yang sering disebut bersifat aristokratis intelektual.
c.       Angka tahun, yaitu tahun 1945, adaah satu kesatuan waktu yang sangat singkat dan relatif terlalu fana sehingga dengan penamaan tahun 1945 itu akan dengan cepat menimbulkan sifat kekolotan beberapa tahun kemudian.
Sebaliknya mereka yang setuju dengan istilah Angkatan 45 membantah alasan-alasan tersebut.
a.       Dikatakan, bahwa dalam menilai sesuatu peristiwa kita harus dapat membedakan yang pokok dengan yang tidak. Pembunuhan dan penculikan adalah soal kecil jika dibandingkan dengan masalah perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan suatu bangsa. Kemerdekaan adalah syarat mutlak bagi perkembangan kebudayaan suatu bangsa, termasuk perkembangan sastra itu sendiri. Dengan demikian, penamaan angkatan dengan nama tahun 1945 tetap memiliki nilai yang luhur, tidak perlu harus dalam kaitannya dengan nilai-nilai yang rendah.
b.       Memang ada puisi-puisi karya penyair bangsa kita pada saat itu yang memiliki interpretasi negatif, tetapi apabila diteliti benar-benar dan diresapkan sungguh-sungguh banyak puisi Chairil Anwar dan juga penyair yang lain, yang mengandung pikiran yang dalam, yang tidak sedikit peranannya bagi perjuangan kemerdekaan. Salah satu contoh, misalnya puisi Krawang-Bekasi karya Chairil Anwar. Di samping itu, juga harus diingat bahwa perjuangan kemerdekaan tidak harus selalu dalam hubungan  dengan perjuangan fisik atau senjata, tetapi memiliki pengertian luas.
c.       Sebenarnya, tidak hanya penamaan yang menggunakan angka tahun yang mudah menimbulkan sifat kekolotan, tetapi penamaan akan menjadi bersifat kolot apabila sudah timbul angkatan atau generasi yang baru.
Berdasarkan hal-hal tersebut, mereka berpendapat bahwa tahun 45 adalah tahun yang mulia bagi sejarah perjuangan bangsa, tahun berhasilnya bangsa  Indonesia memperoleh kemerdekaan. Karena kemerdekaan suatu bangsa merupakan syarat mutlak  bagi perkembangan kebudayaan bangsa  itu maka pada tempatnyalah apabila angkatan sastra di Indonesia sesudah Perang Dunia II menggunakan nama Angkatan 45.
Pada kenyataannya, hingga dewasa ini nama Angkatan 45 tetap digunakan dalam masyarakat, walupun para pengarang yang lazim digolongkan dalam hal-hal tertentu mempunyai sikap dan pendirian yang berbeda. Asrul Sani misalnya, kecuali tidak tertarik adanya suatu angkatan dan penamaan angkatan itu, juga tidak setuju dengan penggunaan semboyan-semboyan yang sering kurang dipahami benar isinya.

PERBEDAAN ANGKATAN 45 DENGAN ANGKATAN PUJANGGA BARU
1.       Pendapat A. Teeuw
Teeuw berpendapat bahwa ada perbedaan asasi antara Angkatan 45 dengan Pujangga Baru, dan perbedaan itu berupa sifat universal yang terdapat pada Angkatan 45. Dikatakan bahwa “Mereka adalah manusia internasional yang modern dari tahun 1945 dan mereka memperlihatkan yang demikian itu dalam rupa Indonesianya, tetapi hal ini soal kedua’ (1953: 172). Walaupun demikian perlu dibuat beberapa catatan sebagai berikut.
a.       Tidak benar dan tidak adil apabila orang mengatakan bahwa sebelum tahun 1945 belum ada kesusastraan Indonesia. Orang yang mengatakan demikian berarti tidak mengenal Amir Hamzah dan peranan Pujangga Baru. Pendapat sendiri dianggap mutlak kebenarannya sehingga dengan sendirinya juga  memberikan hak kepada angkatan yang akan datang untuk mengingkari peranan angkatan 45.
b.       Juga tidak benar anggapan yang menyatakan bahwa perbedaan Angkatan Pujangga Baru dengan Angkatan 45, dapat dimisalkan sebagai perbedaan antara kepastian dan ilmu pengetahuan di satu pihak dengan keyakinan  dan elan di pihak lain seperti pendapat Sitor Situmorang. Seperti kita ketahui bahwa Sitor Situmorang berpendapat bahwa Angkatan Pujangga Baru dibesarkan dengan zat dan semangat penjajahan, pikiran mereka penuh dengan ilmu pengetahuan dan rumus-rumus pasti, tetapi mereka tidak ada keyakinan  dan semangat untuk berbuat dan bertindak. Tidak seperti halnya Angkatan 45. Pendapat tersebut tentu saja tidak adil  atau tidak benar sepenuhnya. Proklamsi bahasa Indonesia tahun 1928 yang dicetuskan para pemuda masa itu pun berdasarkan keyakinan. Demikian juga apabila diresapkan benar-benar hampir pada semua karangan Sutan Takdir Alisjahbana terdapat elan dan semangat, yaitu semangat berjuang bagi kepentingan bangsa.
c.       Di samping perbedaan asasi seperti tersebut di atas, ada pula garis-garis penghubung di antara keduanya. Menurut A. Teeuw, berdasarkan karangan prosa dan puisinya (terutama novel Belenggu), Armijn Pane berhak sebagai penghubung dalam masa peralihan antara kedua angkatan itu, walaupun ia masih di pihak Pujangga Baru.
d.       Selain itu harus diingat bahwa  seseorang dimasukkan dalam angkatan, bukanlah semata-mata berdasarkan tahun lahirnya.
Catatan-catatan di atas dimaksudkan untuk  menyatakan bahwa perbedaan kedua angkatan itu tidak mutlak benar.
2.       Pendapat H.B. Jassin
Menurut Jassin, perbedaan antara Pujangga Baru dengan Angkatan 45 terutama terletak dalam dua hal, yaitu:
a.       Gaya
Meskipun antara pengarang Angkatan 45 yang seorang dengan yang lain terdapat perbedaan pandangan hidup, mereka memiliki persamaan dalam hal gaya, yaitu gaya ekspresi yang mendarah daging. Gaya ekspresi bertentangan dengan gaya impresi. Gaya ekspresi berusaha mengadakan pendekatan terhadap sumber asal pikiran dan keinsafan manusia sebelum dipengaruhi oleh pikiran luar. Gaya ekspresi menangkap pikiran dan keinsafan itu dalam bentuknya yang asli, yang masih berupa inti hakikat dari pernyataan jiwa yang hendak dilahirkan. Oleh karena itu, gaya ekspresi bersifat lontaran pernyataan jiwa yang serta merta.
b.       Konsepsi
Angkatan 45 memiliki konsepsi yang jelas, yaitu humanisme universal. Konsepsi ini memandang manusia dalam wujud hakikatnya, memandang manusia atas dasar sifat-sifatnya yang umum, tanpa membedakan jenis kelamin, usia, dan sebagainya.
Pada hakikatnya, setiap manusia sama, yaitu (1) memiliki jiwa rasional, etis dan estetis. Manusia adalah makhluk berpikir, berkeadaban, dan memiliki rasa keindahan; (2) mendambakan nilai-nilai yang luhur: kebebasan, keadilan, kemerdekaan, kejujuran, dan persamaan derajat dan kedudukan.
Oleh karena itu, humanisme universal berusaha memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur yang berlaku pada setiap manusia dan setiap bangsa. Oleh Jassin dikatakan  bahwa dengan konsepsi tersebut Angkatan 45 tidak mengabdi pada satu isme, tetapi mengabdi pada kemanusiaan yang mengandung segala yang baik dan segala isme.
Berdasarkan konsepsi ini, maka titik berat perhatian Angkatan 45 dalam kebudayaan terletak pada pembentukan kebudayaan dunia, kebudayaan yang bersifat universal yang muncul dengan corak Indonesia. Konsepsi ini jelas sekali tercantum pada pernyataan mereka yang bernama Surat Kepercayaan Gelanggang.
3.       Pendapat dan Keterangan dari Beberapa Pengarang Angkatan 45 tentang Pujangga Baru
a.       Rivai Apin
Rivai Apin berpendapat bahwa Pujangga Baru dalam memandang alam mudah berteriak pura-pura dengan kata seru: O, wah, aduhai, dan sebagainya. Rivai Apin memandang alam itu sebagai sesuatu yang diterimanya seperti menerima adanya diri sendiri.
b.       Asrul Sani
Asru Sani berpendapat bahwa Pujangga Baru mencoba memperoleh keindahan karangan dengan segala bunga kata dan terlalu banyak menggunakan beelspraak (kata perbandingan). Mereka menempatkan filsafatnya dalam kepalanya, bukan dalam penghidupan. Kehidupan di pandang sebagai wujud dari puisi, bukan lagi sebagai unsur dari puisi.
c.       Sitor Situmorang
Sitor Situmorang mengatakan bahwa “pandangan dan tenaga mencipta kebudayaan Pujangga Baru terikat pada zamannya, zaman sebelum Perang Dunia II, di zaman penjajahan dengan zat-zat penjajahan”. Dikatakannya, bahwa Sutan Takdir Alisjahbana masih hidup dalam alam pikiran antitese Barat dan Timur; sedangkan bagi Angkatan 45 yang dipersoalkan bukan lagi masalah Barat dan Timur, melainkan masalah manusia, yaitu manusia telanjang pada manusia genetik.
4.       Pendapat dan Keterangan  dari Pujangga Baru
Armijn Pane menganggap bahwa antara keduanya tidak ada perbedaan asasi. Demikian juga Sutan Takdir Alisjahbana menentang keras suatu anggapan, bahwa kedua angkatan itu ada perbedaan yang tajam. Ia beranggapan bahwa “dilihat dari jurusan pembebasan manusia baru dan pembuka kemungkinan-kemungkinan baru bagi bahasa Indonesia; sesungguhnya gerakan Angkatan 45 itu suatu sambungan belaka dari Pujangga Baru”. Sikap STA ini dibuktikan juga dengan usaha menerbitkan kembali majalah Pujangga Baru pada tahun 1948, yang akhirnya tahun 1954 berhenti terbit untuk selama-lamanya. Majalah Pujangga Baru sesudah perang ini tidak semata-mata menyuarakan Angkatan 33 saja. Angkatan 45 pun turut menyumbangkan tulisan-tulisannya. Majalah Pujangga Baru sesudah perang bersifat heterogen.
Menghadapi dua sikap dari dua pihak tersebut Jassin memberikan kesimpulan bahwa antara Angkatan Pujangga Baru dan Angkatan 45 sesungguhnya tidak ada pertentangan, hanya ada perbedaan, tetapi perbedaan itu sangat nyata beralasan perlainan rasa hidup.
5.       Kesimpulan
Dari berbagai pendapat dan keterangan yang tersebut di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara Angkatan 45 dengan Angkatan Pujangga Baru meliputi hal-hal sebagai berikut.
a.       Perbedaan Konsepsi
Perbedaan yang paling penting antara kedua angkatan itu ialah perbedaan konsepsi. Angkatan 45 memiliki konsepsi humanisme universal, yang meletakkan tekanan pembangunan kebudayaan pada kebudayaan dunia. Seperti dinyatakan dalam Surat Kepercayaan Gelanggang, yaitu suatu pernyataan Angkatan 45, mereka adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan akan mereka teruskan kebudayaan itu dengan cara mereka sendiri.
Pengarang-pengarang Angkatan 45 dalam manusia universal yang memandang manusia terutama pada wujud hakikatnya. Masalah corak Indonesia soal kedua karena tekanan terletak pada manusia universal.
Sebaliknya, konsepsi Pujangga Baru menitikberatkan perjuangan membentuk kebudayaan persatuan kebangsaan. Mereka memiliki kesamaan cita-cita, yaitu kebudayaan persatuan kebangsaan, walaupun bagaimana pembentukannya mereka berbeda pendapat. Pengarang-pengarang Pujangga Baru adalah mereka yang mendambakan manusia Indonesia dengan kebudayaan yang bercorak Indonesia pula.
b.       Perbedaan Gaya
Seperti disebutkan di atas, Angkatan 45 pada umumnya memiliki gaya ekspresi, yang mengutamakan keaslian pengucapan jiwa. Jelmaan pengalaman jiwanya bersifat lontaran perasaan yang serta merta. Gaya ekspresi yang mendarah daging ini disebabkan oleh sikap dan pandangan yang bersifat revelusioner yang tidak  hendak terikat oleh tradisi dan konvensi yang sudah beku.
Angkatan Pujangga Baru pada umumnya memiliki gaya impresi, yang lebih banyak terikat pada kesan-kesan  luar dari objek-objek yang dilukiskan. Jelmaan pengalaman jiwanya lebih banyak ditentukan oleh pikiran-pikiran luar yang mungkin berupa pertimbangan-pertimbangan dari segi ilmu pengetahuan, filsafat, tradisi, serta konvensi-konvensi yang ada dalam masyarakat.
c.       Perbedaan Corak Aliran
Karena sikapnya yang hendak melukiskan segala sesuatu sampai sedalam-dalamnya maka umumnya karya sastra Angkatan 45 bercorak romantik realitas/naturalis. Corak ini jelas sekali pada karangan-karangan yang berupa prosa, seperti novel karangan Idrus, Pramudya Ananta Toer, Mochtar Lubis, dan lain-lain. Sebaliknya, Angkatan Pujangga Baru umumnya bercorak romantik idealistis. Mereka melukiskan sesuatu tidak dengan sikap menerima seperti apa adanya, melainkan lebih banyak dipengaruhi oleh emosi dan harapan-harapannya.
d.       Perbedaan Peranan Majalah sebagai Media Angkatan
Angkatan Pujangga Baru memiliki majalah Pujangga Baru, yang khusus memuat karangan, pikiran, dan pendapat pengarang-pengarang Pujangga Baru. Dari majalah itu kita dapat mengikuti pertumbuhan dan dan perkembangan serta cita-cita Pujangga Baru. Majalah itu merupakan suatu lingkungan yang mempersatukan mereka.
Angkatan 45 tidak memiliki lingkungan tertentu yang tetap, baik dalam wujud organisasi maupun majalah. Majalah yang pertama terbit sesudah perang ialah majalah Panca Raya, yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Majalah ini sering memuat puisi Chairil Anwar, tetapi bukan semata-mata majalah kesusastraan, dan dengan sendirinya bukan pembawa suara Angkatan 45. Pada tahun 1946 didirikan semacam organisasi Gelanggang, yang pendirinya antara lain: Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, M. Akbar Juhana serta para pelukis Mochtar Apin, Baharuddin, dan Henk Ngantung. Hasilnya menerbitkan majalah Gema Suasana, yang kemudian berubah menjadi Gema yang berlangsung 1 Januari 1948 s.d Oktober 1950. Selain itu, mereka juga banyak menulis dalam Gelanggang, suatu lampiran majalah Siasat yang sejak Oktober 1950 menggunakan subtitel Cahier Seni dan Sastra, dengan redaksi Asrul Sani dan Rivai Apin. Itulah mungkin media yang dicoba untuk membentuk lingkungan mereka, tetapi tidak dapat bertahan lama.
Beberapa majalah kebudayaan lain yang terbit sesudah kemerdekaan antara lain: Indonesia, yang semula diterbitkan oleh Balai Pustaka dengan Idrus sebagai pimpinan redakturnya, kemudian diterbitkan oleh Badam Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) sebagai lembaga kebudayaan hasil Kongres Kebudayaan di Magelang (1948). Kongresnya yang kedua di Bandung (1952). Di samping itu, terbit majalah Zenith, Pujangga Baru (versi sesudah Perang), Mimbar Indonesia, Konfrontasi (yang sering dipandang sebagai kelanjutan majalah Pujangga Baru), Seni, dan lain-lain. Majalah-majalah tersebut tidak ada yang dapat dipandang sebagai media khusus Angkatan 45.

