Rabu, 07 Mei 2014

ANGKATAN BALAI PUSTAKA

BALAI PUSTAKA SEBAGAI BADAN PENERBIT
Angkatan Balai Pustaka lazim disebut juga Angkatan 20 atau Angkatan Sitti Nurbaya. Menyamakan Angkatan Balai Pustaka dengan Angkatan 20 sebenarnya tidak dapat karena kegiatan sastra Indonesia sekitar tahun 1920 tidak semata-mata terbatas kepada kegiatan Balai Pustaka. Penamaan Angkatan Sitti Nurbaya pun kami rasa tidak tepat sebab penamaan itu hanya berdasarkan nama novel yang paling populer pada masa itu dalam arti paling banyak dibaca orang, bukan berdasarkan nilai sastra novel itu. Dalam hal nilai, orang memandang “Salah Asuhan” lebih tinggi daripada “Sitti Nurbaya”.
Nama Balai Pustaka menunjuk dua pengertian: (1) sebagai nama badan penerbit dan (2) sebagai nama suatu angkatan dalam sastra Indonesia. Kedua pengertian itu berhubungan erat. Balai Pustaka sebagai badan penerbit hingga kini masih ada, meskipun status dan fungsinya berbeda sama sekali dengan dahulu. Badan tersebut sekarang ada dalam lingkungan Depdiknas.
Balai Pustaka sebagai angkatan tidak terlepas dari riwayat pendirian Balai Pustaka. Pada akhir abad ke-19 pemerintah Belanda banyak membuka sekolah untuk bumiputera dengan maksud: (1) mendidik pegawai-pegawai rendah yang dibutuhkan oleh masyarakat dan (2) agar politik pengajaran tetap dikuasai oleh pemerintah. Akan tetapi, ternyata sekolah-sekolah tersebut makin luas sehingga banyak bangsa kita yang pandai membaca dan menulis. Pemerintah khawatir terhadap kegemaran membaca di kalangan rakyat. Untuk memenuhi hasrat membaca itu dengan keputusan No. 12 tanggal 14 September 1908 oleh pemerintah dibentuklah suatu komisi yang diberi nama Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Rakyat di Sekolah-Sekolah Bumiputera) di bawah pimpinan G.A.J. Hazeu. Komisi ini makin lama makin luas dan makin bertambah kegiatannya; sehingga pada tahun 1917 diubah menjadi suatu badan penerbit yang diberi nama Balai Pustaka. Pimpinan badan penerbit tersebut berturut-turut yaitu D.A. Rinkes, G.W.J. Drewes, dan K.A.H. Hidding.
Adapun tujuan pemerintah Belanda mendirikan Balai Pustaka itu antara lain sebagai berikut.
1.       Agar kehausan membaca di kalangan rakyat bisa dicukupi dengan buku-buku yang diterbitkan sendiri sehingga tidak akan membahayakan ketertiban dan keamanan negeri. Pemerintah khawatir apabila rakyat memperoleh dan membaca buku-buku dari luar, hal itu pasti akan membahayakan kedudukannya. Oleh karena itu, pemerintah membuat peraturan yang keras terhadap impor buku.
2.       Dengan menerbitkan sendiri buku-buku bacaan itu, pemerintah bermaksud secara langsung memasukkan unsur-unsur penjajahan melalui bacaan. Hal ini tampak pada banyaknya cerita kepahlawanan yang disaring ke dalam bahasa Indonesia dan juga adanya karangan-karangan, yang baik cerita maupun gambarnya dapat memberikan kesan buruk terhadap bangsa Indonesia, dan sebaliknya memberikan kesan baik terhadap usaha-usaha pemerintah Belanda di Indonesia.
3.       Seakan-akan sebagai balas jasa atau sekedar untuk memberi hati kepada rakyat dalam hubungannya dengan politik etis pemerintah pada masa itu.
Secara ringkas, usaha dan kegiatan Balai Pustaka itu ialah:
1.       Mengusahakan penerbitan naskah-naskah cerita rakyat dari berbagai daerah di Indonesia, misalnya Dongeng Banyuwangi, Si Kelantan, dan juga cerita-cerita wayang yang amat digemari oleh rakyat;
2.       Menerjemahkan dan menyadur cerita-cerita asing ke dalam bahasa Indonesia, misalnya Abu Nawas, Si Bakhil, Sebatang Kara, Tom Sawyer, dan sebagainya;
3.       Mengadakan penerbitan karangan-karangan asli yang ditulis oleh bangsa Indonesia sendiri, dan yang sebagian besar berbentuk novel, misalnya Azab dan Sengsara, Sitti Nurbaya, Salah Asuhan, dan sebagainya;
4.       Menerbitkan majalah dalam berbagai bahasa daerah di Indonesia: Panji Pustaka (bahasa Melayu/Indonesia), Seri Pustaka (bahasa Melayu/Indonesia), Kejawen (bahasa Jawa), dan Parahyangan (bahasa Sunda).
5.       Mengadakan penyebaran buku-buku secara luas sampai ke pelosok-pelosok, membangun perpustakaan di sekolah-sekolah, dan mengadakan penjualan buku-buku tersebut dengan harga murah.

PENGARUH BALAI PUSTAKA TERHADAP PERKEMBANGAN SASTRA INDONESIA
Balai Pustaka didirikan oleh pemerintah Belanda sama sekali tidak disertai maksud agar badan tersebut memberikan dorongan terhadap perkembangan sastra Indonesia. Tujuan yang pokok adalah memberikan konsumsi berupa bacaan kepada rakyat yang isinya cocok dengan politik pemerintah kolonial. Akan tetapi, kita tahu bahwa badan penerbit merupakan suatu faktor yang penting bagi perkembangan sastra, di samping faktor pengarang sebagai pencipta dan masyarakat sebagai pembaca atau penikmat. Oleh karena itu, didirikannya Balai Pustaka oleh Belanda dalam hal-hal tertentu memberikan manfaat kepada rakyat dan juga kepada perkembangan sastra Indonesia.
A. Teeuw dalam bukunya Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru menyinggung jauga masalah ini. manfaat dan peranan Balai Pustaka itu misalnya:
1.       memberikan kesempatan yang luas kepada pengarang bangsa Indonesia untuk menghasilkan karangan dan dengan sendirinya juga memberikan kesempatan kepada rakyat untuk membaca karangan bangsa sendiri. Adanya tempat untuk menerbitkan karangan-karangan inilah yang dipandang merupakan salah satu dorongan bagi pertumbuhan sastra Indonesia.
2.       Secara tidak langsung Balai Pustaka memberikan kesempatan juga kepada Indonesia untuk memperoleh pengetahuan dan kemajuan, terutama dalam bidang karang mengarang. Kemajuan dapat diperoleh melalui membaca karangan orang lain atau karena adanya kesempatan bekerja di lingkungan Balai Pustaka, baik sebagai korektor, redaktur, maupun sebagai pimpinan redaktur.
3.       Penyebaran secara luas cerita-cerita rakyat, cerita-cerita terjemahan atau saduran dari sastra asing banyak berpengaruh terhadap pertumbuhan sastra suatu bangsa. Cerita tersebut dapat memperkaya pengalaman jiwa dan merangsang tumbuhnya inspirasi dalam penciptaan, dan keduanya penting bagi perkembangan sastra.
Akan tetapi kita menyadari bahwa Balai Pustaka adalah badan penerbit resmi yang diusahakan oleh pemerintah kolonial. Segala usaha dan kegiatan badan itu tidak dapat dilepaskan dari kepentingan politik pemerintah penjajah. Oleh karena itu, tidak setiap naskah karangan dapat diterima dan diterbitkan, walaupun dari segi sastranya naskah itu bernilai. Ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh suatu naskah untuk dapat diterbitkan.
Persyaratan itu tercantum dalam suatu “Nota over de Volkslectuur” yang dikeluarkan pada tahun 1911 dan ditandatangani oleh D.A. Rinkes sebagai sekretaris Komisi untuk Bacaan Rakyat dan Sekolah-Sekolah Bumiputera. Isi nota Rinkes tersebut antara lain memuat syarat-sayarat penerbitan Balai Pustaka, yaitu:
1.       Karangan-karangan yang diterbitkan hendaklah yang dapat menambah kecerdasan dan memberikan pendidikan budi pekerti;
2.       Isi karangan tidak mengganggu ketertiban umum dan keamanan negeri, artinya tidak bertentangan dengan garis politik pemerintah;
3.       Harus netral agama
Tiga persyaratan pokok itulah yang dijadikan dasar landasan politik penerbitan Balai Pustaka, walaupun dalam pelaksanaannya tidak selalu dipegang teguh. Sebagai contoh misalnya novel-novel karangan HAMKA, yang isinya jelas bernafaskan Islam, diterbitkan juga kemudian oleh Balai Pustaka.
Ditinjau dari kehidupan dan perkembangan sastra yang sewajarnya, adanya persyaratan-persyaratan itu mempunyai akibat dan konsekuensi yang sering dipandang orang sebagai unsur negatif atau kelemahan Balai Pustaka. Walaupun sebenarnya hal itu dapat dimengerti sepenuhnya mengingat status badan tersebut dan situasi pada masa itu. Adapun akibat-akibat tersebut misalnya:
1.       Novel Salah Asuhan karangan Abdul Muis yang diterbitkan Balai Pustaka tahun 1928 sebenarnya tidak seluruhnya sesuai dengan naskah asli. Novel tersebut mengalami perubahan dan pembersihan, baik bahasa maupun isinya sesuai dengan kebijaksanaan pimpinan dan ketentuan yang ada.
2.       Novel Belenggu karangan Armijn Pane pernah ditolak oleh Balai Pustaka karena isinya tidak bersifat membangun dan tidak membentuk budi pekerti sesuai dengan persyaratan Nota Rinkes. Kemudian novel tersebut di muat oleh Pujangga Baru dalam lustrumnya yang pertama tahun 1938, dan baru pada cetak ulang berikutnya diterbitkan oleh Balai Pustaka.
Di samping itu, ada keluhan para pengarang, termasuk Sanusi Pane yang merasakan bahwa persyaratan yang dikehendaki Balai Pustaka merupakan hambatan bagi kemurnian ilham dan penciptaan sewajarnya.
Walaupun demikian, akhirnya haruslah kita akui bahwa hal-hal tersebut tidak seberapa artinya jika dibandingkan dengan usaha dan hasil-hasil yang telah dicapai bagi perkembangan sastra Indonesia.