SURAT KEPERCAYAAN GELANGGANG
Surat Kepercayaan Gelanggang merupakan sikap dan pendirian Angkatan 45, walaupun pernyataan itu dibuat pada tanggal 18 Pebruari 1950 dan baru disiarkan dalam majalah Siasat pimpinan Rosihan Anwar pada tanggal 22 Oktober 1950. Jadi, lebih kurang setahun sesudah Chairil Anwar meninggal (28 April 1949).
Surat Kepercayaan Gelanggang adalah pernyataan sikap perkumpulan “Gelanggang Seniman Merdeka”, suatu perkumpulan yang didirikan pada tahun 1947 yang di dalamnya selain pengarang, juga berkumpul pelukis-pelukis, musikus, dan seniman lain. Karena pengarang Angkatan 45 berkumpul bergerak dalam kelompok ini maka Surat Kepercayaan Gelanggang dipandang sebagai pernyataan sikap dan pendirian Angkatan 45 atau sebagai perwujudan konsepsi angkatan tersebut.
Isi selengkapnya Surat Kepercayaan Gelanggang itu sebagai berikut.

SURAT KEPERCAYAAN GELANGGANG

Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur baur dari mana dunia-dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.

Keindonesiaan kami tidak semata-mata kilit kami sawo matang, rambut kami yang hitam, atau tulang pelipis kami yang menjorok ke depan, tapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati pikiran kami. Kami tidak akan memberikan suatu kata-ikatan untuk kebudayaan Indonesia. Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kehidupan baru yang sehat. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang disebabkan oleh bentuk suara sendiri. Kami akan menentang segala usaha-usaha yang mempersempit dan menghalangi tidak betulnya pemeriksaan ukuran nilai.

Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan. Demikian kami berpendapat, bahwa revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai.

Dalam penemuan kami, kami mungkin tidak selalu asli, yang pokok ditemui itu adalah manusia. Dalam mencari, membahas, dan menelaahlah kami membawa sifat sendiri.

Penghargaan kami terhadap keadaan keliling (masyarakat) adalah penghargaan orang-orang yang mengetahui adanya saling pengaruh antara masyarakat dan seniman.

                                                                                                        Jakarta, 18 Pebruari 1950

Bilamana kita ringkaskan, maka isi pokok Surat Kepercayaan Gelanggang tersebut ialah:
1.       Angkatan 45 memandang dirinya sebagai ahli waris kebudayaan dunia dan akan diteruskan kebudayaan itu menurut cara mereka sendiri.
2.       Keindonesiaan mereka hanya dapat dikenaldari wujud pernyataan hati dan pikiran mereka, bukan dari bentuk-bentuk lahirnya.
3.       Kebudayaan Indonesia Baru tidak semata-mata berdasarkan kebudayaan Indonesia Lama, tetapi ditetapkan dari ramuan hasil kebudayaan yang datang dari segenap penjuru dunia, yang kemudian dilontarkan kembali dalam wujud ciptaan menurut kehendak mereka.
4.       Revolusi bagi mereka adalah penempatan nilai-nilai baru di atas nilai-nilai lama yang sudah usang yang harus dihancurkan.
5.       Mereka berpendapat bahwa antara masyarakat dan seniman terjadi saling mempengaruhi.
Surat Kepercayaan Gelanggang penting artinya untuk memahami sikap, pendirian, cita-cita Angkatan 45. Konsepsi Angkatan 45 tercermin dan bersumber Surat Kepercayaan Gelanggang.
Walaupun di antara pengarang Angkatan 45 ada yang tidak setuju dengan Surat Kepercayaan Gelanggang, pada hakikatnya antara Surat Kepercayaan Gelanggang dengan Angkatan 45 ada kaitan yang erat sekali.

PARA PENGARANG ANGKATAN 45
1.       Chairil Anwar
Berdasarkan penelitian H.B. Jassin, selama kegiatannya dari tahun 1942 sampai tahun 1949 Chairil Anwar telah menghasilkan 94 tulisan, yang terdiri dari 70 puisi asli, 4 puisi saduran, 10 puisi terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan.
Akan tetapi, seperti yang telah disebutkan, jumlah 70 puisi asli itu harus dikurangi dua sebagai puisi saduran, yaitu (1) puisi Di Masjid, sebagai saduran puisi De Waan Zinnige, karangan Jan H. Eekhout, (2) puisi Taman, sebagai saduran puisi De Tuin, karangan Anthonie Donker dalam kumpulan puisinya De Einder.
Dari jumlah semuanya itu, menurut penyelidikan ternyata 8 puisi Chairil berupa plagiat, yang terdiri atas 6 puisi saduran dan 2 puisi terjemahan. Puisi plagiat yang berupa saduran kecuali 2 puisi yang ditunjukkan oleh J.E Tatengkeng seperti tersebut di atas, maka puisi yang lain adalah: (a) Rumahku, saduran puisi Woninglooze karangan Slauerhoff. (b) Kepada Peminta-minta, saduran puisi Tot den Arme karangan Willem Elsschot. (c) Orang Berdua,  saduran puisi de Geisheidenen, karangan H. Marsman. (d) Krawang Bekasi (Kenang, Kenanglah Kami), saduran puisi The Young Dead Soldiers, karangan Mac Leish. Satu di antara saduran tersebut seperti di bawah ini berdasarkan penelitian H.B. Jassin.

Tot Den Arme

1)           Gij met uw’ weiflend’ handen
2)           en met uw vreemden hoed,
3)           uw aanblik streamt mijn bloed
4)           en doet mij klappertanden
5)           Verhalen moet gij niet
6)           Van uw eentonig leven
7)           het staat op u geschreven
8)           wat er met u geschiedt.

9)           De letterteekens spelen
10)       om uwen armen mond,
11)       die kommervolle wond
12)       Waarlangs uw vingers streelen.
13)       Het klinkt uit uwen tred,
14)       het snikt uwe kluchten,
15)       het sujpelt uit de luchten
16)       waar gij u nederzed

17)       Het komt mijn droomen storen
18)       en smakt mij op den grond,
19)       ik prof het in mijn mond
20)       het grinnikt in mijn ooren.

21)       Ik zal ter kerke gaan
22)       en biechten mijne zonden,
23)       en leven met de honden,
24)       maar staar mij niet zoo aan
(Willem Elsschot)

Kepada Peminta-minta

21.      Baik, baik aku akan menghadap dia
22.      Menyerahkan diri dan segala dosa
24.      Tapi jangan lagi tentang aku
3.        Nanti darahku jadi beku
5.        Jangan lagi kau bercerita
7.        Sudah tercacar semua di muka
            Nanah meleleh dari muka
            Sambil berjalan kau usap juga
13.      Bersuara tiap kau melangkah
            Mengerang tiap kau memandang
15.      Menetes dari suasana kau datang
            Sembarang kau merebah
17.      Mengganggu dalam mimpiku
18.      Menghempas aku di bumi keras
19.      Di bibirku terasa pedas
20.      Mengaum di telingaku
21.      Baik, baik aku akan menghadap Dia
22.      Menyerahkan diri dan sagala dosa
24.      Tapi jangan lagi tentang aku
3.        Nanti darahku jadi beku

Adapun plagiat yang berupa terjemahan yaitu: (a) Datang Dara Hilang Dara, terjemahan sajak A Song of the Sea, karangan Hsu Chih Mo. (b) Fragmen (tiada lagi yang akan diperikan), satu fragmen dari Preludes to Attitude, yaitu bagian IX yang berjudul Nothing to Sasy You Say, karangan Conrad Aiken. Berikut ini adalah kutipan satu bagian terjemahan A Song of the Sea.

“Girl, girl alone,
Why do you wander
The twilight shore
Girl, go home, girl!”

“No, I won’t go!
Lwt the evening wind blow
On the sands, in the glow
My hair is combed by the winds,
As Jander to and fro”.

Terjemahannya:

“Dara, dara yang sendiri,
Berani mengembara
Mencari di pantai senja,
Dara, ayo pulang saja, dara!”

“Tidak, aku tidak mau!
Bila angin malam menderu
Menyapu pasir, menyapu gelombang
Dan sejenak pula halus menyisir rambutku
Aku mengembara sampai menemu?
(Jassin, 1956: 95)

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa Chairil Anwar mendapat pengaruh dari beberapa penyair Belanda sebelum Perang Dunia II, seprti H. Marsman, Slauerhoff, E. Du Perron, Ter Braak, Jan H. Eekhout, dan lain-lain. Pengaruh Marsman pertama-tama tapak pada sikap Chairil, yaitu sikap hidup yang penuh vitalitas. Vitalisme Marsman banyak memberikan dorongan dalam kehidupan Chairil. Di samping itu, juga sajak-sajak Marsman memberikan pengaruh pada sajak-sajak Chairil.
Tentang pengaruh-pengaruh pada Chairil Anwar ini, H.B. Jassin mengatakan bahwa pengaruh-pengaruh itu sudah demikian meresapnya pada jiwanya sehingga terjalin secara organis dalam hasil seninya. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa dalam pengaruh itu tampak pula keaslian diri pribadinya. Lebih lanjut, H.B. Jassin memberikan analisis proses itu pada Chairil Anwar. Mula-mula ada sesuatu yang hidup pada jiwa Chairil yang menghendaki pengucapan. Dalam usaha mencari bentuk pengucapan itu Chairil bertemu dengan Marsman dan Slauerhoff, dan kemudian Chairil menggunakan alat yang dipakai oleh kedua penyair Belanda itu dalam pengucapannya.
Pengaruh yang ada pada Chairil Anwar dapat berupa pengambilan motif yang sama, penggunaan kata dan perbandingan yang serupa, dapat juga semata-mata berupa persamaan semangat. Oleh Jassin diberikan beberapa contoh pengaruh dalam hal penggunaan motif yang sama, tetapi dalam wujud pikiran yang berbeda, antara lain sebagai berikut:

weining liefde en wijn, veel water
soms en racket, een zweep, maar
stelling nimmer een zwaard.
(Marsman)

Sekali lagi kawan, sebaris lagi:
Tikamkan pedangmu, hingga ke hulu
Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!
(Chairil Anwar)

Contoh lain:

De rozen worden zwarten in uw haar
war zijn uw handen?
(Marsman)

Matamu ungu membatu
Masih berdekapankah kami atau
mengikut juga bayangan itu?
(Chairil Anwar)

Adapun sajak Chairil yang mendapat pengaruh dari sajak-sajak H. Marsman, baik pengaruh dalam arti penggunaan motif yang sama maupun pengaruh dalam arti saduran, yaitu: (a) Orang Berdua (dengan Mirap) saduran puisi sajak Marsman, yang berjudul De Gesheidene; (b) Kepada Kawan, mendapat pengaruh dari sajak-sajak Marsman yang berjudul de Hand van Diechter, Doodsstrijd; Don Juan; Ontmoeting in Memoriam Mijzelf.
Di samping itu, pada sajak-sajak Chairil yang berjudul Selamat Tinggal dan Aku, menurut Slametmuljana juga ada unsur pengaruh dari sajak-sajak Marsman, tetapi oleh Jassin dikatakan bahwa adanya pengaruh itu terlalu dicari-cari.
Selain H. Marsman, maka Slauerhoff adalah penyair Belanda yang banyak mempengaruhi Chairil Anwar. Mereka berdua bersama dengan Du Perron, Ter Braak, dan Elsschot (Belgia) adalah penyair-penyair yang banyak menulis dalam majalah Forum dan De vrije Bladen.
Tentang daftar selengkapnya nama puisi karangan Chairil Anwar, baik yang asli, saduran, terjemahan, maupun pengaruh-pengaruh yang tampak pada puisi tersebut dapat dibaca pada buku Chairil Anwar, Pelopor Angkatan 45, yang disusun oleh H.B. Jassin.
Memang tidak dapat disangkal peranan Jassin besar sekali bagi terkenalnya Chairil sebagai penyair, baik dalam masyarakat sastra Indonesia maupun di luar negeri, terutama di dunia Barat. Dalam hal ini perlu disebutkan juga jasa Sutan Syahrir yang memberikan keterangan-keterangan tentang penyair Chairil pada tahun 1947 di Paris sehingga sastrawan-sastrawan Barat tertarik pada puisi-puisi Chairil.
Dalam masyarakat sastra Indonesia, pembicaraan tentang Chairil dan karangan-karangannya telah banyak dilakukan. Bahkan, Boen S. Oemarjati telah memperoleh gelar doktor dalam bidang ilmu sastra dengan mengambil disertasi yang berjudul Chairil Anwar, The Poet and His Language, di bawah bimbingan A. Teeuw.
Di samping itu, dalam masyarakat Indonesia dewasa ini ada kecenderungan menjadikan hari wafatnya Chairil Anwar tanggal 28 April sebagai hari kegiatan kesusastraan. Bahkan ada pemikiran untuk menjadikan tanggal tersebut sebagai hari kesusastraan atau hari Chairil Anwar.
Kepeloporan Chairil Anwar dalam perkembangan sastra Indonesia memang tidak dapat diragukan. Ia telah mengadakan pembaharuan dalam bidang puisi Indonesia. Beberapa keistimewaan puisi Chairil Anwar antara lain:
a.       penggunaan bentuk-bentuk puisi bebas yang tidak terikat oleh jumlah baris, jumlah suku kata, dan rima akhir yang teratur;
b.       penggunaan unsur-unsur bunyi secara intensif sehingga di samping sebagai pendukung arti, bunyi-bunyi tersebut mampu menjelmakan suasana tertentu;
c.       penggunaan gaya bahasa, lambang, dan perbandingan-perbandingan baru yang bersifat universal, misalnya: mengembara serupa Ahasveros; dikutuksumpahi Eros;
d.       penjelmaan ide, pikiran, dan pengalaman jiwa dalam wujud yang bersifat prismatis, yang memiliki kedalaman makna dan keluasan pengertian. Puisi prismatis adalah puisi yang bersifat membias, yang tidak langsung berbicara kepada kita. Ide dan makna yang terkandung di dalamnya perlu ditafsirkan melalui lambang, perbandingan, motifmotif yang digunakan dalam puisi itu. Puisi-puisi yang ditulis sebelum Chairil umumnya bersifat diafan, artinya langsung dapat dimengerti maksudnya tanpa banyak penafsiran;
e.       pemilihan kata yang digali dengan segenap kemampuannya, sehingga kata-kata yang terdapat dalam puisinya benar-benar digunakan setepat-tepatnya, baik ditinjau dari segi arti, bunyi, bentuk, susunan, maupun gaya bahasanya;
f.        penggunaan gaya ekspresi yang benar-benar mengutamakan keaslian pengucapan, menjelmakan pikiran-pikiran dalam wujudnya yang murni;
g.       dalam usahanya menjelmakan pikiran dengan kata yang setepat-tepatnya tersebut, Chairil telah menempa pemakaian bahasa Indonesia dalam wujud yang baru, yang sering dipandang menyimpang dari cara-cara tradisional.
Jika dikaji benar-benar, masih ada hal lain dalam puisi Chairil yang dapat dipandang sebagai suatu pembaharuan dibandingkan dengan puisi-puisi masa sebelumnya.
Rachmat Djoko Pradopo (1976: 11) mengatakan bahwa bila diselidiki, dalam puisi-puisi Chairil tampak adanya gaya imajisma, yaitu suatu gaya yang “melukiskan pengertian dengan imaji-imaji, dengan memberikan lukisan/keadaan yang berarti ganda, yang sugestif”. Diberikan contoh misalnya baris-baris puisi Chairil yang berbunyi: Hidup dari hidupku pintu terbuka//Selama matamu bagku menengadah, dapat ditafsirkan “Penyair akan selalu mendapatkan jalan, harapan-harapan (pintu terbuka), selama kekasihnya, istrinya masih cinta/setia (menengadah) kepadanya.”
Puisi imajisma yang murni lazimnya pendek-pendek, bebas, dan berupa lukisan-lukisan saja. Ide dan emosi penyair dijelmakan melalui imaji-imaji yang jelas dan tepat yang merupakan suatu kebulatan.
Dalam perkembangan puisi kontemporer pada dewasa ini beberapa penyair menggunakan gaya mantra dan tipografi sebagai unsur kepuitisan yang penting. Seorang tokoh penting dalam hal ini ialah Sutardji Calzoum Bachri yang telah menerbitkan kumpulan puisinya yang berjudul O Amuk Kapak. Menurut Rachmat Djoko Pradopo, prototipe gaya mantra itu sesungguhnya sudah ada pada puisi Chairil Anwar, antara lain yang berjudul Cerita Buat Dien Tamaela. Kepeloporan Chairil tidak dapat disangkal lagi. Ia telah membawa corak baru dalam perkembangan puisi Indonesia, terutama dalam gaya dan pengucapannya yang puitis, juga dalam hal ide dan pikiran yang terkandung di dalamnya. Akan tetapi, dari mana pembaharuan itu dan bagaimana puisi-puisinya orang dapat berbeda pendapat.
Sutan Takdir Alisjahbana (1975: 55) menilai bahwa dalam hal perkembangan bahasa Indonesia, Chairil telah membuka kemungkinan-kemungkinan ke arah yang tak terduga-duga. Chairil memiliki keberanian memberikan arti sendiri pada kata-kata, mengadakan kombinasi kata-kata yang menantang semua konvensi, membuat susunan kalimat yang melompat-lompat dengan ketiba-tibaan, lekuk dan kelok yang tak tersangka-sangka, dengan memakai logika yang sering bersifat antilogika, tetapi justru karena sekaliannya itu menimbulkan ketajaman dan kedalaman arti yang jarang tersua.
Dalam hal ini Sutan Takdir Alisjahbana memandang bahwa percobaan ke arah puisi serupa telah tampak pada Rustam Effendi, bahkan lebih-lebih pada Armijn Pane. Beberapa puisi Chairil tentang maut oleh Sutan Takdir Alisjahbana dipandang sebagai gejala pesimisme, akibat pertemuannya dengan penyair-penyair Eropa sebelum Perang Dunia II. Oleh karena itulah, dalam penilaian keseluruhan puisi Chairil Anwar, akhirnya Sutan Takdir Alisjahbana (1975: 60) sampai pada suatu pendapat sebagai berikut.

“Saya bandingkan sajak-sajak Chairil Anwar dengan makan rujak yang asam, pedas, dan asin yang bermanfaat untuk menyegarkan bagi orang yang terlampau banyak makan yang bergemuk atau yang mempunyai diet yang terlampau monotopi, dan selanjutnya saya berkata: ‘Seharusnya kita mesti girang dengan kesegaran yang dibawanya dalam suasana di negeri kita, asal saja kita ingat, rujak yang asam, pedas, asin, dan banyak terasinya ini bermanfaat untuk mengeluarkan keringat, tetapi tak dapat dijadikan sari kehidupan manusia. Ini kebudayaan meniti benang di atas jurang’.
Rujak bukanlah makanan yang mengenyangkan, yang menumbuhkan tulang dan otot, dan dapat menjadi dasar dari kehidupan yang sehat.”

Demikianlah beberapa penilaian kembali tentang Chairil Anwar dan karyanya. Di samping itu, ada hal-hal yang perlu dibicarakan di sini, walaupun hal tersebut sudah sejak lama dibicarakan orang.
a.       Vitalitas Chairil Anwar
Vitalitas berarti kemampuan hidup penuh dengan semangat. Seorang vitalis berarti seorang yang memiliki semangat atau nafsu hidup yang meluap-luap. Bahwa Chairil Anwar seorang vitalis, tidak dapat dibantah lagi. Akan tetapi, vitalitas Chairil Anwar berbeda dengan vitalitas pengarang-pengarang sebelumnya.
Vitalitas Chairil Anwar merupakan semangat hidup yang berusaha hendak mengisi eksistensi hidup ini dengan sepenuh-penuhnya dan mempertanggungjawabkan hidup dengan penuh kesadaran. Chairil Anwar menghadapi hidup ini dengan seluruh adanya dirinya, dengan akunya yang bebas. Chairil ingin merombak cara berfikir yang dogmatis dan ingin menegakkan pikiran-pikiran baru demi martabat manusia. Sikap inilah yang menyebabkan beberapa puisi Chairil Anwar tampak bersifat anarkistis dan individualistis.
Chairil berusaha meneguk hidup ini sepuas-puasnya, hendak mengisi hidup ini sepenuh-penuhnya, dan menyelami hidup ini sampai pada segala ceruk meruknya. Sebagai konsekuensi sikap hidup semacam itu ialah pergulatannya dengan maut. Itulah sebabnya, Slametmuljana dan Sutan Takdir Alisjahbana memandang vitalitas Chairil sebagai vitalitas yang bersifat pesimistis dan tragis. Dalam penyelidikan terhadap puisi-puisi Chairil Anwar, terutama yang terdapat dalam kumpulan puisi Deru Campur Debu, Slametmuljana berkesimpulan bahwa puisi-puisi Chairil Anwar mulai dengan kesedihan dan berakhir dengan kesedihan.
Dibandingkan dengan vitalitas Sutan Takdir Alisjahbana lain halnya. Sutan Takdir Alisjahbana memiliki semangat hidup yang penuh dengan kegembiraan, semangat hidup yang bergelora demi perjuangan bangsa.
Sebenarnya vitalitas itu ada pada setiap pengarang, hanya corak dan kadar intensitasnya berlainan. Sutan Takdir Alisjahbana menilai vitalitas Rustam Effendi tak kurang dari vitalitas Chairil Anwar. Akan tetapi, vitalitas Rustam Effendi masih kusut berbelit-belit dengan romantik, kurang memiliki kebebasan sabagaimana Chairil Anwar.
b.       Individualisme Chairil Anwar
Individualisme Chairil Anwar bukan individualisme yang egistis atau uber mens. Individualisme atau keakuan Chairil Anwar berpangkal pada sikap hidup dan eksistensialitasnya.
Keakuan Chairil bukan untuk kepentingan diri sendiri atau berpusat pada dirinya sendiri. Keakuan Chairil dimaksudkan untuk kepentingan martabat dan nilai-nilai kemanusiaan. Manusia hidup harus dapat mengisi eksistensinya. Memperjuangkan hakikat kemanusiannya, yang semuanya itu tidak perlu harus sejalan dengan nilai-nilai kemasyarakatan, tradisi atau konvensi-konvensi yang sudah ada.
c.       Pandangan Chairil Anwar tentang Ilham dan Keindahan
Chairil membedakan dua macam ilham, yaitu ilham yang sebenarnya dan ilham yang tidak sebenarnya. Tidak semua yang menggetarkan jiwa itu ilham. Ilham harus dicari dan jika diperoleh kemudian ditimbang, dipilih, dan dikupas, dan jika perlu dilemparkan sama sekali. Dalam mencari ilham seorang pengarang seharusnya aktif mengadakan orientasi terhadap pengarang-pengarang dunia, dan menyelami seluruh liku-liku kehidupan. Menurut Chairil Anwar, seni adalah harmoni antara ilham dan pikiran.
Berbeda dengan sikap Chairil Anwar tentang ilham, pengarang-pengarang Pujangga Baru pada umumnya bersikap menunggu dan beranggapan bahwa seni itu adalah  terutama perasaan.
Tentang keindahan, Chairil berpendapat bahwa keindahan harus berpangkal pada vitalitas, pada hidup, dan nafsu hidup. Chairil Anwar menyebutkan bahwa vitalitas itu chaostis voorstadium, sedangkan keindahan itu cosmis eindstadium. Vitalitas itu sifatnya kacau balau, campur baur, sedangkan keindahan bersifat harmonis, penuh keselarasan.
d.       Masalah Bentuk dan Isi
Chairil berpendapat bahwa hasil sastra “terbagi” dalam bentuk dan isi, walaupun batas antara keduanya tidak dapat dikemukakan karena keduanya “rapat berjalan sama, mereka gonta-ganti tutup menutupi”.
Yang jadi bentuk adalah cara si seniman menyatakan perasaan-perasaan dengan yang istimewa, yang khas, dan yang sanggup mengharukan pembaca dan peminat. Jadi, yang penting menurut Chairil adalah “si seniman dengan caranya menyatakan harus memastikan tentang tenaga perasaan-perasaan”, yang dengan bahan bahasa yang dipakai secara intuitif.
Adapun karangan-karangan Chairil yang sudah dibukukan yaitu: (1) Deru Campur Debu, kumpulan puisi yang diterbitkan pertama kali tahun 1949 oleh Penerbit Pembangunan. Kumpulan ini terdiri dari 27 puisi. (2) Kerikil Tajam dan Yang Terempas dan Yang Putus, kumpulan puisi yang diterbitkan pada tahun 1949 oleh Pustaka Rakyat. Kumpulan ini terbagi atas dua bagian, yaitu Kerikil Tajam yang terdiri atas 32 puisi dan Yang Terempas dan Yang Putus terdiri atas 11 puisi.
Anehnya, sebagain besar puisi yang terdapat pada kumpulan Deru Campur Debu terdapat pula pada Kerikil Tajam dan yang Terempas dan yang Putus.
Selain tiga kumpulan puisi tersebut, ada beberapa puisi Chairil yang dikumpulkan bersama puisi Srul Sani dan Rivai Apin, yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1950 dengan judul Tiga Menguak Takdir. Dalam kumpulan puisi bertiga ini hanya ada satu puisi yang belum disiarkan dalam dua kumpulan puisinya yang terdahulu.
Judul ini menarik perhatiaan penelaah sastra karena mengandung kata-kata yang dapat ditafsirkan dalam dua pengertian, yaitu (1) Tiga Menguak Takdir (Takdir = nasib) atau (2) Tiga Menguak Takdir (Takdir = pemimpin Pujangga Baru). Judul yang beruapa kata-kata semacam itu terdapat juga dalam sastra Belanda, yaitu kumpulan puisi yang berjudul Drie op een Perron (Tiga di Atas Sebuah Perron), yang di dalam buku itu tiga penyair muda Belanda menentang seorang penyair, kritikus, dan esais terkenal, Du Perron.
Selain tiga kumpulan puisi di atas, masih ada beberapa karangan Chairil yang terserak-serak pada berbagai majalah, sebagian besar berupa puisi dan ada juga berbentuk prosa.
H.B. Jassin telah mencoba mengumpulkan dan menganalisis tulisan-tulisan tersebut yang kemudian diterbitkan dengan judul Chairil Anwar, Pelopor Angkatan 45. Karangan Chairil yang berupa prosa ada 6 yang asli, yaitu yang berjudul Pidato Chairil Anwar 1943; Berhadapan Mata; Hoppla; Tiga Muka Satu Pokok; Pidato Radio 1946; dan Membuat Sajak, Melihat Lukisan. Berikut ini adalah kutipan sebagian karangan Chairil yang berbentuk prosa.

PIDATO RADIO 1946

Kawan-kawan pendengar,
Sebuah sdjak jang mendjadi adalah suatu dunia. Dunia jang didjadikan, ditjiptakan kembali oleh sipenjair. Ditjiptakannja kembali, dibentukkannja dari benda (materie) dan rohani, keadaan (ideeel dan visueel) alam dan penghidupan sekelilingnja, dia djuga mendapat bahan dari hasil-hasil kesenian lain jang berarti bagi dia, berhubungan djiwa dengan dia, dari pikiran-pikiran dan pendapat-pendapat orang lain, segala jang masuk dalam bajngannja (veerbeelding), anasir-anasir atau unsurunsur jang sudah ada didjadikannja, dihungkannja satu sama lain, dikawinkannja mendjadi satu kesatuan jang penuh (indah serta mengharukan) dan baru, suatu dunia baru, dunia kepunjaan penjair itu sendiri.
Djalan, ketumbuhan, proses dari pentjiptan kembali ini, datangnnja, keluarnnja, tersemburnnja dari konsepsi si penjair, penglihatannja (visie), tjita-tjitanja (ideaal-ideaal), perasaan dan pergeseran hidupnja, pandangan hidupnja, dasar pikirannja.
Semua tjabang-tjabang dan ranting-ranting dari bahan pokok jang besar ini haruslah sesuatu jang dialami, didjalani (dalam djiwa, tjita, perasaan, pikiran atau pengalaman hidup sendiri) oleh si penjair, mendjadi sebagain dari dia, suka dan dukanja sendiri. Dan ditambah lagi dengan tenaga mentjipta, tenaga membentuk, jang mengatur dengan pikir serta rasa, dengan pertimbangan dan pikiran sehingga terdjadilah suatu kehidupan, suasana, kehidupan dan tokoh (gestalte).
Sebuah sadjak, sebuah hasil kesenian mendjadi penting dan berarti bukanlah karena pandjangnja atau pendeknja, tetapi karena tingkatnja, kadarnja (gehalte). Jang menentukan ini adalah dalamnja (karena ketinggiannja, djauhnja) penglihatan, kupasan, pandangan si seniman tadi dalam mendjatuhkan, memadukan suara, kehidupan dan tokoh (gestalte).

Chairil yang lahir di Medan, 26 Juli 1922, tidak berumur panjang. Ia meninggal pada tanggal 28 April 1949. Walaupun sekolahnya hanya sampai kelas 2 Mulo, bacaan dan pengetahuannya tentang sastra cukup meyakinkan. Percakapan tentang Chairil tak ada habis-habisnya dari tahun ke tahun karena ada saja segi-segi baru yang selalu muncul bila orang menyoroti kembali penyair satu ini dan karya-karyanya.
Sebagai penutup pembicaraan tentang Chairil Anwar, berikut ini kutipan puisinya yang mengandung gaya mantra.

Cerita Buat Dien Tamaela

Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu.

Beta Pattirajawane
Kikisan laut
Berdarah laut.

Beta Pattirajawane
Ketika lahir dibawakan
Datu dayung sampan.

Beta Pattirajawane, menjaga hutan pala.
Beta api di pantai. Siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama.