KARAKTERISASI SASTRA BALAI PUSTAKA
Perkembangan sastra tidak terlepas dari perkembangan masyarakat. Segala sesuatu yang hidup dan berkembang dalam masyarakat sebagian besar tercermin dalam hasil-hasil sastra zamannya. Sastra Balai Pustaka tumbuh dan berkembang sekitar tahun 20-an. Sikap hidup dan cita-cita masyarakat, adat istiadat dan tumbuhnya pergolakan tentang pandangan hidup menjadi pokok-pokok persoalan penciptaan sastra pada masa itu. Karakterisasi sastra suatu priode pada umumnya dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu:
1.       Situasi dan kondisi masyarakat;
2.       Cita-cita dan sikap hidup para pengarang;
3.       Sikap dan persyaratan yang ditentukan oleh penguasa atau pemerintah.
Berdasarkan uraian di atas, karekterisasi atau sifat-sifat khas sastra Balai Pustaka dapat dituturkan secara rinci sebagai berikut di bawah ini.
1.       Sebagian besar sastra Balai Pustaka mengambil tema pokok masalah kawin paksa. Masyarakat beranggapan – terutama kaum tua – bahwa perkawinan adalah urusan orang tua. Pihak orang tua mempunyai kekuasaan mutlak dalam menentukan jodoh terhadap anaknya, dan hal ini dipandang sebagai adat yang takkan lapuk oelh hujan. Adapun motif kawin paksa itu bermacam-macam:
a.       Karena pandangan adat bahwa perkawinan cross cousin (antara saudara sepupu) sebagai perkawinan yang ideal. Kecenderungan ini misalnya terdapat pada novel Salah Asuhan.
b.       Karena masalah harta kekayaan, mislanya sebagai penebus hutang (Sitti Nurbaya) atau untuk mendapatkan menantu yang kaya (Azab dan Sengsara).
c.       Karena masalah kedudukan dan keturunan. Banyak orang tua yang mencita-citakan anak gadisnya agar memperoleh jodoh keturunan bangsawan atau keturunan sayid; sebab keduanya dipandang memiliki kedudukan terhormat dalam masyarakat (Si Cebol Rindukan Rembulan).
2.       Latar belakang sosial sastra Balai Pustaka pada umumnya pertentangan paham antara kaum tua dengan kaum muda. Kaum tua yang hendak mempertahankan adat versus kaum muda yang hendak menyesuaikan adat dengan kemajuan zaman. Pertentangan itu bukan hanya  dalam hal memilih jodoh, melainkan juga dalam masalah perkawinan pada umumnya, masalah pendidikan, dan lain-lain. Sikap penulis dalam hal ini bermacam-macam:
a.       Ada kecenderungan simpati kepada yang lama. Yang baru tidak semuanya baik (Salah Asuhan, Si Cebol Rindukan Rembulan).
b.       Ada kecenderungan simpati kepada yang baru. Kaum muda memperoleh kemenangan (Pertemuan Jodoh, Asmara Jaya, Darah Muda).
c.       Besikap tengah (Sitti Nurbaya).
3.       Unsur nasionalitas pada sastra Balai Pustaka belum jelas benar, meskipun tidak berarti bahwa unsur itu tidak ada sama sekali. Hal ini sudah ditegaskan pada bagian sebelumnya mengingat kedudukan Balai Pustaka sebagai badan penerbit resmi pemerintah. Pelaku-pelaku novel Balai Pustaka umumnya masih mencerminkan kehidupan tokoh yang berasal dari daerah-daerah.
4.       Peristiwa-peristiwa yang diceritakan sesuai dengan realitas kehidupan dalam masyarakat, tidak lagi berhubungan dengan kehidupan raja-raja, dewa, atau kejadian yang tidak masuk akal seperti halnya dengan cerita-cerita lama. Karena ceritanya sebagian besar berhubungan dengan lapisan masyarakat kaum tengahan maka sastra Balai Pustaka sering disebut juga sebagai Sastra Borjuis.
5.       Analisis psikologi pelaku-pelakunya belum dilukiskan secara mendalam. Yang mengarah pada usaha ini adalah novel Katak Hendak Menjadi Lembu karang Nur Sutan Iskandar.
6.       Sastra Balai Pustaka merupakan sastra bertendens dan bersifat didaktis. Hal ini sudah sewajarnya karena persyaratan yang sudah ditentukan oleh pimpinan Balai Pustaka. Ada bertendens yang bersifat politis, antara lain berusaha menanamkan jiwa pegawai yang taat dan patuh kepada pemerintah, misalnya secara tersirat tampak pada novel Sitti Nurbaya, dan ada pula tendens didaktis, yaitu usaha membentuk budi pekerti pada pembacanya. Tendens didaktis ini menonjol sekali pada hasil sastra Balai Pustaka sehingga ditinjau secara literer menimbulkan kelemahan-kelemahan karya sastra itu, misalnya:
a.       Pengarang sering keluar dari jalan cerita untuk memberikan nasihat kepada pembaca;
b.       Jalan cerita sering menjadi tidak wajar dan tidak logis, misalnya seorang yang sudah menghadapi sakratul maut masih sanggup berwasiat  dengan lancar dan panjang lebar;
c.       Watak para pelaku pada umumnya hanya terbagi menjadi dua, yaitu hitam putih atau baik buruk, tanpa mengenal variasi.
d.       Lukisan kehidupan pelaku sering kurang wajar sebagai tokoh yang berpribadi, hanya sekedar mengabdi pada tendens yang sudah di tentukan.
7.       Bahasa sastra Balai Pustaka adalah bahasa Indonesia pada masa permulaan perkembangan yang pada masa itu disebut bahasa Melayu Umum. Karena anggota, pimpinan dan para pengarang sebagian besar berasal dari Sumatera Barat maka pengaruh pada bahasa sastra Balai Pustaka terutama dari bahasa Minangkabau. Dari bahasa-bahasa daerah lain dan juga dari bahasa asing belum terasa sekali pengaruhnya.
8.       Genre (jenis) sastra hasil Balai Pustaka terutama berbentuk novel, sedangkan puisinya masih berupa pantun dan syair. Hal ini disebabkan novel mungkin dipandang bentuk yang paling tepat untuk menjalin unsur-unsur didaktis.

TIGA PENGARANG BALAI PUSTAKA YANG PENTING
Tiga pengarang Balai Pustaka yang penting ialah Nur Sutan Iskandar, Abdul Muis, dan Marah Rusli. Nur Sutan Iskandar penting karena ia mempunyai pengaruh yang besar terhadap hampir sebagian besar hasil sastra Balai Pustaka. Ia mula-mula sebagai korektor, kemudian sebagai redaktur dan akhirnya sebagai kepala redaktur badan tersebut. Abdul Muis penting karena novelnya Salah Asuhan dipandang sebagai yang paling menonjol nilai sastranya, baik dari segi bahasa maupun dari segi pengolahan ceritanya. Marah Rusli penting juga kedudukannya pada masa itu karena novelnya Sitti Nurbaya merupakan hasil sastra yang paling banyak dibaca orang. Novel Salah Asuhan dan Sitti Nurbaya sering disebut orang sabagai puncak-puncak sastra Balai Pustaka.
Berikut ini disebutkan beberapa hal secara ringkas tentang pengarang-pengarang tersebut:
1.       Nur Sutan Iskandar
Pengarang ini memiliki keistimewaan dibanding dengan yang lain.
a.       Ia seorang pengarang Balai Pustaka yang paling produktif. Jumlah karangannya mencapai sekitar 50 buah
b.       Karangan yang dihasilkan beraneka ragam:
1)     Berbentuk novel sejarah, novel psikologi, novel adat, dan lain-lain.
2)     Ada karangan asli, saduran, dan terjemahan.
3)     Ada yang berisi pengetahuan umum, cerita anak-anak, riwayat hidup, dan catatan harian.
c.       Seorang pengarang yang tetap menghasilkan pada hampir setiap tahap dalam perkembangan sastra.
d.       Seorang pengarang yang berhasil mencapai kemajuan terutama dari kemampuannya belajar sendiri.
Karena banyaknya karangan yang telah dihasilkan maka di bawah ini akan disebutkan sebahagian saja, diantaranya yaitu: Karangan Asli: Salah Pilih (dikarang dengan nama samaran Nursinah tahun 1928); Karena Mentua (1932); Hulu Balang Raja (novel sejarang yang oleh Teeuw dipandang yang terbaik); Katak Hendak Jadi Lembu; Neraka Dunia (1937); Cinta Tanah Air (novel yang terbit pada zaman Jepang tahun 1944); Mutiara (1946); Cobaan (1947); Cinta dan Kewajiban (dikarang bersama dengan L. Wairata).
Karangan Terjemahan: Anjing Setan (A. Canon Doyle); Gudang Intan Nabi Sulaiman (Rider Haggard); Kasih Beramuk dalam Hati (Beatrice Harradan); Tiga Panglima Perang (Alexander Dumas); Graaf de Monte Cristo (Alexander Dumas); Iman dan Pengasihan (H. Sienkiewicx); Sepanjang Garis Kehidupan (R. Casimir).
Karanagan Saduran: Pengajaran di Sweden (Jan Ligthart); Pengalaman Masa Kecil (Jan Ligthart); Si Bakhil (Moliere Lavare); Abunawas; Janger Bali; Korban Karena Percintaan; Apa Dayaku karena Aku Perempuan; Dewi Rimba. Catatan Harian: Ujian Masa (21-7-1947 s/d 1-4-1948)
Novel Katak Hendak Menjadi Lembu merupakan novel Nur Sutan Iskandar yang berhasil. Dalam novel itu dilukiskan betapa perangai seorang pegawai berpangkat kecil berbuat hendak menyamai kehidupan orang yang berpenghasilan banyak. Suria seorang menteri kabupaten pangkat di bawah camat, hidupnya bermegah-megah seperti kehidupan priyayi yang besar gajinya. Akhirnya, semuanya menjadi korban dan hidup dalam penderitaan. Dialog dalam novel tersebut terasa hidup, dan tampaknya kekuatan bahasa Nur Sutan Iskandar  terletak pada penggunaan dialog darripada gaya penuturan.
Di dalam karangan-karangannya pengaruh bahasa Minangkabau lebih terasa dibandingkan dengan karangan Marah Rusli adalah Abdul Muis, walaupun dalam karangan-karangannya kemudian pengaruh juga berasal dari bahasa Jawa, dialek Jakarta, dan lain-lain. Hal-hal ini tampak, misalnya pada novel Cobaan, yang dipandang oleh Teeuw sebagai novel yang tdak berhasil, mirip-mirip novel picisan.
Dua novel sejarah Nur Sutan Iskandar ialah Hulu Balang Raja dan Mutiara. Hulu Balang Raja mengisahkan hubungan antara Minangkabau dengan Belanda pada Abad ke-17, sedangkan Mutiara mengisahkan perang gerilya bangsa Aceh melawan Belanda tahun 1903. Hulu Balang Raja sebagai novel sejarah Nur Sutan Iskandar yang paling berhasil, walaupun cara penceritaannya kurang menarik, terlebih pada bagian-bagian permulaan. Di dalam melukiskan sesuatu amat teliti sampai pada soal-soal yang kecil.
2.       Abdoel Moeis
Abdul Muis dikenal karena novel Salah Asuhan yang terbit tahun 1928. Dalam novel itu dilukiskan bahwa perkawinan campuran antarbangsa lebih banyak membawa kesulitan daripada kebahagiaan. Hanafi, anak Minangkabau yang sejak kecil mendapat pendidikan dan hidup dalam pergaulan Belanda rela mengorbankan  bangsa dan “payung”-nya demi cintanya kepada Corrie de Bussee, seorang gadis keturunan Eropa. Ayah Corrie orang Prancis, sedangkan ibunya orang Melayu dan sudah lama meninggal. Pada mulanya Corrie menolak cinta Hanafi sebab teringat akan nasihat ayahnya, bahwa kawin campuran itu (Timur dan Barat) akan memburukkan kehidupan rumah tangga. Sesudah ayahnya meninggal, akhirnya dengan melalui berbagai kesulitan dilangsungkan juga perkawinan antara keduanya dengan dihadiri oleh dua orang saksi saja. Dua tahun mereka hidup berumah tangga yang tersisih dari lingkungan masyarakat dan keluarga ke dua belah pihak. Karena tidak ada keselarasan kehidupan rumah tangga mereka, akhirnya perpisahan tidak dapat lagi dielakkan.
Salah Asuhan merupakan novel yang sangat menarik sekali, dalam beberapa hal lebih menarik daripada Sitti Nurbaya. Bahasanya lancar dan pengaruh bahasa Minang tidak mengganggu jalan cerita. Masalah kawin paksa tidak jadi tema pokok cerita, terasa sekedar sebagai latar belakang cerita belaka. Hidup kejiwaan dalam pelaku-pelakunya dilukiskan secara teliti. Oleh karena itu, Salah Asuhan ada yang menyebutnya sebagai novel psikologis. Memang ada juga peristiwa-peristiwa dalam cerita itu yang terasa dibuat-buat, tidak wajar, seperti peristiwa Hanafi digigit anjing gila, peristiwa pertemuan Corrie dengan Hanafi di Betawi (Jakarta) pada saat sepedanya tertumbuk sepeda orang lain, dan sebagainya.
Novel Abdul Muis yang kedua adalah Pertemuan Jodoh (1933). Dibandingkan dengan novelnya yang pertama, Pertemuan Jodoh kurang berhasil. Hal yang menarik dalam novel ini ialah dipergunakannya bahasa dialek dalam dialog pelaku-pelakunya. Plot ceritanya mengambil pola cerita Panji: dua muda mudi (Suparta dan Ratna) berkenalan --- berkasih-kasihan --- timbul kesulitan dan rintangan-rintangan --- akhirnya bertemu kembali --- happy ending. Dalam novel tersebut terasa adanya kritik terhadap unsur-unsur feodalisme yang menghambat kemajuan.
Karangan Abdul Muis yang lain berupa novel sejarah, yaitu Surapati (1950) dan Robert Anak Surapati (1953). Karangan terjemahannya ialah Sebatang Kara (Hector Mallot) dan Tom Sawyer (Mark Twain).
Memang Abdul Muis sebagai penulis tidak banyak menghasilkan karangan. Akan tetapi, dengan novelnya Salah Asuhan ia termasuk pengarang Balai Pustaka yang penting. Di samping seorang pengarang, Abdul Muis bergerak juga di lapangan politik dan jurnalistik. Oleh pemerintah ia ditetapkan sebagai seorang pejuang Perintis Kemerdekaan.
3.       Marah Roesli
Marah Rusli lahir di Padang tahun 1889 dan meninggal pada 17 Januari 1968. Ia seorang keturunan bangsawan kota Padang. Ia sekolah di kedokteran hewan di Bogor dan kemudian kawin dengan seorang gadis Sunda tanpa persetujuan keluarganya. Karena perkawinannya itu, ia tersisih dari ikatan keluarga di kampungnya.
Hasil karangannya: Sitti Nurbaya, terbit tahun 1922 dengan subjudul Kasih Tak Sampai. Anak dan Kemenakan (1956). Memang Jodoh, yaitu sebuah novel yang bersifat autobiografis yang khusus dihadiahkan kepada ketiga anaknya (Drg. S. Rusli, Brigjen R. Rusli, dan Nani Rusli). Naskah novel tersebut tebalnya 316 halaman ukuran ½ folio tik rapat. Mungkin karena pertimbangan tertentu maka oleh keluarganya sampai sekarang belum diterbitkan. Selain sebagai pengarang, Marah Rusli juga bergerak di lapangan seni dan olahraga.
Di antara karangannya, Sitti Nurbaya merupakan novel arah Rusli yang paling terkenal. Bahkan, pada zaman Belanda buku ini dicantumkan juga sebagai buku pelajaran di AMS Yogya. Novel ini melukiskan cinta kasih tak sampai antara Sitti Nurbaya dan Syamsul Bahri disebabkan perbuatan busuk Datuk Maringgih. Sitti Nurbaya akhirnya harus kawin dengan datuk Maringgih semata-mata sebagai “pembayar utang” orang tuanya yang telah jatuh miskin dan banyak utang akibat akal licik yang sengaja dipasang oleh Datuk Maringgih.
Meskipun terdapat beberapa kelemahan terlebih apabila dilihat dari situasi masa sekarang, terbitnya novel Sitti Nurbaya dipandang sebagai novel perintis sastra Indonesia modern.
Bila dibandingkan dengan karangan-karangan Nur Sutan Iskandar dan Abdul Muis, terdapat beberapa perbedaan sebagai berikut:
1.       Di dalam karangannya Marah Rusli sering melukiskan sesuatu sampai pada hal yang sekecil-kecilnya, lebih-lebih dalam melukiskan alam tempat tinggalnya. Kebiasaan ini pada karangan Abdul Muis tidak kita dapati.
2.       Karena dorongan hendak memberi nasihat, Marah Rusli sering keluar dari jalan cerita dan muncul perannya sebagai “pemberi fatwa” kepada pembaca. Akibatnya, jalan cerita menjadi terganggu. Sikap seperti ini juga terasa pada karangan Nur Sutan Iskandar, sedangkan karangan Abdul Muis lebih wajar.
3.       Bahasa Marah Rusli lebih bersifat melayu dibandingkan dengan bahasa Nur Sutan Iskandar dan Abdul Muis. Akan tetapi, dibandingkan dengan pengarang-pengarang Minangkabau yang lain, bahasa Marah Rusli tidak seberapa banyak memakai pepatah, petitih, dan peribahasa.