Dalam sunyi malam ganggang menari
Menurut beta punya tifa,
Pohon pala, badan perawan jadi
Hidup sampai pagi tiba

Mari menari!
Mari beria!
Mari berlupa!

Awas jangan bikin beta marah
Beta bikin pala mati, gadis kaku
Beta kirim datu-datu
Beta ada di malam
Irama ganggang dan api membakar pulau....

Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu.

2.       Asrul Sani
Asrul Sani adalah seorang penyair Angkatan 45 yang berusaha menghindari masalah angkatan dan tidak setuju dengan semboyan-semboyan yang sering digunakan oleh pengarang Angkatan 45 yang lain. Juga semboyan Chairil Anwar tentang Human Dignity oleh Asrul Sani dianggap sudah tidak bertenaga lagi, bahkan sering digunakan untuk menyembunyikan kelemahan sendiri. Asrul Sani mengkritik Mochtar Lubis yang pernah mengatakan bahwa dalam perkataan Human Dignity tersimpul semua yang hendak kita perjuangkan. Ucapan semacam itu di pandang Asrul Sani hanya sebagai heroisch gebaar yang kosong, yang tidak berarti.
Asrul Sani yang dilahirkan di Sumatra Barat, 10 Juni 1926, adalah seorang dokter hewan yang dalam dunia sastra bergerak dalam berbagai bidang. Ia banyak menulis esai, cerpen, puisi, kritik, terjemahan, juga nenyutradarai pementasan drama, dan membuat film. Bersama Chairil ia pernah menjadi redaktur majalah Gema Suasana (yang kemudian berubah menjadi Gema), kemudian bersama Chairil Anwar, Rivai Apin, Rosihan Anwar, dan lain-lain menjadi redaktur ruangan kebudayaan “Gelanggang” dalam majalah Siasat; dan yang terakhir ia memimpin majalah kebudayaan yang bernama Gelanggang juga, tetapi hanya terbit beberapa nomor saja.
Ia pernah menjadi direktur ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia), ketua Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia), dan juga anggota DPRGR/MPRS wakil seniman.
Sebagai penyair telah banyak puisi yang digubahnya, tetapi hingga kini belum ada yang diterbitkan secara khusus sebagai kumpulan puisi kecuali yang terdapat dalam kumpulan puisi Tiga Menguak Takdir.
Puisi Asrul Sani terasa merdu dan memberikan image (gambaran) yang jelas. Ada puisinya yang cenderung gaya mantra, misalnya yang berjudul Mantra. Memang sebagian puisi Asrul Sani menunjukkan nilai yang meyakinkan, tetapi beberapa puisinya gak berat, bersifat agak intelektual. Sebagai contoh dalam puisi berikut ini.

Dongeng Buat Bayi Zus-Pandu

Sintawati datang dari Timur,
Sintawati menyusur pantai,
Ia cium gelombang melambung tinggi
Ia hiasi dada dengan lumut muda,
Ia bernyanyi atas karang sore dan pagi,
Sintawati telah datang dengan suka sendiri.

Sintawati telah lepaskan ikatan duka.
Sintawati telah belai nakhoda tua,
Telah cumbu petualang berair mata
Telah hiburkan perempuan-perempuan bernantian di pantai senja

Jika turun hujan terlahir di laut
Berkepalan elang pulang ke benua
Sintawati telah tunggu dengan warna bianglala,
Tealah bawa bunga, telah bawa dupa.

Sintawati telah mengambang di bawah gunung,
dan panggil orang utas yang beryakinkan kelabu.
Telah menakik haruman pada batang tua,
Telah dendangkan syair dari gadis remaja.

Sintawati telah menyapu debu dalam kota
Telah mendirikan menara di candi-candi tua,
Sintawati telah bawa terbang cuaca,
Karena Sintawati senantiasa bercinta.

Sintawati datang dari Timur,
Sintawati telah datang.........
........... datang,
            Sinta
                        datang..........!

Dalam puisi-puisinya tersirat bahwa ia seorang moralis, seorang yang mencintai manusia dan kemanusiaan. Puisinya yang berjudul Surat dari Ibu jelas sekali menunjukkan sikap itu.
Juga puisinya yang berjudul Mantera menunjukkan sikap moralis itu. Dalam puisi tersebut ia menyebut dirinya sebagai “laksaman dari lautan”, dan ia akan menutup segala kota, akan menjaga supaya janda-janda tidak diperkosa, dan budak-budak dapat tidur di pangkuan bunda.
Selain itu, pada puisi Asrul terasa dengan jelas sifat romantik. Ia memandang kehidupan mulia sejati ialah kehidupan kesunyian di laut yang terlepas dari kesibukan sehari-hari. Beberapa puisinya menunjukkan bahwa Asrul melaksanakan ekspresi bunyi yang kuat. Hal ini jelas pada puisinya yang berjudul Mantera, yang oleh Teeuw dikatakan serupa puisi Chairil Anwar yang berjudul Cerita Buat Dien Tamaela.
Akan tetapi, dibandingkan dengan Chairil Anwar, memang sifat puisi-puisi Chairil lebih terasa puitis daripada puisi Asrul. Teeuw mengatakan bahwa puisi Asrul “kurang langsung dan kurang transparan”.
Dalam hal bentuk, puisi Asrul Sani lebih bebas, lebih mengabaikan unsur-unsur bentuk daripada puisi Chairil. Hampir-hampir tidak ada puisi Asrul yang mempunyai kerengka tetap, baik dalam jumlah baris, jumlah suku kata, maupun dalam acuan suatu bentuk tertentu.
Esai-esainya hingga sekarang belum diterbitkan sebagai kumpulan. Oleh Ajip Rosidi dikatakan bahwa “dalam esai-esainya Asrul sangat indah gayanya, tajam dan lapang dada, luas pula pengetahuannya. Beberapa buah esainya dengan tajam dan plastis memberi gambaran tentang kehidupan zamannya”. Dalam karangan esainya Asrul sering menggunakan nama samaran Ida Anwar. Di samping itu, digunakan juga nama samaran Pena F. An-Nur dan lain-lain.
Dalam satu esainya Asrul mengatakan, “Ini adalah suatu penyelamatan dalam masyarakat, semacam demokrasi yang hendak mencekik tiap-tiap kebangsawanan jiwa”. Ucapan tersebut sering dipakai sebagai alasan untuk mengatakan bahwa Asrul Sani takut dicekik oleh dunia ini, takut disamaratakan dengan masyarakat hingga hilang kepribadiannya, hilang individualitasnya. Rasa takut itu tampak juga dalam puisinya yang berjudul Anak Laut.

Sekali ia pergi tiada bertopi
Ke pantai landasan matahari
Dan bermimpi tengah hari
Akan negeri jauhan

Tentang puisi tersebut, R.H. Maat menafsirkannya sebagai berikut:

“Betapa susahnya orang yang tak bertopi (tidak mempunyai kebangsawanan jiwa perseorangan) yang akan disamaratakan dengan pantai dalam menghadapi terik matahari. Ii yang dimaksud tidak lain, bahwa dia disamaratakan kepribadiannya dalam masyarakat, di dalam menghadapi panas-terik kehidupan ini. Dan bermimpi tengah hari di negeri jauhan ini melukiskan betapa sedihnya, apabila dia ingat akan negeri-negeri asing yang masih dapat menghargai tiap-tiap individu di negeri tersebut dapat mencapai derajat dan martabat pribadi setinggi-tingginya dan akhirnya pun ketinggian pribadi ini berguna pula bagi negara dan masyarakat pada umumnya. Tegasnya, dia menolak paham sama rata, sebab dia mempunyai cita-cita yang tinggi, ialah mencapai martabat pribadi yang stinggi-tingginya.” (Sani, 1972: 7)

Beberapa esai Asrul Sani antara lain berjudul Fragmen Keadaan dan Surat dari Jakarta. Di samping sebagai penyair dan esasis, Asrul Sani terkenal juga sebagai cerpenis. Kumpulan cerita pendeknya telah diterbitkan oleh Pustaka Jaya pada tahun 1972 dengan judul Dari Suatu Masa Dari Suatu Tempat. Kumpulan itu terdiri atas 10 cerpen, dan judul buku itu diambil dari judul cerpennya yang keenam. Beberapa judul cerpennya yang lain dalam kumpulan itu ialah: Bola Lampu, Sahabat Saya Cordiaz, Orang Laki Bisu, Panen, Meseum, dan lain-lain.
Cerpen-cerpen Asrul Sani sebagian besar bersifat intelektual. Untuk dapat memahami cerpen-cerpennya tersebut sering diperlukan pemikiran tentang maksud ungkapan dan lambang-lambang yang terdapat di dalamnya. Sekadar contoh misalnya kutipan sebagian cerpennya berikut ini.

BOLA LAMPU

Beberapa waktu yang lalu seorang sahabat menceritakan ceritera sebagai berikut kepada saya:
Pernah sekali saya memperoleh penyakit cinta lampu dan cinta matahari. Cinta matahari ini tidak berapa lama, hanya seminggu, yaitu semasa saya bekerja antara pukul 8 pagi sampai pukul 5 sore. Kala saya, pukul 1 memperoleh waktu istirahat untuk makan tengah hari terlebih dahulu saya memandang megap-megap ke langit seperti ikan di daratan, baru saya pergi makan. Penyakit cinta ini demikian mendalamnya, sehingga sesudah seminggu saya tidak tahan lagi, lalu minta berhenti. Sekarang saya mengeluh kepanasan kalau berjalan dalam cahaya metahari. Lagipula ia tak memberi akibat apa-apa kepada diri saya.

Penyakit cinta lampu saya lebih berat. Dan saya tidak menyangka-nyangka bahwa ia akan berkesudahan dengan kecewa, geram, malu, angan-angan dan cerita ini.

Dalam cerpen-cerpennya Asrul Sani banyak menyindir kehidupan masyarakat, yang sering menderita akibat aturan-aturan yang dibuatnya sendiri. Sindiran itu terasa sekali dalam cerpennya yang berjudul Meseum.
Puisi-puisi dan cerpen-cerpen Asrul Sani telah diteliti dan dianalisis oelh M.S. Hutagalung yang kemudian hasil telaahnya diterbitkan dengan judul Tanggapan Dunia Asrul Sani (1967).
3.       Rivai Apin
Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rivai Apin lazim dipandang orang sebagai trio pembaharu puisi Indonesia. Di antara tiga penyair itu, Rvai Apin ternyata kurang meyakinkan. Padahal penyair yang lahir pada tanggal 30 Agustus 1927 di Padangpanjang ini telah banyak menulis puisi sejak masih di sekolah menengah. Kecuali menulis sajak, ia bergerak di bidang yang lain yang cukup banyak: menulis cerpen, esai, kritik, terjemahan, dan skenario film. Apabila Chairil Anwar biasa disebut orang sebagai seorang anarkis individualis (terutama berdasarkan puisinya yang berjudul Kepada Kawan); Asrul Sani seorang moralis aristokrat; maka Rivai Apin terkenal sebagai seorang nihilis emosional.
Dikatakan nihilis karena tampaknya Rivai Apin tidak tahu arah hidup ini, tidak tahu apa yang harus diperbuat tentang dunia ini. apa yang ditulis terutama cetusan emosi yang kurang pengendapan dan pemikiran. Berikut ini adalah kutipan bagian I dan III puisinya yang berjudul Anak Malam.

I
Angin malam menggigil
Compang-camping pada akhir jalan sia-sia
Pagar jembatan dingin pada tanganku
Justru terjaga: di pantai mana aku terjaga?

Tiada sandar di urang kelam
Aku dengar dengking batukku
Rinduku telah kehabisan darah
Kini dia tidak mengharap

Dan di teras rumah makan
Aku menyaksikan
Segala sedih yang hari itu kau semua pendam

Tanah muram ini bukan tanahku
Tanah mimpiku selalu hijau

Kenapa aku telah memulai perjalanan ini
Hidup yang tak mengenal siang?

III
Genangan air dan rumput-rumput jarang di pinggiran jalan,
Berjalan di tengah kelam hanya bisa di rasa
Keumuman hitam diendapkan angin malam
Kuning terang bergayut di tonggak-tonggak lampu.

Aku lepaskan cahaya-cahaya yang bergayut padaku
Kebeningan reda datang mendamping
Tidak gemetar bibir macam dulu aku berkata
Sebab tidak percaya pada jejak yang aku tinggalkan

Aku kini tidak punya tuju
Tidak peduli lagi di mana aku berada
Dan pergi saja ke mana aku suka
Manusia tidak kuasa ikut aku
Melepas aku juga tidak
Dan bukan saja tidak kuasa, tapi juga tidak bisa.

Puisi tersebut kurang mengandung unsur-unsur puitis. Tidak ada keselarasan motif, tidak ada kejelasan image dan tidak terasa kemerduan bunyi pada puisi itu. Sifat nihilis tampak benar pada pertanyaan-pertanyaan penyair: di pantai mana aku terdampar, kenapa aku telah memulai perjalanan ini? pada akhir puisinya penyair memberi jawaban: Aku kini tidak punya tuju, tidak peduli lagi di mana aku berada dan pergi saja ke mana aku suka.
Tampaknya Rivai Apin belum memiliki arah tujuan hidup tertentu. Kepribadian belum terbentuk sepenuhnya. Pada bagian lain pada puisinya kita dapati kalimat-kalimat yang menyatakan betapa ia hendak bersikap tegas tentang hidup ini.

Inilah bumi, air dan udara
Di atas mana, di dalam mana dan di antara mana
Anak manusia harus hidup
Dia perhitungkan segala hidup
Di buat perhitungan di tiap mati
Dia hanya mengenggam nilai

Walaupun tulisan Rivai Apin cukup banyak jumlahnya, belum ada yang diterbitkan sebagai kumpulan, kecuali puisi-puisinya yang terdapat dalam Tiga Menguak Takdir.
Selain kegiatannya menulis dalam berbagai bidang tersebut, Rivai Apin pernah duduk sebagai anggota redaksi dalam berbagai majalah antara lain: Gema Suasana, Gelanggang dan Zenith. Akan tetapi, pada tahun 1954 ia kelaur dari redaksi Gelanggang dan tidak lama kemudian aktif dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi kebudayaan yang bernaung di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI). Ia pernah memimpin majalah Kebudayaan Baru, yaitu majalah yang diterbitkan oleh Lekra. Karena meletusnya pemberontakan G-30S/PKI maka Rivai Apin termasuk tokoh Lekra yang diamankan oleh yang berwajib.
4.       Idrus
Dalam masyarakat sastra Idrus sering disebut sebagai pelopor Angkatan 45 di bidang prosa, walaupun ia menolak penamaan macam itu. Akan tetapi, peranannya dalam perkembangan sastra selanjutnya kurang penting dibandingkan dengan Chairil Anwar.
Ia pernah menjadi redaktur Balai Pustaka, dan pada waktu itu ia berkenalan dengan pengarang-pengarang, antara lain H.B. Jassin, Sutan Takdir Alisjahbana, Nur Sutan Iskandar dan Sanusi Pane. Pengalaman kritik dan pendapatnya tentang hubungannya dengan pengarang-pengarang itu kemudian dituangkannya dalam novel autobiografinya yang berjudul Perempuan dan Kebangsaan. Novel tersebut dalam nomor gabungan majalah Kebudayaan Indonesia, majalah yang mula-mula diterbitkan oleh Balai Pustaka yang dipimpin oleh Idrus. Walaupun oelh pengarangnya sendiri novel itu diakui kurang berhasil, novel itu penting untuk mengetahui sikap kejiwaan Idrus waktu itu.
Kepeloporan Idrus terutama dalam hal penampilannya: gaya kesederhanaan baru dan corak realisme/naturalisme dalam penulisan prosa. Gaya kesederhanaan prosa baru merupakan pengaruh dari Willem Esschot, yang salah satu bukunya Keju telah diterjemahkan oleh Idrus. Sementara itu, corak realisme pada karya-karyanya kemungkinan besar berasal dari pengaruh penulis-penulis Amerika, seperti Hemingway, Steinbeck, dan Caldwell.
Beberapa tahun lamanya Idrus pernah bekerja pada suatu bidang yang tak ada kaitannya dengan sastra, antara lain pada GIA (Garuda Indonesia Airways). Akan tetapi, sejak tahun 1953 ia kembali menulis beberapa cerpen dalam majalah Kisah, yang ternyata kemudian ia memegang peranan penting dalam kehidupan majalah itu.
Beberapa bulan setelah majalah itu terbit kemudian Idrus dan H.B. Jassin memperkuat staf Dewan Redaksi bersama-sama dengan M. Balfas dan D.S. Mulyanto. Cerpen Idrus yang pernah dimuat dalam majalah itu antara lain Riwayat Jatuhnya Seorang Walikota.
Kemudian beberapa tahun lamanya Idrus “mengungsi” ke Kuala Lumpur (Malaysia) dan seterusnya pergi ke Australia mengajarkan Sastra Indonesia Modern di Monash University. Dua buah bukunya yang terbit di Kuala Lumpur yaitu Dengan Mata Terbuka (1961), kumpulan cerpen yang sebagian besar berupa cerita-cerita lucu yang ringan dan Hati Nurani Manusia (1963), sebuah novel panjang.
Karangan Idrus yang banyak mendapat sorotan terutama dari pihak Lekra ialah sketsanya Surabaya. Dengan dasar sketsanya itu Lekra menuduh Idrus sebagai pengarang yang antinasional dan kontrarevolusi. Dalam karangannya itu, Idrus menyebut pejuang-pejuang sebagai koboi-koboi, sedangkan tentara sekutu sebagi bandit-bandit. Juga perjuangan mati-matian merebut kemerdekaan itu oleh Idrus dilukiskan dari seginya yang lain, yang secara sinis ibarat seperti main-main saja.
Sebenarnya, sketsa itu akan dapat kita mengerti sepenuhnya apabila kita dapat mengetahui sikap kejiwaan Idrus seperti yang tersirat dalam diri tokoh Open dalam novelnya Jalan Lain ke Roma.
Di samping kegiatannya memberikan kuliah, di Australia Idrus masih sering menulis cerpen, esai, dan juga menerjemahkan cerita-cerita dalam sastra Indonesia ke dalam bahasa Inggris.
Gaya kesederhanaan baru yang pertama ditampilkan Idrus dalam sastra Indonesia itu kemudian banyak digunakan dan dikembangkan oleh pengarang-pengarang lain. Di bawah ini adalah contoh gaya kesederhanaan baru itu.

KOTA HARMONI

Trem penuh sesak dengan orang, keranjang-keranjang, tong kosong dan berisi, kambing dan ayam. Hari panas dan orang dan binatang keringatan. Trem bau keringat dan terasi. Ambang jendela penuh dengan air ludah dan air sirih, kemerah-merahan seperti buah tomat.
Dalam trem susah bernafas. Tapi orang merokok juga, menghilangkan bau keringat dan terasi. Seorang perempuan muda Belanda-Indo, mengambil sapu tangannya, kecil sebagai daun pembungkus lemper, dihirupnya udara di sapu tangannya, lalu katanya: Siapa lagi yang membawa terasi ke atas trem. Tidak tahu aturan, inikan kelas satu.
Seorang-orang Tionghoa, gemuk seperti Churchill merasa tersinggung dan berkata dengan marah kepada nona Belanda-Indo itu: Jangan banya omong. Sekarang kemakmuran bersama, bukan Belanda.

Idrus lahir di Padang, 21 September 1921. Selain kumpulan karangannya yang berjudul Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma; Aki (novel), dan Perempuan dan Kebangsaan (novel), seperti yang telah disebutkan, Idrus juga mengarang drama yang berjudul Keluarga Surono (1948) yang terbit di Medan.
Dalam menanggapi Angkatan 66, Idrus dalam satu esainya yang berjudul Angkatan 66 dan Cerpen-Cerpennya Horison berpendapat bahwa ia tidak menolak peranan Angkatan 66 dalam sastra Indonesia, kecuali tentang uur para pengarang Angkatan 66 yang dianggapnya masih samar pembatasannya.
5.       Pramudya Ananta Toer
Pengarang keturunan Jawa ini berasal dari Blora, lahir tanggal 2 Pebruari 1925. Secara formal sebenarnya Pramudya kurang langsung ada kaitannya dengan Angkatan 45 sebab ia tidak pernah ikut memimpin suatu penerbitan sebagai media Angkatan 45. Akan tetapi, berdasarkan karya sastra yang dihasilkan, ternyata banyak persamaan antara hasil sastra Pramudya dengan pengarang-pengarang Angkatan 45 yang lain.
Oleh Teeuw dikatakan bahwa Pramudya merupakan penulis prosa yang terpenting di zamannya, baik ditinjau dari segi luasnya lapangan yang diliputi oleh karya-karya kreatifnya maupun dari segi nilai karya sastra itu. Itulah sebabnya, Teeuw dalam bukunya Sastra Baru Indonesia membicarakan Pramudya secara luas dengan uraian riwayat hidup yang cukup panjang. Lebih lanjut oleh Teeuw dikatakan bahwa Pramudya dari zaman antara tahun 1946 sampai dengan 1956 merupakan penulis prosa modern Indonesia yang teragung. Bahkan, bagaimanapun “Pramudya tetap merupakan penulis yang muncul hanya sekali dalam satu generasi, atau malah dalam satu abad. Prosa Pramudya saja sudah cukup membuktikan wujudnya angkatan empat puluh lima itu”.
Tentulah apa yang dikatakan Teeuw itu  agak berlebihan. Prosa Angkatan 45 mengenal varias-variasi, antara lain seperti yang diyunjukkan oleh Mochtar Lubis dengan gaya jurnalistik dan Achdiat Karta Mihardja dengan gaya perbandingannya. Apalagi apabila dilihat Pramudya kemudian masuk dalam kelompok pengarang yang justru menentang konsep Angkatan 45. Akan tetapi, bahwa Pramudya merupakan pengarang prosa yang penting dan memiliki corak yang khas dalam sastra Indonesia, memang tidak dapat disangkal lagi.
Karangan yang pertama-tama diterbitkan berjudul Keranji dan Bekasi Jatuh (1947). Kemudian pada tahun 1949 ia menyiapkan cerpen berjudul Blora, yang ditulis pada waktu ia di penjara. Setahun kemudian, novelnya Pemburuan (1950) mendapat hadiah dalam rangka sayembara mengarang yang diselenggarakan oleh Balai Pustaka. Dua karangannya yang terakhir inilah yang menyebabkan Pramudya terkenal dalam masyarakat sastra Indonesia. Cerpen Blora tersebut kemudian dimuat dalam kumpulan cerpen yang berjudul Subuh (1950).
Sebagain besar karangan Pramudya tampak mengandung unsur biografi. Hal ini jelas sekali pada kumpulan cerpen yang berjudul Cerita dari Blora (1952). Dalam cerpen itu tersirat betapa kehidupan Pramudya pada masa kecil, kehidupan keluarga yang penuh dengan kesulitan, ayahnya yang mula-mula jadi guru sekolah HIS di Rembang karena dorongan jiwa, dan lain-lain.
Cerita pendek yang termuat di dalamnya umunya panjang-panjang, beberapa di antaranya lebih dari 10.000 kata. Oleh karena itu, ada orang yang menyebut beberapa cerpen tersebut sebagai cerpen panjang (long short-story) atau novel pendek (novelet), misalnya Dia yang Menyerah, Hadiah Kawin, dan Anak Haram.
Pramudya sungguh-sungguh pengarang yang memiliki bakat alam. Segala pengalaman dan segala yang hidup dalam jiwanya dapat dijelmakan secara jujur dengan bahasa yang sederhana, bersahaja, tetapi sangat plastis. Perhatikanlah bagian-bagian permulaan cerpennya Yang Sudah Hilang, cerpen pertama pada kumpulan tersebut di atas.

Kali Lusi melingkari separuh bagian kota Blora yang sebelah selatan. Di musim kering yang dasarnya dialasi batu-batu kerikil-lumpur pasir itu mencongak-congak menjenguk langit. Air hanya bebeberapa desimeter saja di tempat-tempat dangkal. Tapi bila hujan mulai turun, dan gunung-gunung di hutan dliputi mendung, dan matahari tidak juga muncul dalam empat puluh atau limapuluh jam, air yang kehijau-hijauan itu berubah rup-kuning, tebal mengandung lumpur. Tinggi air melompat-lompat tak terkendalikan. Kadangkala hingga dua puluh meter. Kadangkala lebih. Dan air yang mengalir damai itu tiba-tiba berpusing-pusing dan mengamuk gila. Diseretnya rumpun bambu di sepanjang tepi seperti anak kecil mencabuti rumput. Digusurnya tebing-tebing dan diseretnya beberapa bagian bidang ladang penduduk.
Lusi: dia merombak tebing-tebingnya sendiri. Dan di dalam hidup ini, kadang-kadang aliran deras menyeret tubuh dan nasib manusia. Dan dengan tak setahunya ia kehilangan beberapa bagian dari hidup sendiri.

Dalam cerpennya Dia yang Menyerah Pramudya mengisahkan kehancuran sebuah keluarga akibat pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948. Dalam tulisannya ini tampak sikap Pramudya yang jelas berjiwa nasionalisme dan anti komunisme. Akan tetapi, kita ketahui beberapa tahun kemudian ia masuk dan aktif dalam Lekra, organisasi kebudayaan yang jadi organ PKI.
Penderitaan dan kekecewaanyang selalu menimpa dirinya dan kemudian kesan kekagumannya pada waktu ia berjunjung ke Peking pada bulan Oktober 1958 kemungkinan merupakan sebagian dari faktor-faktor yang mengubah arah jalan hidupnya.
Betapa sewenang-wenangnya pasukan PKI pada waktu itu tertulis dalam kutipan di bawah ini:

Kadang-kadang ada juga terdengar derap kuda lari. Dan segala bunyi itu membuat Diah dan adik-adiknya terkenang pada Sri, pada Is, pada bapaknya, dan pada mereka yang telah diseret pasukan Merah. Terutama pada Kasibun yang seperti beberapa orang lainnya diadili oleh hakim Merah dan mendapat tawaran: hukum mati atau seumur hidup. Dan Kasibun menjawab: barangkali mati lebih baik untuk diriku. Dan menjelempahlah ia di alun-alun di bawah pohon beringin jadi bangkai. Dan anak-anaknya tak berani menangisi. Barangkali mereka tau juga, menangisi matinya penghianat pasukan Merah berarti jadi penghianat pasukan Merah, dan memanggil peluru untuk menembusi kepala dan dada sendiri. Dan Kasibun sudah begitu tua, dengan gigi tinggal beberapa biji. Ia pencinta Republik dan Presidennya, sekalipun ia tak tahu apa gunanya cinta pada keduanya. Dan kecintaan itu membuatnya jadi fanatik. Tiap-tiap kali membesar-besarkan hati kawan-kawannya dengan perkataan: sesuatu tak bisa dibangunkan di atas perampokan. Dan kekuasaan Merah yang didapatnya sekarang adalah hasil perampokan semata.