PENGARANG-PENGARANG BALAI PUSTAKA YANG LAIN
1.       Aman Datuk Majoindo
Aman terkenal sebagai pengarang cerita anak-anak. Ia memimpin rubrik cerita anak-anak pada majalah Panji Pustaka. Buku karangannya tentang cerita anak-anak yaitu: Si Dul Anak Betawi. Buku ini menarik perhatian karena lukisannya yang hidup dan lucu yang diselingi dialek Betawi. Anak Desa. Buku ini pada cetakan diganti judulnya dengan Cita-Cita Mustafa. Isi ceritanya melukiskan kehidupan anak gembala di Bukit Barisan, Sumatera Barat. Karangannya yang berbentuk novel ialah: Si Cebol Rindukan Rembulan (1934); Menebus Dosa; Perbuatan Dukun; Rusmala Dewi (dikarang bersama S. Harjasumarto); Sebabnya Rafiah Tersesat (dikarang bersama S. Harjasumarto)
Yang paling menarik di antara karangannya ialah Si Cebol Rindukan Bulan. Tema ceritanya hampir sama dengan Katak Hendak Jadi Lembu. Ceritanya mengisahkan kehidupan Amat Pendek (Engku Pandeka) yang menginginkan anak gadisnya yang bernama Fatimah dapat bersuamikan seorang pemuda bangsawan yang bernama Sutan Ajis, walaupun sebenarnya Fatimah sudah mengikat janji dengan Didong, seorang pemuda di kampungnya.
Sesuai dengan judul buku itu, semua impian Amat Pendek gagal dan bahkan ia hanya beroleh aib saja. Yang menarik dari cerita ini ialah kejenakaan yang ditimbulkan oleh tingkah laku Amat Pendek yang congkak, gila pujian, dan bertingakah seperti seorang penghulu Wyk layaknya.
Walaupun bahasanya banyak terpengaruh bahasa Minang dan banyak pula menggunakan bahasa klise, karena terbawa oleh susana humor yang terdapat di dalamnya maka semua itu tidak mengganggu kelancaran cerita.
2.       Muhammad Kasim
Pengarang cerita anak-anak yang lain ialah M. Kasim. Karangannya yang pernah mendapat hadiah Balai Pustaka tahun 1924 berjudul Pemandangan Dunia Anak-Anak. Dalam karangan itu dilukiskan dengan tepat dan hidup betapa perangai dan tingkah laku seorang anak, bagaimana Samin membujuk minta makanan adiknya, bagaimana ia bertengkar, dan sebagainya.
M. Kasim terkenal sebagai seorang pengarang cerita-cerita lucu, di samping pengarang lucu yang lain, seperti Suman hasibuan dan Aman Datuk Majoindo.
Cerita-cerita pendek M. Kasim pernah di muat dalam majalah Panji Pustaka antara tahun 1931 s/d tahun 1935 kemudian dibukukan dan diberi nama Teman Duduk. Karangan M. Kasim yang lain adalah Muda Teruna, sedangkan karangan terjemahannya ialah Pangeran Hindi dan Niki Bahtera.
3.       Tulis Sutan Sati
Ia pernah juga bekerja di balai Pustaka. Bahasa Tulis Sutan Sati amat terpengaruh bahasa Minangkabau dan penuh dengan bahasa klise yang berupa pribahasa dan pepatah. Ceritanya sebagian besar juga berhubungan dengan perikehidupan masyarakat Minang.
Karangannya yang berbentuk novel: Tidak Membalas Guna (1932); Memutuskan Pertalian (1932); Sengsasra Membawa Nikmat (1928). Cerita lama yang disadur dalam bentuk syair: Sitti Marhumah yang Saleh; Syair Rosina. Sementara itu, hikayat lama yang ditulis kembali dalam bentuk prosa liris ialah Sabai nan Aluih.
4.       Selasih dan Sa’adah Alim
Keduanya pengarang wanita. Selasih sering memakai nama samaran (pseudonim) Seleguri atau Sariamin. Ia seorang pengarang wanita yang lahir tahun 1909. Karangannya yang berbentuk novel ialah: Kalau Tak Untung (1933); Pengaruh Keadaan (1973). Selain sebagai pengarang novel, Selasih banyak juga menulis puisi, antara lain di muat dalam majalah Panji Pustaka dan Pujangga Baru.
Sa’adah Alim menulis sebuah sandiwara yang berjudul Pembalasannya (1941) dan kumpulan cerpen yang berjudul Taman Penghibur Hati (1941). Karangan terjemahannya berjudul Angin Timur Angin Barat dari karagan Pearl S. Buck, pengarang wanita berkebangsaan Amerika.
5.       Merari Siregar
Merari Siregar sebenarnya dapat dikatakan sebagai pengarang novel Balai Pustaka yang pertama. Bukunya yang berjudul Azab dan Sengsara, mengisahkan nasib seorang gadis bernama Mariamin yang tidak berhasil kawin dengan pemuda yang dicintainya, yaitu saudara sepupunya sendiri yang bernama Aminuddin.
Walaupun persoalan yang dilukiskan dalam novel itu tersebut mengenai kehidupan masyarakat modern, gaya ceritanya masih terasa terpengaruh hikayat lama. Novel Azab dan Sengsasra menggunakan subjudul Kisah Kehidupan Seorang Anak Gadis.

SASTRA PERIODE TAHUN 20 DI LUAR BALAI PUSTAKA
1.       Karangan-Karangan yang Bertendens Politik
Sastra pada sekitar tahun 1920 tidak terbatas hanya pada kegiatan dan usaha Balai Pustaka saja. Di luar itu, juga diusahakan penerbitan majalah dan buku-buku yang isinya banyak yang bersifat sastra. Ada dua golongan penerbitan pada masa itu:
a.       Penerbitan karangan-karangan yang bertendens politik, dan
b.       Penerbitan karangan-karangan yang lebih bersifat sastra.
Pembedaan di atas sebenarnya tidak mutlak sebab karangan-karangan yang bersifat sastra tidak berarti semuanya bersih dari nafas politik. Masalahnya tergantung pada kadar dan pengolahannya dalam wujud karya sastra.
Karangan-karangan yang bertendens politik pada masa itu sering disebut sebagai “bacaan liar”. Beberapa pengarang “bacaan liar” itu antara lain adalah:
a.       Marco Kartodikromo
Karangannya yang terkenal adalah Student Hijo (1919) dan Rasa Merdeka atau disebut juga Hikayat Sujanmo (1924). Karangannya yang lain Mata Gelap (1914) dan Syair Rempah-Rempah (1919).
Karena karangan-karangannya itu, Marco Kartodikromo berulang-ulang dijatuhi hukuman oleh pemerintah Belanda dan kemudian dibuang ke Digul Atas, Irian Jaya. Oleh golongan komunis di Indonesia ia dipandang sebagai pelopor sastra Indonesia Modern karena isi karangan-karangannya dinilai mengandung kritik terhadap feodalisme dan kolonialisme. Soal nilai sastranya bukan masalah yang penting sebab golongan ini bersemboyan “politik adalah panglima”, artinya segala sesuatu mesti mengabdi untuk kepentingan plitik, termasuk kegiatan di bidang sastra.
b.       Semaun
Karangannya berupa sebuah novel yang berjudul Hikayat Kadirun (1924). Novel tersebut sesudah terbit segera dilarang beredar oleh pemerintah. Semaun termasuk seorang pemimpin Partai Komunis Indonesia pada saat itu sehingga bagi golongan ini ia pun dipandang sebagai tokoh pengarang yang penting.
Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah dibubarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan dinyatakan sebagai partai terlarang sejak tahun 1966 dengan Tap MPRS No. XVII th. 1966.
Buku-buku kedua “pengerang liar” tersebut sukar diperoleh sehingga secara pasti sukar berbicara tentang nialai sastranya. Akan tetapi, suatu karangan yang lebih mengutamakan tendens, terlebih tendens politik, lazimnya nilai sastranya kurang atau dikorbankan.
2.       Sastra Pra-Pujangga Baru
Di atas sudah disebutkan, bahwa di samping “bacaan liar”, di luar Balai Pustaka berkembang pula penerbitan karangan-karangan yang ebih bersifat sastra. Kegiatan sastra ini lazim disebut sastra Pra-Pujangga Baru sebab pengarang-pengarang golongan ini kemudian dikenal juga sebagai pengarang Pujangga Baru. Hasil karangan mereka pada sekitar tahun 1920 dapat dipandang sebagai sastra Pra-Pujangga Baru. Beberapa pengarang Pra-Pujangga Baru yang dimaksud adalah:
a.       Moh. Yamin
Moh. Yamin merupakan tokoh pejuang bangsa dan bahasa. Majalah Yong Sumatra yang pada dasarnya merupakan majalah berbahasa Belanda banyak diisi oleh Yamin dengan karangan-karangan berbahasa Indonesia. Karangan-karangan Yamin dalam majalh tersebut selama masa dua tahun, yaitu tahun 1920-1921, sudah dikumpulkan oleh Armijn Pane dan diterbitkan dengan judul Sanjak-Sanjak Masa Muda Mr. Moh. Yamin.
Sembilan belas dari 21 puisi dalam kumpulan itu berupa soneta, sedangkan yang lain yang berjudul Tanah Air berbentuk 9, 9, 9 dan yang berjudul Bahasa, Bangsa berbentuk 4, 3, 5, 6, 6.
Bentuk puisi-puisi Yamin telah berlainan dengan bentuk puisi lama, baik mengenai baris tiap baitnya maupun mengenai pola persajakannya, walaupun masih berupa pola yang teratus. Ia pula yang memperkenalkan bentuk soneta dalam khazanah puisi Indonesia. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Yamin merupakan perintis pembaharuan bentuk puisi baru dalam sastra Indonesia. Walaupun demikian, dalam karangan-karangannya ia belum sama sekali dapat melepaskan suasana pantun dan syair, terutama di dalam hal:
1)     Jumlah suku kata tiap baris,
2)     Potongan tiap barisnya menjadi dua bagian yang sama dengan satu jeda di tengah (caesure);
3)     Pemeliharaan pola persajakan yang masih berupa pola tertentu;
4)     Masih ditemukan penggunaan bentuk-bentuk klise dan perulangan-perulangan yang kurang ada artinya;
5)     Sering terasa adanya kata-kata penyumbat (stopwoord), yaitu kata-kata yang dipakai sekedar pengisi jumlah suku kata  dalam baris atau sekedar mengabdi pada pola persajakan. Akibatnya, pemakaian kata itu tidak wajar.
Berhubung dengan itu, dapat disimpulkan bahwa puisi-puisi Yamin bentuknya baru, sedangkan irama dan suasananya masih lama.
Contoh:
Beta berahi bersuka raya
Sekiranya bunga puspa mulia
Dipetik handaiku muda usia
Dijadikan karangan nan permai kaya