Pengalaman hidup Pramudya cukup banyak dan beragam. Ia pernah ikut aktif dalam revolusi fisik sebagai sukarelawan untuk Badan Keamanan Rakyat dan ditempatkan di Cikampek. Pernah jadi pegawai pers dan turut dalam peperangan dengan tentara pendudukan Inggris di Krawang Bekasi.
Pada tahun 1947 ia bekerja pada Suara Indonesia Merdeka di Jakarta. Pada aksi polisionil Belanda yang pertama, Pramudya ditangkap di jalan, kemudian dipenjarakan pada beberapa buah rumah penjara, terutama di Bukit Duri di Pulau Edam hingga bulan Desember 1949. Selama dalam penjara itulah, ia banyak menulis cerpen dan beberapa novel. Dengan melalui pertolongan Prof. G.J. Resink beberapa karangannya dapat diselundupkan keluar dan kemudian dengan bantuan H.B. Jassin novel Perburuan dapat diikutsertakan dalam sayembara mengarang Balai Pustaka.
Perburuan mengambil dasar cerita tentang pemberontakan tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Blitar yang gagal melawan Jepang karena salah seorang pelakunya yang bernama Karmin berkhianat. Pelaku utamanya Hardo, seorang pemimpin gerakan di bawah tanah melawan Jepang, yang untuk beberapa waktu lamanya ia bertapa untuk mendapatkan kekuatan tenaga batinnya. Ia siap berperang, tetapi diketahui dan kemudian jadi perburuan. Hardo, yang pada waktu itu menjadi shodancho (perwira menengah tentara Jepang), menyamar menjadi kere untuk menemui calon mertuanya, dan kemudian juga untuk menemui orang tuanya, tetapi sikap dan cara berpikir keduanya sangat mengecewakan. Calon mertua berkianat lapor kepada Jepang, sedangkan orang tuanya yang sudah dipecat dari kedudukannya sebagai wedana, kini malah jadi penjudi.
Dengan pemadatan melalui dialog-dialog, peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam Perburuan berlangsung hanya sehari semalam (24 jam) dari senja di rumah Pak Lurah, calon mertua Hardo, sampai pada esok harinya menjelang senja tanggal 17 Agustus 1945.
Seperti karangan Pramudya yang lain, novel Perburuan menampilkan persoalan manusia dan kemanusiaan, terutama masalah kesetiaan manusia. Masalah yang serupa terdapat dalam novel Pramudya yang berjudul Keluarga Gerilya.
Keluarga Gerilya dikarang juga dalam penjara Bukit Duri, beberapa bulan setelah selesainya novel Perburuan. Novel Keluarga Gerilya mengisahkan kehidupan sebuah keluarga yang beberapa anggotanya berperan penting dalam perang gerilya selama revolusi. Pelaku utamanya adalah Saaman, penarik becak yang menghidupi keluarganya yang masih tinggal di rumah, antara lain ibunya yang bernama Amilah. Saaman dan kedua orang adiknya (Canimin dan Kartiman) telah membunuh ayahnya karena khawatir ayahnya yang bekas tentara kolonial Belanda (KNIL) akan mengkhianati perjuangan mereka. Amilah akhirnya menjadi setengah gila, karena Saama, anak yang sangat dikasihi itu ditangkap dan dihukum mati, sedangkan anak-anaknya yang lain yang bergerilya telah terbunuh pula oleh musuh.
Segala kisah yang dikisahkan dalam Keluarga Gerilya tersebut oleh pengarang dipadatkan sehingga hanya meliputi waktu selama tiga hari tiga malam saja.
Banyak pendapat tentang novel ini. ada yang memberikan penilaian baik, tetapi ada juga yang mengecamnya habis-habisan, sampai pada penilaian bahwa Keluarga Gerilya adalah pseudo roman atau kitch, seperti yang dinyatakan oleh Mh. Rustandi Kartakusuma dalam simposium sastra 1959 (Rangkuti, 1963: 99).
Teeuw dalam bukunya Sastra Baru Indonesia mengatakan bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan teknik sastra, novel ini kelemahan-kelemahannya. Penutup buku itu merupakan suatu antiklimaks yang hebat. Dikatakan bahwa “Setiap orang yang masih hidup mengunjungi kuburan Saaman lalu bersumpah atau mengakui dosa, suatu hal yang dengan melodramatis sekali, menyebabkan kisah ini tidak wajar lagi” (1970: 174). Akan tetapi, secara keseluruhan, novel tersebut tetap berharga karena menunjukkan keaslian dan kejujuran pengarangnya melukiskan watak-watak manusia dalam pergulatannya dengan sifat dan hakikat kemanusiaannya.
Di antara pengarang Angkatan 45, Pramudya Ananta Toer termasuk yang paling produktif. Kecuali beberapa karangannya yang sudah disebutkan di atas, karangannya yang lain adalah Percikan Revolusi (1950, kumpulan cerpen yang beberapa di antaranya ditulis dalam penjara); Subuh (1950, kumpulan cerpen); Di Tepi Kali Bekasi (1950, novel yang melukiskan perjuangan pemuda Indonesia sekitar Krawang Bekasi); Mereka yang Dilumpuhkan (dua jilid terbit 1951/1952, berisi pengalamannya selama di penjara); Bukan Pasar Malam (1951); Gulat di Jakarta (1953); Korupsi (1954); Midah Si Manis Bergigi Emas (1954); Cerita dari Jakarta (1957); Calon Arang (1957); Suatu Peristiwa di Banten Selatan (1959); dan lain-lain.
Ada beberapa karangan Pramudya yang sudah difilmkan, antara lain Gulat di Jakarta dan Midah Si Manis Bergigi Emas. Juga beberapa karangannya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Di samping itu, Pramudya juga banyak menerjemahkan karangan-karangan dalam bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Keterangan yang lengkap tentang hal ini dapat diperoleh pada analisis Bahrum Rangkuti tentang Pramudya dalam bukunya yang berjudul Pramudya Ananta Toer dan Karya Seninya.
6.       Mochtar Lubis
Mochtar Lubis dilahirkan di Padang, 7 Maret 1922. Hampir seluruh pendidikannya diperoleh dengan belajar sendiri. Ia lebih dikenal sebagai wartwan surat kabar yang dipimpinnya bernama Indonesia Raya. Sejak tahun 1958 dilarang terbit oleh pemerintah, dan baru tahun 1968 surat kabar itu terbit lagi. Mochtar Lubis pernah di tahan selama hampir sembilan tahun (1956-1966) dengan tuduhan yang dicari-cari pada waktu itu. Sesudah keluar dari tahanan ia bersama-sama dengan H.B. Jassin, Taufiq Ismail, dan lain-lain menerbitkan dan memimpin majalah Horison, majalah sastra yang khusus memuat cerpen, puisi, dan kadang-kadang kritik dan esai.
Sebelum masuk tahanan, Mochtar Lubis beberapa kali mengelilingi dunia, dan kisah-kisah perlawatannya telah diterbitkan sebagai buku, antara lain Perlawatan ke Amerika Serikat (1951); Perkenalan di Asia Tenggara (1951); Catatan Korea (1951); dan Indonesia di Mata Dunia (1955). Walaupun kisah-kisah perjalanan itu bersifat kewartawanan, tetapi merupakan suatu bacaan yang baik karean kecuali fakta-fakta yang dikandungnya, juga penyampaian yang menarik dengan anekdot-anekdot dan kisah-kisah yang menggarami laporan itu (Teeuw, 1970: 200).
Mochtar Lubis mulai benar-benar mengarang baru pada zaman revolusi kemerdekaan. Kumpulan cerpen-cerpennya yang pertama berjudul Si Jamal (1950). Cerpen yang terdapat di dalamnya berupa sastra kritik yang dengan nada seloroh menyindir tingkah laku dan perbuatan orang yang dapat mencari kesempatan untuk kepentingan sendiri pada masa revolusi.
Kumpulan cerpennya yang kedua berjudul Perempuan (1956), yang cerita-ceritanya banyak diilhami oleh hasil perjalanannya ke luar negeri. Cerpennya yang berjudul Kebun Pohon Kastanye dalam kumpulan itu, yang melukiskan ketamakan manusia di tengah-tengah Korea, oleh Ajip Rosidi dipandang sebagai cerpen Mochtar Lubis yang terbaik (Rosidi, 1965: 115).
Terbawa tugasnya sebagai wartawan, maka gaya kewartawanan (jurnalistik) tampak dalam semua karangan Mochtar Lubis, terutama dalam cerpen-cerpennya. Kalimatnya singkat dan pendek-pendek menyerupai laporan. Di samping itu, dari semua karangannya tampak juga kejujuran dan sifatnya yang terus terang terhadap masalah-masalah yang dikemukakan.
Kecuali menulis dua kumpulan cerpen tersebut, Mochtar Lubis mengarang dua novel singkat, yaitu Tidak Ada Esok dan Jalan Tak Ada Ujung. Novelnya yang terakhir inilah yang terutama membawa Mochtar Lubis sebagai sastrawan. Dalam novel-novelnya ia tidak bercerita tentang peristiwa-peristiwa, tetapi tentang manusia dengan segala kelemahan dan kekuatannya.
Tema pokok Jalan Tak Ada Ujung ialah masalah takut yang hakikatnya ada pada setiap manusia. Rasa takut yang justru mendorong manusia untuk berbuat keberanian. Itulah sebabnya, H.B. Jassin mengidentifikasi permasalahan dalam novel itu dengan ungkapan “filsafat takut yang menjadikan kekuatan”.
Jalan Tak Ada Ujung mengambil latar pada waktu perang kemerdekaan pada sekitar tahun 1946/1947 di Jakarta. Pelaku utamanya ialah Guru Isa, yang dengan rasa ketakutannya terpaksa turut serta dalam perjuangan melawan musuh. Guru Isa adalah manusia sederhana, tak suka akan kekerasan, yang kemudian menjadi impoten karena kekerasan yang selalu dilihatnya pada masa Jepang. Akan tetapi, rasa takut itu menjadi tidak mendesak lagi dan impotennya menjadi hilang sama sekali, ketika Guru Isa tertangkap dan mengalami penyiksaan dan merakan kekerasan atas dirinya.

“Dalam dirinya tumbuh kesadaran demi sedikit. Semua manusia merasa takut dan apa yang kita bayangkan tentang suatu kejadian yang menakutkan selalu lebih hebat dari yang sebenarnya, demikian kesimpulannya.” (Hutagalung, 1961: 50)

Dalam bercerita, Mochtar Lubis gemar menggunakan lambang-lambang, kiasan dan perbandingan yang plastis dan tidak jarang bersifat puitis.
Apa yang dimaksudkan dengan Jalan Tak Ada Ujung, melalui tokoh Hazil, Moctar Lubis menjelaskan pada halaman 42 sebagai berikut.

..... Saya sudah tahu semenjak semula --- bahwa jalan yang kita tempuh ini adalah jalan tidak ada ujung. Dia tidak akan habis-habisnya kita tempuh. Mulai dari sini, terus, terus, terus tidak ada ujungnya. Di mana ada ujung jalan perjuangan dan perburuan manusia mencari bahagia? (Hutagalung, 1963: 22)

Jika kita bertolak dari plot yang tradisional dengan keterikatannya pada urutan waktu dan tempat, agak sukar kita mengikuti novel-novel Mochtar Lubis.
Seperti yang sudah dikemukakan, ia tidak bercerita tentang peristiwa demi peristiwa, tetapi tentang manusia dengan gejolak batinnya. Di dalamnya dikemukakan percakapan-percakapan batin pelakunya serta nafsu-nafsu dan angan-angan yang tersembunyi, yang dalam kenyataan lahiriah tidak terungkapkan. Oleh karena itu, orang sering berpendapat bahwa dalam karangan-karangan Mochtar Lubis ada unsur monoloque interieur dan ada pengaruh Ilmu Jiwa Dalam yang dikembangkan oleh Sigmund Freud.
Karangan yang lain yang terbit adalah novel Senja di Jakarta yang diselesaikan Mochtar Lubis pada bulan Maret 1957 pada waktu ia dalam tahanan. Karangan itu kemudian diterjemahkan oleh Claire Holt dalam bahasa Inggris dan kemudian diterbitkan pada tahun 1963 dengan judul Twilight in Jakarta. Kemudian karya ini diterbitkan di Kuala Lumpur dalam bahasa Melayu pada tahun 1964. Dari segi bentuknya sebenarnya karangan itu kurang tepat diberi nama novel, karena bukan satu kesatuan yang padu dengan plot tertentu. Bentuknya seperti kronik bulanan, berisi catatan peristiwa-peristiwa dalam suatu bulan. Kehidupan tokoh-tokohnya tidak diikuti secara terus-menerus, melainkan terpisah-pisah, silang-menyilang. Sesuai dengan namanya, novel ini mengisahkan kehidupan kota Jakarta yang kacau, korup, tak berprikemanusiaan, kemerosotan akhlak, dan penyelewengan-penyelewengan lain sekitar tahun 1956. Teeuw berpendapat bahwa dari segi sastra buku ini tidak begitu berhasil dibandingkan dengan novel Pramudya Ananta Toer yang menggarap masalah serupa yang berjudul Korupsi.
Karangan Mochtar Lubis yang lain berjudul Tanah Gersang (1964). Novel ini mengisahkan perilaku pemuda-pemuda di kota besar, yaitu merampok, membunuh, zina, dan lain-lain, yang terutama disebabkan oleh keringnya cinta orang tua kepada mereka dan gersangnya cinta sesama manusia dalam kehidupan kota. Dilukiskannya tingkah laku pemuda-pemuda itu sebagai berikut.

Sukandar sudah lama uangnya habis, malahan sepeda motor yang dibelinya dari Joni pun telah dijualnya pula. Dia tidak dapat menceritakan ke mana uang begitu banyak habis dalam beberapa bulan saja. “Aiii, heran Jon,” kata Sukandar, “gua gak beli apa-apa, cuman beliin baju baru untuk Wak Salam dan bininya, dan nggak ada apa-apa lagi. Semuanya udah hilang begitu saja.”
“Lu main perempuan lu nggak itung,” kata Yusuf menyela
“Aiii, biar ludes itu uang juga tidak apa, ‘kan bisa dirampok lagi,” kata Joni.
Sukandar, Yusuf melihat padanya. Suara Joni mengandung ancaman.
“Gua sih tidak ambil pusing, saban hari juga sedia ngrampok itu orang-orang kaya. Hati gua kering sama itu orang-orang besar dan kaya-kaya. Itu semua gua punya musuh. Memangnya juga mereka jadi kaya bukan karena ngrampok dan mencuri?” tanya Joni

Joni, pelaku utama novel itu, bersama dengan dua orang temannya, Sukandar dan Yusuf, dapat dianggap sebagai pemuda berandal yang kerjanya tiap hari tiada lain hanyalah main ceki, main perempuan, merampok, makan-makan, minum-minum, dan lain-lain. Hal ini disebabkan orang tua mereka hanya disibukkan oleh urusan dan kepentingan sendiri sehingga tidak memberikan perhatian cinta dan kasih sayang kepada mereka.
Akan tetapi, ternyata Joni yang liar itu pada akhirnya dapat menemukan keselarasan jiwanya dan keseimbangan pribadinya, setelah ia memperoleh cinta kasih dari gadis pilihannya.
Kecuali novel Tanah Gersang, ada satu lagi novel karangan Mochtar Lubis berjudul Hutan (belum terbit). Menurut Teeuw, Hutan mengisahkan “sekumpulan orang primitif yang tinggal di hutan, yang menjadi terpecah belah karena persekongkolan di antara mereka sendiri dan juga karena bahaya-bahaya dari luar” (1970: 202).
Dibandingkan dengan novelnya Jalan Tak Ada Ujung, dua novel tersebut kurang berhasil karena adanya tendensi unsur moral yang jelas dari sifat-sifat sensasional dalam buku itu.
Dalam hubungannnya dengan sastra Angkatan 66, tampaknya Mochtar Lubis sebagai pengarang Angkatan 45 banyak berperan dalam angkatan yang baru itu. Ia menjadi ketua redaksi majalah Horison, majalah sastra bulanan yang melai terbit bulan Juli 1966. Majalah Horison inilah yang dipandang sebagai ujung lidah Angkatan 66, dan Mochtar Lubis juga banyak menulis dalam majalah itu.
Mochtar Lubis pernah mendapat penghargaan dari luar negeri, antara lain ialah Hadiah Magsaysay dari pemerintah Filifina dalam bidang kesusastraan pada tahun 1966 dan Hadiah Pena Emas dari World Federation of Editors and Publishers.
Kecuali yang sudah disebutkan, beberapa karangannya yang lain adalah: Harimau! Harimau (novel); Maut dan Cinta (novel); Kuli Kontrak (kumpulan cerpen); Bromocorah (kumpulan cerpen); Judar Bersaudara (cerita anak-anak); Penyamun dalam Rimba (cerita anak-anak).
7.       Sitor Situmorang
Ia dilahirkan di Harianboho, Tapanuli, 21 Oktober 1924. Ia banyak bergerak di bidang sastra pada tahun 1949, pada saat ia ikut dalam perbincangan sastra di majalah Gelanggang dan juga di tempat-tempat lain. Ia termasuk penyokong penamaan Angkatan 45.
Sitor Situmorang terkenal namanya dalam dunia sastra sesudah ia pulang dari Eropa. Sebagian besar waktunya pada tahun-tahun 1952 dan 1953 dihabiskan di Paris. Sesudah tahun itulah karangan-karangannya diterbitkan. Kecakapannya meliputi berbagai bidang: sebagai penyair, pengarang esai, cerpen, dan drama.
Y.U. Nasution tentang menulis sebuah buku tentang Sitor Situmorang, dengan judul Sitor Situmorang sebagai Penyair dan Pengarang Cerita Pendek. Dalam buku itu antara lain dikatakan bahwa Sitor sebagai penyair dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern seorang yang terbanyak menghasilkan sajak (Nasution, 1963: 5).
Subagio Sastrowardoyo pernah juga membicarakan Sitor Situmorang dalam bukunya yang berjudul Manusia Terasing di Balik Simbolisme Sitor, terbit tahun 1976.
Kumpulan puisi Sitor yang pertama berjudul Surat Kertas Hijau (1954) yang terdiri atas dua bagian, yaitu Surat Kertas Hijau dan Orang Asing. Dari 33 puisi yang terdapat di dalamnya ada 6 puisi di antaranya berbentuk soneta. Dari kenyataan ini tampaknya Sitor hendak mengadakan renaissance terhadap soneta, suatu bentuk yang sangat digemari oleh Pujangga Baru. Di bawah ini salah satu contoh puisi Sitor Situmorang.

Surat Kertas Hijau

Segala kendaraannya tersaji hijau muda
Melayang di lembaran surat musim bunga
Berita dari jauh
Sebelum kapal angkat sauh

Segala kemontokan menonjol di kata-kata
Menepis dalam kelakar sonder dusta
Harum anak dara
Menghimbau dari seberang benua

Mari, dik, tak lama hidup ini
Semusim dan semusim lagi
Burungpun berpulangan

Mari, dik, kekal bisa semua ini
Peluk goreskan di tempat ini
Sebelum kapal di rapatkan

Bila dibandingkan dengan bentuk soneta Pujangga Baru, maka di samping persamaan-persamaan ada juga beberapa perbedaan yang terdapat antara keduanya. Pada soneta Sitor atau soneta Angkatan 45 pada umumnya, akhir baris tidak selalu merupakan akhir kesatuan sintaksis, sering terdapat loncatan kata ke baris berikutnya (enjambemen). Juga jumlah kata tiap baris tidak selalu berimbang.
Kecuali bentuk soneta seperti tersebut di atas, beberapa puisi Sitor mengingatkan kita bentuk pada pantun, baik di pandang dari kaitan isinya maupun dari segi bentuk formalnya. Nafas dan bentuk pantun jelas sekali pada puisi di bawah ini.

Lagu Gadis Itali
                            Buat Silvana Maccari

Kerling danau di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Jika musimmu tiba nanti
Jemput abang di teluk Napoli

Kerling danau di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Sedari abang lalu pergi
Adik rindu setiap hari

Kerling danau di pagi hari
Lonceng gereja di bukit Itali
Andai abang tak kembali
Adik menunggu sampai mati

Batu tandus di kebun anggur
Pasir teduh di bawah nyiur
Abang lenyap hatiku hancur
Mengejar bayang di salju gugur

Puisi tersebut terdapat dalam kumpulan puisi yang kedua yang berjudul Dalam Sajak (1955). Di banding dengan pantun yang lazim, ada beberapa perbedaan yang terdapat pada puisi di atas. Selain rumus sajak akhir yang bukan ab-ab, juga adanya semacam sampiran yang memungkinkan beberapa kaitan isi pantun. Bentuk di atas serta pilihan kata dan motif-motif yang digunakan tepat melukiskan jiwa dan suasana romantik.
Kumpulan puisi Sitor yang ketiga berjudul Wajah Tak Bernama (1956); dan yang keempat berjudul Zaman Baru (1962). Kumpulan puisinya yang terakhir ini yang paling lemah karena tendens politik jelas terdapat di dalamnya. Sesudah Manipol/Usdek ditetapkan sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara, Sitor Situmorang aktif dalam kegiatan politik praktis, dan pada tahun 1959 ia menjadi ketua umum pertama Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), suatu lembaga kebudayaan yang bernaung di bawah PNI. Pada tahun 1966 ia ditahan karena dianggap terlibat G-30S/PKI. Puisi-puisi yang terdapat pada Zaman Baru cenderung bersifat sloganistis, agak bombastis, dan sama sekali bertentangan dengan esai-esainya pada permulaan, yang menuntut kejujuran dan kemurnian nilai-nilai penciptaan.
Puisi-puisi Sitor pada umumnya sangat mengasyikkan. Unsur puitisnya dibangun dari kemurnian bunyi dan lukisan-lukisan yang menimbulkan tanggapan-tanggapan pertentangan. Sebagai contoh disajikan puisi berikut ini.

Jam

Aman sendiri dalam sunyi kamar
Ia layangkan pandang pada surat kabar
Terjatuh. Lupa segala yang di luar
Serta matahari yang terus bersinar

Sunyi pun menyusup dalam pikiran
Yang terlihat semua seakan ketiduran,
Perabot, dinding dan kenangan bertaburan,
Menyatu dalam samar kelupaan

Lalu dimimpinya berbunyi jam,
berdetak dalam kenangan.
Tak ada yang gemerisik.

Detak jam bergema dalam,
Terpantul dasar kesedaran,
Kosong yang makin naik.
(Wajah Tak Bernama)

Lukisan yang memberikan pertentangan itu tampaknya sesuai dengan kepribadian Sitor yang penuh dengan konflik.

Dia orang Batak dari keluarga Kristen dalam suatu masyarakat yang baru benar memeluk agama Kristen dan di sana-sini masih dipengaruhi oleh sisa-sisa adat kekufuran apalagi bagi seorang yang dilahirkan di Samosir, pulau gaib yang dipenuhi dewa dan setan dari zaman silam. Dan di samping itu, sejak mulanya lagi Sitor seorang nasionalis, seorang Indonesia yang turut serta dalam perjuangan untuk menegakkan kepribadian rohani dan jasmani bangsa yang dalam pembangunan itu. Dan perlu ditambah lagi; dia telah menjelajahi alam Eropa modern, dunia para ahli eksistensialis Paris, dan amat terpengaruh olehnya. Karya kreatifnya merupakan hasil segala pengalaman ini, sehingga di dalamnya dapat kita temukan Paris di samping Samosir, seorang pemburu harimau yang tua di samping seorang pejuang gerilya, seorang ibi bangsa Batak yang tradisional dan saleh beragama Kristen di samping gendak bangsa Prancis (Teeuw, 1970: 185).

Kumpulan cerpen Sitor Situmorang yang pertama berjudul Pertempuran dan Salju di Paris (1956). Nama judul buku ini diambil dari judul cerpen pertama dan ketiga dalam kumpulan itu. Ada enam cerpen yang terdapat di dalamnya dan dari nama-nama cerpen itu terlukis kepribadian Sitor yang mengandung berbagai konflik itu. Nama-nama itu adalah Perempuan Harimau Tua, Salju di Paris, Fontenay Aux Roses, Jin, dan Ibu Pergi ke Surga.
Sebagian besar ceritanya berbentuk “aku” dan terasa jelas pengaruh filsafat eksistensialisme, terlebih-lebih dalam cerpen Fontenay Aux Roses. Suatu pembicaraan dalam cerpen tersebut menegaskan: “Sebagaimana kaum muda yang disebut L’existentialiste itu aku pun tak pernah memikirkan aliran filsafat itu hanya kurasa kami kaum muda sependapat dengan penemu filsafat itu bernama Sartre, bahwa hidup, termasuk dunia alam manusianya adalah absurd; tak punya sebab yang dibenarkan oleh suatu tujuan (Nasution, 1963: 54).
Mungkin karena berbagai konflik yang ada pada pribadi pengarang, terasa beberapa cerpennya bersifat fragmentaris, sukar diikuti rentetan peristiwa cerita-cerita itu. Bahasa dan corak pembeberannya kadang-kadang seperti karangan esai. Kumpulan cerpen Sitor yang kedua berjudul Pangeran (1963); tetapi beberapa cerpen yang terdapat di dalamnya semacam dengan cerpen yang terdapat dalam kumpulan yang pertama.
Judul cerpen yang terdapat di dalamnya, antara lain Kereta Api Internasional dan Pribahasa Jepang dan Sibolga. Nilai ceritanya tidak banyak berbeda dengan kumpulan cerpen pertama.
Kecuali sebagai penyair dan pengarang cerpen, Sitor banyak juga menulis esai. Esai Sitor, tajam analisisnya dan tampak meyakinkan; kecuali yang ditulis sesudah ia mencampuradukkan politik praktis dan kehidupan sastra. Corak yang terakhir ini tampak pada kumpulan esainya yang terbit pada tahun 1975 yang berjudul Sastra Revolusioner.
Sebagai pengarang drama Sitor telah menerbitkan satu kumpulan drama yang berjudul Jalan Mutiara (1954). Kumpulan itu berisi tiga lakon, yaitu Pulo Batu dengan latar belakang pesisir Danau Toba, Pertahanan Terakhir berlatar belakang Muang Thai, dan Jalan Mutiara berlatar belakang kota Jakarta. Unsur filsafat eksistensialisme terutama ada pada lakon terakhir, yang antara lain terdapat pelaku seorang pelukis yang berpendapat bahwa setiap orang harus membuat keputusannya sendiri dengan tiada memikirkan moral atau pendapat umum.
Dalam perkembangan sastra Indonesia peran Sitor penting sekitar tahun 1950 sampai dengan tahun 1956 dan sesudah itu tulisan-tulisannya lebih banyak diabdikan untuk kepentingan politik.
Puisi Sitor yang pernah ramai dibicarakan orang ialah yang berjudul Malam Lebaran. Puisi tersebut hanya terdiri atas satu bait, dan satu bait itu hanya terdiri atas satu baris.

Malam Lebaran

Bulan di atas kuburan

Kumpulan puisi yang terbit kemudian adalah: Dinding Waktu (1976); Peta Perjalanan (1976, yang pada tahun 1978 mendapat hadiah dari Dewan Kesenian Jakarta untuk puisi yang terbit pada tahun 1976-1977).
8.       Achdiat Karta Mihardja
Berdasarkan usianya, sebenarnya Achdiat Karta Mihardja hampir sebaya dengan pengarang-pengarang Pujangga Baru. Ia dilahirkan pada tanggal 6 Maret 1911 di Cibatu, daerah Garut, Jawa Barat. Namanya menjadi terkenal dalam sastra Indonesia, sesudah novelnya yang berjudul Atheis terbit pada tahun 1949.
Atheis merupakan novel pertama pertama sesudah perang yang paling banyak menarik perhatian. Kisahnya terjadi di daerah Bandung dari tahun-tahun menjelang kedatangan Jepang sampai pada saat pemerintah Jepang itu akan barakhir. Pelaku utamanya bernama Hasan, anak Raden Wiradikarta, seorang penganut Agama Islam dan pengikut suatu ajaran tarekat. Hasan dibesarkan dalam suasana keagamaan yang penuh dengan cerita dan dongeng tentang keagungan Tuhan dan juga tentang sebagai siksa kubur dan siksa neraka. Ia penganut Islam yang taat.
Setelah menamatkan sekolahnya di sekolah Mulo, hasan bekerja di Bandung. Di kota ini ia jatuh cinta pada seorang gadis, Rukmini namanya. Akan tetapi, orang tua gadis tidak menyetujui anaknya kawin dengan Hasan, seorang keturunan raden, sehingga percintaan mereka terputus. Dalam kegoncangan dan penderitaan batin itu, secara kebetulan Hasan bertemu dengan teman sekolahnya yang bernama Rusli. Hubungan mereka menjadi bertambah erat karena dengan cepat Hasan jatuh cinta pada Kartini, teman Rusli, seorang gadis modern yang lincah dan indah tubuhnya.
Pergaulannya dengan Rusli dan Kartini menimbulkan persoalan-persoalan baru bagi Hasan. Rusli seorang marxia dan atheis yang sadar, yang menganggap bahwa Tuhan itu buatan manusia belaka. Rusli amat bebas bergaul dengan Kartini, wanita yang bukan istrinya dan bukan pula saudaranya. Hasan terombang-ambing pikirannya. Segala yang diyakininya selama itu bertentangan dengan apa yang ada pada Rusli dan Kartini. Akan tetapi, karena keterikatannya dengan Kartini, maka justru sedikit demi sedikit keyakinan Hasan menjadi hilang. Hubungannya dengan orangtuanya pun menjadi putus. Hal itu disebabkan pada waktu Hasan pulang untuk menjenguk orangtuanya, ia disertai temannya yang bernama Anwar, seniman liar dan anarkis, yang tidak peduli hak dan milik orang lain. Sikap dan pikiran-pikiran baru Hasan ditambah dengan tingkah Anwar yang radikal dan tak kenal kesopanan itulah yang menimbulkan perpisahan Hasan dengan orangtuanya.
Walaupun dalam hati kecilnya Hasan cemburu dan curiga terhadap hubungan Kartini dengan Rusli dan Anwar, ia tetap hendak memiliki Kartini untuk dirinya sendiri. Perkawinan Hasan dengan Kartini hanya berlangsung kurang lebih tiga setengah tahun. Percekcokan selalu timbul, dan perceraian tak dapat dihindari. Penyakit paru-paru yang selama ini diderita oleh Hasan, menjadi bertambah sangat. Dengan badan yang lemah Hasan pulang ke kampung mengunjungi ayahnya yang sakit keras untuk menyampaikan penyesalan dan minta ampun segala dosanya. Akan tetapi, kedatangan Hasan ditolak oleh orangtuanya karena dapat mengganggu ketenangannya menghadap Tuhan.
Hasan telah kehilangan semuanya. Ia pulang ke Bandung dan dari apa yang didengar dan dilihatnya di suatu hotel ia menyangka keras bahwa Kartini telah berbuat serong dengan Anwar. Rasa amarah dan kegoncangan jiwanya tidak terkendalikan lagi. Hasan lari dan terus lari di gelap malam dan di saat sirene tanda bahaya udara meraung-raung dan tiba-tiba ..... tar! Peluru senapan menembus daging pahanya sebelah kiri. Hasan jatuh tersungkur dan dari bibirnya gemetar melepas kata Allahu Akbar, dan kemudian tidak bergerak lagi.
Ada beberapa hal yang menarik dari novel Atheis ini. Tema atau pokok persoalannya bukan lagi masalah pertentangan antara yang lama dengan yang baru, antara Barat dengan Timur, melainkan persoalan yang universal, yaitu persoalan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Apa yang dikemukakan adalah konflik-konflik ideologi terutama antara ideologi keyakinan agama dengan ajaran marxis.
Bahasa yang dipergunakan lancar dan lincah, walaupun sebenarnya kemahiran berbahasa Indonesia bagi Achdiat merupakan sesuatu yang harus banyak diusahakan sebelumnya. Achdiat banyak mempergunakan bahasa perbandingan dan juga kata-kata bahasa daerah. Betapa banyaknya kalimat perbandingan tampak pada kutipan berikut ini.

Stasiun Bandung sudah samar-samar diselimuti oleh senja, ketika kereta api dari Cibatu masuk. Matahari sedang mengundurkan diri, pelan-pelan dan hati-hati seperti pencuri yang hendak meninggalkan kamar untuk menghilang dalam gelap.
Kota Bandung tidak seperti tiga tahun yang lalu. Pada senja hari yang indah seperti itu, di zaman yang lalu kota itu seolah-olah mulai berdandan. Lampu-lampu listrik di jalan-jalan, toko-toko dan di rumah-rumah mulai di pasang, seakan-akan manusia bersedia-sedia untuk mulai berjuang membantu Ormurd, dewa terang, dalam perjuangannya yang abadi melawan Ahtiman, dewa gelap. Di mana-mana bola lampu sudah menyala, riang terang seperti jambu-jambu api yang makin  lama makin terang untuk berbaur pada akhirnya menjadi satu lautan cahaya yang terang benderang. Orang-orang, mobil-mobil dan kenderaan-kenderaan lain bergerak-gerak, laksana ikan-ikan yang bergerak-gerak di atas dasar segara. (halaman 224).

Di samping tema dan bahasa seperti tersebut di atas, yang paling menarik dari novel Atheis ialah teknik penceritaannya. Baik penggunaannya bentuk “aku” maupun penyusunan alur ceritanya merupakan suatu hal yang baru dalam sastra Indonesia. Sebenarnya, teknik penceritaan yang baru yang berbeda dari yang tradisional sudah tampak pada novel Belenggu. Akan tetapi, teknik penceritaan novel Atheis lebih jelas dan bersifat khas corak unsur barunya.
Teeuw melukiskan alur cerita novel Atheis sebagai berikut:

[    C     {     B     (                 A                  )     B    }      C     ]

Bagian A merupakan bagian terbesar dari novel tersebut yang berisi riwayat pelaku utamanya, yaitu Hasan. Bagian ini di mulai dari Bab III sampai Bab XII, yaitu dikisahkan dalam bentuk “aku”, yaitu Hasan.
Bagian B, baik sebelum dan sesudah A, merupakan kisah pertemuan dan perbincangan pengarang dengan Hasan. Bagian ini diceritakan juga dalam bentuk “aku”, tetapi “aku” pengarang. Bagian-bagian ini hanya singkat saja. B yang pertama meliputi Bab II, sedangkan B yang kedua meliputu Bab XII. Jadi, masing-masing hanya satu bab saja. Bagian C kedua-duanya merupakan  cerita pengarang tentang Hasan. Pada bagian ini juga digunakan bentuk “aku” si pengarang. Bagian C yang pertama terdiri dari satu bab, yaitu Bab I, yang hakikatnya kelanjutan bagian C yang kedua yang terdiri atas Bab XIV dan XV. Alur cerita semacam itu merupakan pengolahan alur flash-back yang sangat menarik, satu hal yang unik dalam teknik penceritaan waktu itu.
Novel ini menimbulkan pendapat di kalangan masyarakat. Berbagai pendapat itu dapat dibaca pada analisis Boen S. Oemarjati tentang novel tersebut yang berjudul Satu Pembicaraan Roman Atheis (1962). Dalam buku ini, Boen S. Oemarjati antara lain berpendapat bahwa pelaku Anwar yang liar anarkis itu sama semangat dan warnanya dengan penyair Chairil Anwar
Satu kelemahan novel Atheis menurut Teeuw ialah nada didaktis yang agak kuat yang kadang-kadang digunakan oleh pengarangnya, misalnya uraian yang panjang lebar tentang Marx, Freud, dan lain-lain. Walaupun demikian, terbitnya novel Atheis telah membuktikan bahwa Achdiat seorang pengarang yang penting, walaupun tidak produktif.
Berdasarkan analisis intertekstual, ada beberapa persamaan antara novel Atheis dengan novel Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Hamka. Persamaan itu antara lain: (1) keduanya menggunakan alur regresif, dalam arti awal cerita dalam buku itu hakikatnya adalah akhir cerita; (2) keduanya menggunakan sudut pandang cerita bentuk aku (author participant) dengan dua macam aku, yaitu aku pengarang sebagai pelaku tambahan (subordinate character) dan aku tokoh cerita sebagai pelaku utama (main character). Berdasarkan dua persamaan tersebut sering dikatakan bahwa novel Atheis sebagai bentuk transformasi dari novel Di Bawah Lindungan Ka’bah sebagai bentuk hipogramnya.
Pendapat tersebut oleh Achdiat Karta Mihardja dibantah secara tegas. Dikatakan olehnya bahwa ia belum pernah membaca Di Bawah Lindungan Ka’bah sebelum menulis Atheis.
Karangan Achdiat sesudah Atheis tidak banyak. Yang penting yaitu kumpulan cerpen yang berjudul Keretakan dan Ketegangan (1956) yang mendapat hadiah sastra nasional dari BMKN tahun 1955/1956. Ia juga menulis drama anak-anak berjudul Bentrokan dalam Asrama (1952). Setelah kunjungannya ke Amerika ia menulis cerita-cerita dalam sebuah kumpulan kecil yang berjudul Kesan dan Kenangan (1961). Di samping itu, sebelum perang Achdiat pernah menerbitkan Polemik Kebudayaan (1948), sebuah buku kumpulan polemik tentang kebudayaan pada waktu sebelum perang. Selanjutnya, Achdiat bekerja menjadi dosen di Australian Nasional University, Canbera.

PENGARANG-PENGARANG ANGKATAN 45 YANG LAIN
1.       Utuy Tatang Sontani
Ia terutama terkenal sebagai pengarang drama. Ada juga karangannya yang berbentuk novel, yaitu Tanbera, novel sejarah yang ditulis sejak zaman Jepang. Novel ini mengambil latar waktu ketika Belanda sedang memperkuat kedudukannya di Banda sekitar tahun 1600. Drama yang pertama-tama ditulis merupakan drama bersajak yang bersifat simbolik berjudul Suling, yang menggambarkan sejarah Indonesia sejak masa permulaannya.
Drama yang dikarang kemudian sebagian besar terdiri atas satu babak. Satu corak karangan Utuy pada umumnya ialah adanya nada sindiran (ironi) dengan gaya seloroh untuk memberikan perhatian terhadap orang-orang yang dipandang kurang penting dalam masyarakat.
Beberapa karangan dramanya itu ialah: Bunga Rumah Makan (1948); Awal dan Mira (1951, drama novel, yang mendapat hadiah sastra Nasional BMKN tahun 1952); Manusia Kota (1962, yang memuat empat lakon, yaitu Manusia Iseng, Sayang Ada Orang Lain, Di Langit Ada Bintang, dan Saat yang Genting. Dalam drama-drama tersebut terasa adanya pengaruh ilmu jiwa Freud, yang menganggap bahwa tindakan manusia itu sebagian besar dipengaruhi oleh nafsu-nafsu libodinya); Selamat Jalan Anak Kufur (1963, sebuah kumpulan drama yang berisi dua lakun, yaitu Selamat Jalan Anak Kufur dan Di Muka Kaca. Ajip Rosidi memandang drama Selamat Jalan Anak Kufur sebagai drama Utuy yang terkuat dan terbaik); Sangkuriang (1955, sebuah drama yang berbentuk libreto, merupakan saduran dari cerita rakyat di daerah Sunda. Sebelum itu, ia pernah menulis dengan judul Sangkuriang dalam bentuk drama prosa (1953)); Si Kabayan (1959, sebuah drama komedi yang juga diambil dari dongeng-dongeng rakyat di daerah Sunda); Si Sapar (1964, drama agitasi propaganda tentang usaha ‘mengganyang setan-setan kota’); Si Kampeng (1964, juga drama agitasi ‘mengganyang tujuh setan desa’).
Dua drama terakhir ini jelas propaganda untuk kepentingan Partai Komunis Indonesia. Kita ketahui bahwa sejak permulaan tahun 1960 Utuy masuk Lekra sehingga karangannya banyak bertendens politik praktis, tidak terlepas dari kepentingan PKI. Karena peristiwa G-30S/PKI dan Utuy jelas masuk anggota Lekra, maka karangan-karangannya dinyatakan dilarang.
Selain novel dan drama seperti yang tersebut di atas, Utuy juga banyak menulis cerpen. Kumpulan cerpen yang sudah diterbitkan berjudul Orang-Orang Sial (1951), yang suasana ceritanya tidak banyak berbeda dengan cerita Awal dan Mira.
2.       Trisno Sumarjo
Selain sebagai pengarang, ia juga terkenal sebagai pelukis. Ia menerbitkan majalahSeniman (1947) di Sala bersama-sama dengan pelukis S. Sudjono. Sebagai pengarang ia memiliki berbagai kecakapan, sebagai pengarang cerpen, puisi, drama, esai, kritik, dan terutama sebagai penerjemah berbagai sastra dunia.
Berbagai karangannya ialah: Kata Hati dan Perbuatan (1952, kumpulan karangan berisi lima cerpen, dua drama pendek dan beberapa puisi); Cita Taruna (1953, drama bersajak mengandung ibarat/bersifat alegoris); Rumah Raja (1957, kumpulan dua buah cerita yang berjudul Rumah Raja dan Pak Imran Intelek Istimewa. Keduanya merupakan cerita sendirian yang kadang-kadang mengandung seloroh. Teeuw memandang cerita yang kedua sebagai ‘salah satu cerita sindiran yang benar-benar berhasil di antara jumlah cerita sindiran yang amat kecil dalam sastra baru Indonesia’); Daun Kering (1963, kumpulan cerpen); Wajah-Wajah yang Berubah (1968, kumpulan cerpen); Keranda Ibu (1963); Penghuni Pohon (1963). Kedua cerpen tersebut merupakan Seni Sastra Modern yang diusahakan oleh Balai Pustaka, yang masing-masing terbit terpisah. Silheut (1966, kumpulan puisi yang berisi protes dan perlawanan terhadap segala macam ketidakadilan. Terbit dalam bentuk stensilan).
Adapun terjemahan yang telah diusahakan cukup banyak. Drama-drama Shakespeare yang telah diterjemahkan ialah Hamlet (1950); Machbeth (1950); Saudagar Vanezia (1951); Prahara (1952); Manasuka (1952); Impian di Tengah Musim (1954); Romeo dan Juliet (1955); Antonius dan Cleopatra (1963). Kemudian terjemahan yang berjudul Dongeng-Dongeng Perempuan (1959) karangan Jean de la Fontaine; Dokter Zhivago (1960) karangan Boris Pasternak, dan lain-lain (Ajip Rosidi, 1968: 123).
Trisno Sumarjo termasuk seorang tokoh penting pendukung Manifes Kebudayaan. Ia lahir tanggal 6 Desember 1916 di Surabaya dan meninggal tanggal 20 April 1969 dalam usia 53 tahun.
3.       Aoh K. Hadimadja
A. Teeuw memasukkan Aoh K. Hadimadja sebagai penulis prosa Angkatan 45 tahap kedua bersama pengarang-pengarang lain, yaitu M. Balfas, Barus Siregar, dan Rustam Sutiasumarga. Sementara itu, penyair-penyair yang dimasukkan pada tahap pertama dalam Angkatan 45 ialah Asrul Sani, Rivai Apin, Siti Nuraini (istri Asrul Sani), Mh. Rustandi Kartakusuma, Harijadi S. Hartowardoyo, dan Toto Sudarto Bachtiar. Pembedaan tersebut oleh Teeuw didasarkan atas jumlah karangan yang dihasilkan dan peranan mereka dalam Angkatan 45.
Aoh K. Hadimadja di lahirkan di Bandung, 15 September 1911. Jadi, sebaya dengan Achdiat Kartamihardja. Ia sering menggunakan nama samaran Karlan Hadi. Ia sudah menulis sajak sebelum perang dan puisi-puisinya banyak dimuat dalam majalah Pujangga Baru. Karangannya ialah: (1) Zahra (1962), kumpulan-kumpulan puisi religius yang berjudul Pecahan Ratna dan Di Bawah Kaki KebesaranMu. Dalam kumpulan ini dimuat juga satu lakon drama yang berjudul Lakbok. Pecahan Ratna kemudian diterbitkan sebagai kumpulan tersendiri oleh Pustaka Jaya tahun 1971. (2) Beberapa Paham Angkatan 45 (1952) berisi surat menyurat Aoh K. Hadimadja dengan H.B. Jassin tentang Angkatan 45, polemiknya dengan Hamka, Bakri Siregar, dan lain-lain.
Di samping karangan-karangan tersebut, ia menulis dua buah buku teori sastra yang berjudul Seni Mengarang (1972) dan Aliran Klasik Romantik dan Realisme dalam Kesusastraan (1973). Sejak tahun 1953 ia lebih banyak bekerja di Eropa terutama sebagai pegawai Radio Hilversum Nederland dan kemudian pada BBC London.
4.       M. Balfas
Ia lahir tanggal 25 Desember 1922 di Jakarta dan terkenal sebagai pengarang prosa. Kumpulan cerpennya yang diterbitkan berjudul Lingkaran-Lingkaran Retak (1952).
Sejak majalah Kisah didirikan tahun 1953, ia menjadi redaktur bersama dengan H.B. Jassin dan Idrus. Sesudah penerbitan Kisah dihentikan tahun 1956 dan majalah Sastra diterbitkan pada tahun 1961 ia duduk juga sebagai redaktur sampai ia meninggalkan Indonesia dan bekerja di Kuala Lumpur. Di sana ia menerbitkan sebuah novel yang berjudul Retak (1964), yang melukiskan tentang tokoh-tokoh politik di Indonesia yang mengorbankan martabat manusia dan kemanusiaannya demi kepentingan partai dan ideologi. Ia juga pernah juga menulis sebuah drama berjudul Tamu Malam yang belum dibukukan.
5.       Rusman Sutiasumarga
Ia lahir di Subang, 5 Juli 1917. Kumpulan cerpennya yang sudah diterbitkan berjudul Yang Terempas dan Yang Terkandas. Dalam kumpulan itu termuat cerpennya yang berjudul Gadis Bekasi yang pernah mendapat hadiah Balai Pustaka.
Cerpen-cerpennya yang lain diterbitkan oleh Balai Pustaka dalam Seri Sastra Modern (Ajip Rosidi menyebutnya penerbit proyek 16 halaman karena tiap penerbitan hanya terdiri atas satu cerpen yang umumnya terdiri atas ± 16 halaman) berjudul Korban Romantik (1964) dan Kalung (1964).
6.       Mh. Rustandi Kartakusuma
Ia lahir tanggal 21 Juli 1921 di Ciamis. Karangannya berupa drama, puisi, cerpen, dan terutama esai. Karangannya yang sudah diterbitkan sebagai berikut: (1) Prabu dan Puteri (1950); sebuah drama bersajak yang bersifat tragedi. Isinya saduran sebuah dongeng lama Sunda tentang kerajaan Padjajaran. Drama ini jarang dipentaskan karena dialog-dialognya berisi perenungan dan pemikiran filosofis. (2) Rekaman dari Tujuh Daerah (1951); kumpulan puisi yang paling tebal di antara kumpulan puisi yang pernah diterbitkan di Indonesia. (3) Merah semua Putuh Semua (1961); sebuah drama novel.
Karangan-karangan esainya cukup banyak, tetapi belum diterbitkan sebagai kumpulan. Bahkan, sebagian orang berpendapat bahwa Mh. Rustandi terutama penting sebagai pengarang esai. Ajip Rosidi berpendapat sebagai berikut:

“Esai-esainya ditulis dengan bahasa dan gaya yang sinis berkelakar, memberikan latar belakang pengetahuan yang luas, meskipun kadang-kadang terasa tidak menunjukkan dada lapang.” (1969: 125)

Dalam perbincangan tentang seni dan sastra Mh. Rustandi pada umumnya ikut ambil bagian dan tidak jarang ia melontarkan kritik-kritik yang tajam dan pedas tentang pendapat sebagian orang mengenai seni dan sastra Indonesia.
7.       M. Ali

Ia sering dijuluki sebagai pengarang Lapar karena sebuah drama radionya yang terkenal berjudul Lapar. Drama tersebut kemudian dibukukan dengan karangannya yang lain yang berupa cerpen dan puisi dalam satu kumpulan dengan judul Hitam Atas Putih (1959). M. Ali atau nama lengkapnya Muhammad Ali Maricar terkenal sebagai pengarang yang tulisan-tulisannya banyak bersifat kemasyarakatan. Beberapa karangannya yang lain yang telah diterbitkan umumnya berupa novel, yaitu 5 Tragedi (1954); Siksa dan Bayangan (1955); Perjuangan dengan Iblis (1955); dan Kabur Tak Bertanda (1955).