Bentuk soneta dalam kumpulan itu beraneka ragam, tetapi dua kuartrennya umumnya mempunyai rumus sajak yang sama dan sebagian besar berupa sajak berpeluk.
Adapun isi puisi-puisi tersebut umumnya berupa curahan perasaan cintanya pada tanah air, bahasa dan bangsa, meskipun pengertian tanah air pada permulaannya belum seluas seperti pengertian sekarang.
Kumpulan puisi Yamin yang pertama diusahakan sendiri berjudul Tanah Air, terbit bulan Desember 1922. Bentuknya merupakan suatu siklus yang terdiri atas 17 bait yang masing-masing tersusun atas 9 baris, seperti puisinya yang berjudul Tanah Air juga. Isinya seperti halnya puisi-puisi sebelumnya berupa curahan rasa kecintaan pengarang pada tanah air, bahasa dan bangsanya.
Dalam peringatan 5 tahun berdirinya Yong Sumatra, Yamin menulis sebuah puisi panjang yang berjudul Bandi Mataram (Januari 1923). Nama Bandi Mataram berasal dari Wannde Mataram (Skr) yang berarti “Ik Groet U Moederland” (Bld) atau “Aku Puja Engkau Ibu Pertiwi”. Jadi, nama itu tidak ada sangkut pautnya dengan Bende Mataram, nama sebuah cerita silat karangan Herman Pratikta. Isi Bandi Mataram berupa lukisan perjuangan bangsa kita di masa lalu yang penuh dengan penderitaan demi cintanya pada tanah air dan bangsa.
Kumpulan puisi Yamin yang kedua juga merupakan suatu siklus berjudul Indonesia Tumpah Darahku, yang pada bagian akhir buku itu diberi tanggal: Pasundan, 26 Oktober 1928, jadi dua hari sebelum hari Sumpah Pemuda. Kumpulan puisi ini terdiri dari 90 bait yang masing-masing terdiri dari 7 baris setiap bait dan ditujukan:
Kepada handai taulanku
Yang menghargai bahasa Indonesia
Sambutlah karangan ini sebagai
Buah tanganku kepada kekasih yang kucintai.

Apabila kita perhatikan, pada hakikatnya ada satu nada dasar yang menjiwai puisi yamin, dan nada itu jelas pada Indonesia Tumpah Darahku. Semua tulisan Yamin dilandasi:
1)     Kecintaannya yang menulang sumsum pada bangsa, bahasa, dan tanah air;
2)     Usahanya yang sangat keras untuk memajukan bahasa Indonesia karena menurut keyakinannya, perjuangan bahasa besar sekali pengaruhnya bagi perjuangan bangsa;
3)     Kekagumannya pada kejayaan bangsa pada masa kebesaran Sriwijaya dan Majapahit;
4)     Kegandrungannya pada persatuan dan kesatuan bangsa untuk memperoleh kebesaran yang telah hilang itu.
Perjuangan yang keras untuk persatuan bangsa, bahasa, dan tanah air ini bukan hanya terjelma dalam karangan-karangan puisinya saja, melainkan hampir pada setiap karangannya, baik esai, drama, maupun yang lain.
Adapun karangan Yamin yang lain adalah: Ken Arok dan Ken Dedes (drama yang pertama kali dimainkan pada malam Kongres Pemuda 28 Oktober 1928); Menantikan Surat dari Raja (1928); Di Dalam dan di Luar Lingkungan Rumah Tangga (1933, drama terjemahan dari karangan Rabindranath Tagore); Yulius Caesar (1951, drama terjemahan dari karangan W. Shakespheare); Gajah Mada (1948, novel sejarah); Sejarah Peperangan Diponegoro (1945); Tan Malaka (1946); Enam Ribu Tahun Sang Merah Putih; Sapta Dharma (1950); Revolusi Amerika (1951); dan Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia (1951).
Yamin meninggal pada 17 Oktober 1962 di Jakarta dan dimakamkan di bumi kelahirannya di Sumatera Barat.
b.       Rustam Effendi
Jika Marah Rusli dan Abdul Muis dikenal sebagai perintis sastra Indonesia modern di bidang penulisan novel, Yamin dan Rustam Effendi adalah pembuka sejarah baru dalam bentuk puisi.
Karangan Rustam Effendi yang sudah dibukukan ada dua, yaitu Bebasari dan Percikan Permenungan, keduanya merupakan Pasangan yang Sejoli karena kedua buku itu dikarang dalam saat dan suasana yang bersamaan.
 Di dalam kata pendahuuan Percikan Permenungan cetakan kedua dikatakan bahwa Percikan Permenungan lahir di Padang bulan Maret 1925, tidak berapa lama sesuadah Bebasari terbit. Percikan Permenungan lahir sebagai reaksi terhadap sikap pemerintah kolonial yang merintangi peredaran buku Bebasari.
Dalam lukisan tonil Bebasari, tegas dan keras terdengar jeritan merdeka, yang tertekan dan ditekan itu. Keperwiraan dan “heroisme” menjadi landasan penyulamannya. Bebasari mendapat halangan dan ancaman.

Percikan Permenungan terpaksa menukar kalam. Untuk mengelakkan ‘delict’ yang mengancam, diperpusatkan malam kepada lagu Asmaradana, diselingi seloka Tanah Air di sana sini suara merdeka didandani baju percintaan; ‘heroisme’ Bebasari menjelma menjadi ‘erotiek’ dan ‘romantiek’ dalam Percikan Permenungan.” (Effendi, 1953: 6)

Berdasarkan kutipan di atas, jelas bahwa Bebasari terbit lebih dahulu daripada Percikan Permenungan, jadi sebelum tahun 1925, tetapi anehnya dalam kata pendahuluan, Bebasari diterbitkan pertama kali tahun 1928. Mana yang benar di antara dua keterangan itu sukar dibandingkan, tampaknya benar bahwa Bebasari terbit lebih dahulu dari pada Percikan Permenungan. Isi kedua buku secara ringkas di singgung di bawah ini.
Bebasari adalah tonil atau drama bersajak dalam tiga pertunjukan (babak) yang isinya bersifat simbolik. Ceritanya mengisahkan kerjaan maharaja Takutar yang telah dirampas oleh Rawana. Bujangga, putra maharaja berusaha melepaskan kekasihnya yang bernama Bebasari, anak bangsawan Sabari, yang dikurung oleh Rawana. Dengan bantuan Sabainaracu, Bujangga berhasil mengusir Rawana dari kerajaan yang dirampasnya serta membebaskan Bebasari dari kurungan. Akhirnya Bujangga kawin dengan Bebasari. Simbolik drama tersebut jelas sekali. Rawana mengingatkan kita pada penjajah yang bersifat angkara murka; Bujangga sebagai lambang angkatan muda; sedangkan Bebasari adalah lambang kebebasan atau kemerdekaan tanah air. Karena jelasnya sifat simbolik drama tersebut maka buku itu sesudah terbit, oleh pemerintah dirintangi peredarannya.
Bahasa drama itu penuh berirama, banyak dihiasi dengan persajakan aliterasi dan asonansi. Betapa kayanya tanah air kita tampak dalam dialog di bawah ini.

O, ayah,
Hijau padangnya sebagai khatifah,
Jingga warna padi di sawah,
Tanahnya perak,
sita somarak.
Bergoa emas berkolam minyak,
Batu hitam intannya banyak.
Terbang terkepai burung dan murai,
berjoget, berlagu berbagai-bagai.
Badai bertiup berombak berbisik,
seperti serunai seruling musik...

Kemudian karangannya yang kedua. Percikan Permenungan merupakan kumpulan puisi yang terdiri atas 64 buah, yang 11 di antaranya berbentuk soneta. Berbeda dengan bentuk soneta Yamin, kedua kuartren soneta Rustam tidak terlalu berumus sajak yang sama.
Bentuk puisi lainnya beraneka ragam, dan yang menarik ialah keanekaragaman dalam jumlah kata dan jumlah suku kata tiap barisnya. Beberapa kemungkinan tentang jumlah suku kata tiap barisnya ialah:
1)     Sama jumlah suku kata tiap baris pada puisi itu, misalnya puisinya yang berjudul Dalam Kamar;
2)     Berselang-seling antara baris yang satu dengan baris yang lain, misalnya 6, 5, 6, 5, dan seterusnya;
3)     Berbeda sama sekali, ada terdiri dari dua suku kata ada yang terdiri dari 17 suku kata, misalnya puisinya yang berjudul Alam.
Tentang jumlah kata tiap barisnya ada beberapa kemungkinan pula:
1)     Sama tiap barisnya, misalnya 4, 4, 4, 4, dan seterusnya;
2)     Berselang-seling, misalnya 3, 4, 3, 4, dan seterusnya;
3)     Berbeda sama sekali, misalnya 1, 4, 5, 5, 6, 7, dan seterusnya.
Jumlah kata dan jumlah suku kata yang beraneka ragam itu memungkinkan adanya irama atau ritma yang lebih dinamis. Dengan cara demikian, Rustam Effendi ingin membuktikan pula penggunaan irama yang berdasarkan kata atau suku kata, bukan berdasarkan tekanan kata semata-mata. Dengan usahanya ini tampaknya Rustam Effendi hendak menuju puisi kata atau puisi suku kata, yaitu yang memandang kata atau suku kata sebagai kesatuan keindahan. Sebagai contoh dikutip dua bait dari puisi yang berjudul Bunda dan Anak seperti di bawah ini.

BUNDA DAN ANAK

Masa jambak
buah sebuah
diperam alam di ujung dahan
Merah darah
Beruris-uris
bendera masak bagi selera.
Lembut umbut
disantap sayap
Keroak pipi pengobat haus.
Harum baun
sumarak jambak
Di bawah pohon terjetuh ranum

Dari kutipan itu, jelas bahwa jumlah suku kata pada tiap barisnya berselang-seling 4, 5, 10, 4, 5, 10; sedangkan jumlah katanya berselang seling 2, 2, 4, 2, 2, 4.
Kecuali adanya kecenderungan penggunaan irama atau ritma yang berdasarkan kata atau suku kata tersebut, ada ciri-ciri lain dari puisi-puisi Rustam Effendi, yaitu:
1)     Unsur persajakan atau irama yang sebagian besar berupa aliterasi dan asonansi;
2)     Banyaknya perbendaharaan kata yang diambil dari bahasa Minang;
3)     Dalam menyingkat kata tampak seenaknya saja, misalnya saja: baunya_____baun; mutiara_____mutiar; dari_____dir; di atas_____d’atas, dan sebagainya. Penyingkatan ini bersangkut paut dengan usaha hendak memenuhi jumlah suku kata tertentu atau berhubungan dengan pola persajakan atau rima.
Di bandingkan dengan puisi-puisi Yamin, puisi Rustam Effendi lebih mengenal variasi dalam berbagai hal sehingga terasa lebih hidup dan dinamis. Akan tetapi, tampaknyagejolak jiwa pembaharuan itu tidak selamanya tertuang dalam bentuk yang baru pula sehingga sering terjadi kontradiksi antara isi dan bentuk. Hal ini jelas pada puisinya yang terkenal yang berjudul Bukan Beta Bijak Berperi yang dikutip dua bait di bawah ini.

BUKAN BETA BIJAK BERPERI

Bukan beta bijak berperi,
pandai menggubah madahan syair;
Bukan beta budak Negeri,
musti menurut undangan mair.

Sarat syaraf saya mungkiri,
Untaian rangkaian seloka lama,
beta buang beta singkiri
Sebab laguku menurut sukma.

Bentuk puisi di atas berupa puisi yang berselang-seling, baik jumlah kata mupun suku katanya, tetapi jumlah suku kata beserta irama dan pola persajakannya masih mudah mengingatkan kita pada bentuk pantun dan syair, dua bentuk yang justru hendak dibuang dan dihindari oleh penyair.
Isi Percikan Permenungan adalah cetusan jiwa penyair yang berhasrat akan kemerdekaan yang dijelmakan dalam bentuk romantik Bunda dan Anak, yaitu puisi puisi pertama pembuka kumpulan itu jiwanya sejalan dengan Bebasari.
Kecuali sebagai sastrawan, Rustam Effendi terkenal sebagai seorang yang bergerak di bidang politik. Ia pernah menjadi anggota Tweede Kamer di negeri Belanda mewakili Partai Komunis di sana, yaitu antara tahun 1933-1946.
Karangan yang lain yang dibukukan belum ada, walaupun sesudah kebangkitan Angkatan 66 ia masih sering menulis pada beberapa majalah.

c.       Sanusi Pane
Penngemar bentuk soneta dalam sastra Indonesia selain Moh. Yamin dan Rustam Effendi, terutama adalah Sanusi Pane. Kumpulan puisinya yang berjudul Puspa Mega, yang seluruhnya terdiri dari 34 puisi, hanya satu yang tidak berbentuk soneta.
Sanusi Pane sudah banyak menulis pada tahun dua puluhan. Beberapa karangannya dimuat dalam majalah Yong Sumatra dan majalah Timbul, dua majalah yang pada dasarnya memuat karangan-karangan dalam bahasa Belanda. Dramanya yang berjudul Airlangga (1928) dan Eenzame Garudavlucht (1929) pertama kali dimuat dalam majalah Timbul.
Puisi Sanusi Pane pada permulaannya tidak banyak berbeda dengan Moh. Yamin. Bentuk sonetanya hampir semuanya tersusun atas dua kuartren dan dua terzina.

Dalam perkembangannya kemudian Sanusi Pane merupakan tokoh penting Angkatan Pujangga Baru, tokoh ketiga sesuadah Sutan takdir Alisjahbana dan Amir Hamzah. Oleh karena itu, pada tempatnya bila tokoh ini diuraikan lebih lanjut pada pembicaraan tentang pengarang-pengaran Pujangga Baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar