Rabu, 07 Mei 2014

PERIODE TAHUN 30 ANGKATAN PUJANGGA BARU

MAJALAH PUJANGGA BARU
Nama Pujangga Baru mempunyai dua pengertian, yang satu dengan yang lain erat hubungannya. Dua pengertian itu ialah: (1) Pujangga Baru sebagai nama majalah, dan (2) sebagai nama angkatan dalam Sastra Indonesia.
Pujangga Baru sebagai nama majalah mengalami dua periode penerbitan, yaitu Pujangga Baru sebelum perang (Juli 1933-Maret 1942) dan sesudah perang (Maret 1948-Maret 1953). Dua periode penerbitan majalah itu masing-masing mempunyai kedudukan yang berbeda dalam perkembangan sastra Indonesia. Majalah Pujangga Baru sesudah perang tidak penting lagi artinya sebagai pembawa kehidupan sastra, walaupun tenaga pengasuhnya bertambah.
Majalah Pujangga Baru sebelum perang bersifat homogen, artinya pembawa semangat dari satu cita-cita, sedangkan sesudah perang bersifat heterogen, artinya kecuali pembawa semangat Angkatan Pujangga Baru, juga pembawa suara angkatan sesudahnya.
Majalah Pujangga Baru terbitan pertama (Juli 1933) dipimpin oleh Armijn Pane dan Sutan Takdir Alisjahbana. Pada terbitan nomor-nomor berikutnya Sutan Takdir Alisjahbana selalu duduk dalam pimpinan, sedangkan beberapa pengarang yang pernah duduk sebagai sekretaris redaksinya yang penting ialah Armijn Pane, W.J.S. Purwadarminta, dan H.B. Jassin. Pengarang Angkatan 45 yang ditambahkan pada staf redaksi majalah Pujangga Baru sesudah perang, antara lain Achdiat Kartamihardja dan Idrus.
Majalah Pujangga Baru, terutama periode sebelum perang adalah pembawa suara dan semangat dari Angkatan Pujangga Baru. Cita-cita, konsepsi, dan pikiran-pikiran yang berkembang pada angkatan itu sebagian besar tercermin pada majalah Pujangga Baru. Untuk mendapatkan gambaran perkembangan majalah itu dan persoalan pokok yang menjadi perhatian Angkatan Pujangga Baru dapat dilihat dari perubahan subtitel majalah tersebut.
Tahun pertama : Majalah kesusastraan dan bahasa sastra kebudayaan umum.
Tahun kedua : Majalah bulanan kesusastraan dan bahasa serta seni dan kebudayaan.
Tahun ketiga : Pembawa semangat baru dalam kesusastraan, seni kebudayaan, dan soal masyarakat umum.
Tahun keempat dan selanjutnya : Pembimbing semangat baru yang dinamis untuk membentuk kebudayaan baru, kebudayaan persatuan Indonesia.
Dari perkembangan perubahan subtitel itu jelas bahwa sifat dan perhatian majalah itu sebagai pembawa suara Angkatan Pujangga Baru makin luas dan tegas. Subtitel pada majalah periode sesudah perang cukup singkat, yaitu majalah kebudayaan; karena memang majalah itu tidak lagi berperan sebagai pembawa suatu angkatan.

KARAKTERISASI ANGKATAN PUJANGGA BARU
Di dalam Angkatan Pujangga Baru berkumpul sekelompok pengarang yang memiliki berbagai keanekaragaman. Berlainan halnya dengan Angkatan Balai Pustaka, yang sebagian besar pengarangnya berasal dari satu lingkungan daerah dan dari satu lingkungan keyakinan hidup.
Walaupun para pengarang Pujangga Baru memiliki suatu keanekaragaman, mereka merupakan satu angkatan karena mereka terikat oleh satu cita-cita yang sama yang hendak mereka perjuangkan. Mereka semuanya bercita-cita hendak membentuk kebudayaan baru, kebudayaan persatuan kebangsaan Indonesia. Keanekaragaman yang terdapat pada Angkatan Pujangga Baru itu, misalnya tampak pada:
1.       Daerah asalnya: Bali (I Gusti Nyoman Panji Tisna), Madiun (Sutomo Jauhar Arifin), Sangihe (Marius Ramis Dayoh), Minahasa (J.E. Tatengkeng), Tapanuli (Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, dan sebagainya), Padang (Rustam Effendi), Bangka (Hamidah), Aceh (M. Ali Hasyim), Langkat (Amir Hamzah), dan Maluku (Paulus Supit).
2.       Kepercayaan agamanya: Nasrani (J.E. Tatengkeng), Hindu Bali (I Gusti Nyoman Panji Tisna), Islam (Amir Hamzah, Sutan Takdir Alisjahbana, dan sebagian besar pengarang Pujangga Baru yang lain).
Hal tersebut besar pengaruhnya bagi perkembangan karya sastra pada angkatan itu, terutama bagi perkembangan kosa kata dan perluasan unsur-unsur penceritaan.
Pujangga Baru sebagai angkatan meliputi sejumlah pengarang yang kesemuannya berusaha hendak mengadakan pembaharuan di bidang kebudayaan Indonesia. Karena majalah tempat menyuarakan cita-cita mereka itu bernama Pujangga Baru yang terbit pertama kalinya pada bulan Juli 1933 maka Ankatan Pujangga Baru lazim disebut juga Ankatan 33 atau Angkatan 30.
Berdasarkan karya sastra buah pikiran mereka, karakterisasi Angkatan Pujangga Baru kiranya dapat dituturkan sebagai berikut:
1.       Tema pokok cerita pada umumnya bukan lagi berkisar pada kawin paksa atau masalah adat yang hidup di daerah-daerah, melainkan masalah kehidupan kota atau kehidupan masyarakat modern, misalnya masalah perubahan (Manusia Baru – Sanusi Pane); masalah kedudukan wanita (Layar Terkembang – Sutan Takdir Alisjahbana); masalah kedudukan suami istri dalam hidup berumah tangga (Belenggu – Armijn Pane); dan sebagainya.
2.       Sudah jelas mengandung nafas kebangsaan atau unsur nasionalitas, baik karangan yang berbentuk prosa maupun yang berbentuk puisi. Puisi-puisi Asmara Hadi jelas sekali mengandung unsur nasionalitas itu sehingga ia sering dijuluki penyair api nasionalisme.
3.       Memiliki kebebsan dalam menentukan bentuk pengucapan sesuai dengan pribadinya. Angkatan Pujangga Baru melepaskan diri dari ikatan bentuk-bentuk tradisi lama dan juga merasa tidak terikat oleh syarat-syarat yang ditentukan oleh pihak penguasa. Kebebsan ini merangsang tumbuhnya keanekaragaman pada karya sastra. Jika karya sastra sebagian besar berupa novel, sastra Pujangga Baru meliputi bentuk-bentuk: novel, cerpen, esai, kritik, dan puisi dengan bermacam-macam bentuk.
4.       Bahasa sastra Pujangga Baru adalah bahasa Indonesia yang hidup dalam masyarakat; yang dalam beberapa hal menyimpang dari bahasa yang dipakai dalam sastra resmi Balai Pustaka. Hal ini tampak misalnya pada:
a.       Tambahnya kosa kata yang berasal dari berbagai bahasa daerah di Indonesia dan juga berasal dari bahasa asing;
b.       Tumbuhnya pembentukan dan kombinasi kata-kata baru, misalnya mendatang, membesar, sambur limbur, sinau-kilau, dan sebagainya;
c.       Timbulnya susunan kalimat dan pembentukan-pembentukan kata akibat pengaruh bahasa asing, misalnya mengejar cita-cita, mengambil bagian, mempunyai gambaran, dan lain-lain;
d.       Tumbuhnya ungkapan-ungkapan baru.
5.       Baik prosa maupun puisinya sebagian besar mengandung suasana romantik, bahkan sering dikatakan romantik idealistik. Ciri romantik itu sepintas lalu saja tampak pada:
a.       Nama-nama buku karangan mereka, misalnya Puspa Mega, Madah Kelana, Buah Rindu, Rindu Dendam, Tebaran Mega, Nyanyian Sunyi, dan sebagainya.
b.       Banyaknya karangan yang mengambil bahan dari sejarah, misalnya Ken Arok dan Ken Dedes, Kerta Jaya, Sandhyakalaning Majapahit, Gajah Mada, dan sebagainya.
c.       Lukisan sesuatu dengan bahasa yang indah-indah, yang sering terasa berlebih-lebihan.
6.       Adanya unsur pengaruh dari sastra lain, terutama dari Angkatan 80 (de Tachtigers Baweging) di negeri Belanda. Di dalam usahanya untuk mencari bentuk pengucapan yang baru, para pengarang Pujangga Baru berkenalan dengan Angkatan 80; yang keduanya mersakan semangat hidup yang sama, yaitu sama-sama menentang sastra sebelumnya yang dipandang sudah beku kebetulan pula pada masa itu bangsa Indonesia ada di bawah kekuasaan pemerintah Belanda.
Demikianlah secara garis besar sifat-sifat khas sastra Pujangga Baru. Dibandingkan dengan sastra Balai Pustaka memang masih ada beberapa persamaan, terutama dalam hal tendens cerita dan unsur didaktis yang terdapat di dalamnya. Sastra Pujangga Baru belum terlepas dari masalah tendens, lebih-lebih karangan Sutan Takdir Alisjahbana.

ANGKATAN 80 DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUJANGGA BARU
1.       Angkatan 80 dan Tokoh-Tokohnya
Pada tahun 1880 di negeri Belanda tampil beberapa orang pengarang yang berusaha untuk mengadakan pembaharuan di bidang kebudayaan. Sesuai dengan tahun munculnya, gerakan itu disebut Gerakan 80 (de Tachtigers Baweging). Tokoh dari gerakan itu ialah Willem Kloos, Yacques Perk, Frederik van Eeden, Albert Verwey, Herman Gorter, dan Lodewyk van Deyssel. Mereka menerbitkan majalah bernama De Nieuwe Gids artinya Pandu Baru, yang terbit pada tahun 1885. Nama itu sebagai pertentangan dengan majalah yang sudah terbit sebelumnya yang bernama De Gids (Pandu) pada Tahun 1840 yang diusahakan oleh Potgieter, Busken Huet, dan Vosmaer. De Gids dapat dipandang sebagai jembatan antara sastra pendeta (sastra domine) dengan sastra Angkatan 80. Angkatan 80 bertentangan dengan sastra pendeta yang dipandang sebagai sastra yang bersifat lamban.
Tokoh-tokoh Angkatan 80 mencari ilham bagi karangan-karangannya dari negeri-negeri sekitarnya, seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Pujangga Baru. Puisi Angkatan 80 banyak menerima pengaruh dari aliran romantik di negeri Inggris yang berkembang pada permulaan abad ke-19, sedangkan prosanya menerima pengaruh naturalisme di negeri Prancis. Akan tetapi, di dalam Angkatan 80 aliran romantik lebih kuat berkembang dan itu pula yang banyak mempengaruhi corak sastra Pujangga Baru.
Di dalam perkembangannya kemudian muncullah semacam perpecahan di dalam tubuh angkatan itu, yaitu antara golongan WillemKloos dengan golongan Albert Verwey. Golongan Albert Verwey tidak menyetujui paham Willem Kloos yang terlalu individualistis dan terpisah dari masyarakat. Perasaan romantik Willem Kloos berupa cinta pada keindahan yang berlebih-lebihan. Willem Kloos berkata bahwa seni harus berupa pengungkapan yang paling individual tentang emosi yang paling individual (de aller individueelste espressie van de aller – individueelste emotie). Seni bagi Willem Kloos bersifat sangat subjektif, individual dan asosial. Yang harus dikemukakan dalam seni adalah keindahan semata-mata. Lodewyk van Deyssel sebagai kelompok Willem Kloos bersemboyan bahwa seni adalah kegairahan (kunst is passie). Bagi mereka keindahan menjadi tujuan penciptaan seni. Seni tidak lagi memedulikan ukuran-ukuran kesusilaan, tidak lagi untuk memberikan pendidikan, tetapi semata-mata demi keindahan. Seni untuk seni (I’art port I’art).
Golongan Albert Verwey tidak setuju dengan paham Willem Kloos yang terlalu individualistis itu, yang memuja-muja keindahan, tetapi lepas dari kehidupan masyarakat. Seni harus sesuai dengan tujuan kehidupan yang tidak memisahkan diri dari masyarakat. Frederik van Eeden mengatakan bahwa seorang penyair yang tidak berbicara kepada orang banyak, dia bukan apa-apa.
Golongan atau kelompok itu akhirnya terpecah-pecah pula. Masing-masing dengan dasar dan tujuan sendiri. Willem Kloos tetap meuja keindahan secara berlebih-lebihan, sifatnya terlalu individualistis. Lodewyk van Deyssel semula memuja perasaan, kemudian makin bersifat naturalistis. Frederik van Eeden berusaha mencari kebenaran terutama dari dasar keagamaan, sedangkan Albert Verwey dari filsafat. Herman Gorter akhirnya menjadi seorang komunis bersama-sama dengan seorang pengarang wanita terkenal yang bernama Henriette Roland Holst.
2.       Perbedaan dan Persamaan antara Pujangga Baru dengan Angkatan 80
Di atas sudah dikemukakan, bahwa ada dua alasan pokok yang menyebabkan Pujangga Baru mendapat pengaruh dari Angkatan 80, yaitu: (a) adanya semangat hidup yang sama, dan (b) kebetulan bangsa kita pada masa itu di bawah kekuasaan pemerintah Belanda.
Adanya pengaruh dari sastra asing bukan suatu kelemahan, tetapi bahkan menunjukkan adanya suatu kehidupan yang dinamis, yang menuju pada perkembangan dan kemajuan. Menerima pengaruh bukan berarti menelan dan menerima begitu saja sesuatu unsur baru, melainkan mengolah dan menempa unsur baru itu sesuai dengan pribadi sendiri. Antara kedua angkatan itu tetap tampak adanya perbedaan dan persamaan.
Perbedaan antara Pujangga Baru dengan Angkatan 80 adalah sebagai berikut:
a.       Pada umumnya Angkatan 80 mengutamakan unsur estetis yang murni, sedangkan pujangga Baru umumnya lebih mengutamakan unsur tujuan sosial yang jelas. Hal ini disebabkan umumnya pengarang-pengarang Angkatan 80 lebih menekankan tujuan seni, sedangkan Pujangga Baru lebih menekankan tujuan kemasyarakatan.
b.       Sebagian besar pengarang Pujangga Baru menolak sifat individualisme yang dianut oleh beberapa pengarang Angkatan 80 yang tidak mempunyai corak kemasyarakatan sama sekali, dan juga membuang ciri naturalisme pada angkatan itu yang tidak mempunyai tujuan-tujuan yang nyata. Hal ini disebabkan pengarang-pengarang Pujangga Baru menyadari bahwa mereka menjadi anggota masyarakat dan ingin merombak masyarakat bangsanya dari masyarakat yang lama dengan kesusastraannya yang statis menjadi masyarakat yang dinamis dengan kesusastraannya yang dinamis pula.
Akan tetapi, akhirnya perbedaan kedua angkatan tersebut menjadi nerkurang juga apabila kemudian ternyata bahwa cita-cita kemasyarakatan masuk juga pada Angkatan 80 (Frederik van Eeden, Herman Gorter, dan sebagainya); dan sebaliknya asas seni untuk seni masuk juga pada Pujangga Baru (Sanusi Pane) walaupun penafsirannya berbeda dengan seni untuk seninya Willem Kloos.
Adapun persamaan antara kedua angkatan itu ialah sebagai berikut:
a.       Keduanya menentang sastra sebelumnya yang sudah merosot nilainya dan yang penuh konvensi-konvensi. Pujangga Baru menentang sastra Melayu klasik yang dirasa statis dan beku; sedangkan Angkatan 80 menentang sastra domine (pendeta) yang dirasa sangat lamban.
b.       Di dalam usahanya mencari pengucapan yang baru, keduanya mencari contoh dari luar negeri. Pujangga Baru mendapat pengaruh dari Angkatan 80, sdangkan Angkatan 80 mendapat pengaruh pula dari Inggris (terutama pada puisinya) dan dari Prancis (terutama pada prosanya).
Penyair Pujangga Baru yang banyak terpengaruh oleh Willem Kloos, misalnya J.E. Tatengkeng yang pernah menulis puisi yang khusus ditujukan untuk memperingati pujangga baru Angkatan 80 tersebut. Sanusi Pane tampaknya terpengaruh dalam sikap pendirian tentang asas seni untuk seni, walaupun pengertian dan penafsirannya berlainan. Sutan Takdir Alisjahbana sejajar dengan Lodewyk van Deyssel terutama dalam hal tulisan-tulisannya yang penuh dinamika dan berapi-api.

PUJANGGA BARU SEBAGAI ALIRAN KEBUDAYAAN
Seperti kita ketahui, bahwa pengarang-pengarang Pujangga Baru merupakan satu ankatan dan memungkinkan mereka bekerja sama karena mereka terikat oleh cita-cita yang sama, yaitu cita-cita hendak membangun kebudayaan baru dan dinamis, kebudayaan persatuan kebangsaan Indonesia. Akan tetapi, tentang rupa (wujud) kebudayaan baru itu dan bagaimana cara mendirikannya antara yang seorang berbeda dengan yang lain. Cita-cita mereka sama, tetapi bagaimana cara mewujudkan cita-cita itu mereka berbeda-beda. Perbedaan itu tampak jelas dari sikap dan pendirian dari tiga tokoh Pujangga Baru, yaitu Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, dan Armijn Pane. Secara ringkas berikut ini adalah sikap pendirian mereka.
1.       Pembentukan Kebudayaan Baru menurut Sutan Takdir Alisjahbana (STA)
Sebelum menguraikan bagaimana mewujudkan kebudayaan Indonesia yang baru, STA terlebih dahulu mengemukakan bahwa sejarah Indonesia baru dimulai dalam abad ke-20, ketika lahir suatu generasi yang benar-benar memiliki perasaan dan semangat keindonesiaan. Sebelum itu adalah zaman pra-Indonesia, zaman jahiliyah keindonesiaan. Zaman Indonesia bukan sambungan atau terusan yang biasa dari zaman pra-Indonesia yang hanay mengenal sejarah Mataram, sejarah Aceh, sejarah Banjarmasin, dan lain-lain.
Kebudayaan Indonesia juga bukan sambungan dari kebudayaan Jawa, kebudayaan Sunda, dan lain-lain. Kebudayaan Indonesia bersifat statis sehingga tidak boleh berperan dalam pembangunan kebudayaan Indonesia yang baru.
Akan tetapi, hal itu bukan berarti bahwa dalam kebudayaan Indonesia yang sedang tumbuh itu tidak terdapat unsur pra-Indonesia. Unsur itu pasti ada, hanya mendapat arti lain. Masyarakat dan kebudayaan Indonesia yang akan kita tuju harus bersifat dinamis karena masyarakat yang dinamislah yang dapat maju. Bangsa Barat dapat maju karena memiliki sifat dinamis dengan unsur-unsur kebudayaan yang terdiri dari: individualisme, meterialisme, dan intelektualisme.
Jika ingin maju, bangsa Indonesia harus memiliki unsur kebudayaan itu, dan kita tidak perlu takut akan ekses-ekses negatif yang mungkin timbul karena unsur-unsur itu, misalnya timbul egoisme, kapitalisme, dan liberalisme karena perkembangan Indonesia belum sejauh itu. Jadi, untuk membentuk kebudayaan Indonesia yang baru, kita harus mengambil unsur-unsur kebudayaan barat, sebab unsur-unsur itulah yang membuat bangsa menjadi maju dan dinamis.
Kiranya perlu juga ditambahkan bagaimana pendapat STA tentang perkembangan kebudayaan Indonesia. Pendapat itu jelas pada pidato Wisuda Pengukuhan Anggota-Anggota Akademi Jakarta pada tanggal 24 Agustus 1970 yang berjudul Perkembangan Seni Indonesia dalam Masyarakat Kebudayaan yang Sedang Tumbuh. Dalam pidatonya itu, STA menilai kebudayaan bangsa kita merupakan suatu kebudayaan yang masih dikuasai oleh nilai-nilai seni dan agama. Karena agama dan seni ekspresi mempunyai kedudukan yang penting, kebudayaan seperti itu disebut kebudayaan ekspresif. Kebudayaan ekspresif lebih banyak berdasarkan perasaan, intuisi, fantasi, dan tradisi sehingga ilmu dan ekonomi yang lebih banyak berdasarkan akal dan perhitungan-perhitungan tidak mengalami perkembangan yang maju. Kebudayaan ekspresif menjadi bersifat lamban dan tradisional.
Sebaliknya, kebudayaan modern yang berkembang pesat dewasa ini terutama dikuasai oleh nilai-nilai ilmu dan ekonomi. Kebudayaan ekspresif membawa masyarakat suatu bangsa menjadi kaya akan nilai-nilai di bidang rohani, tetapi terbelakang di bidang kemajuan teknik dan kemakmuran materi. Demikian juga sebaliknya yang terjadi. Bangsa kita bertekad maju di bidang teknik dan ekonomi sehingga sehingga menjadi suatu keharusan adanya persentuhan antara kebudayaan progresif dengan kebudayaan ekspresif yang hakikatnya mengalami krisis.
Dengan demikian, kebudayaan kita sekaligus mengalami dua krisis, yaitu dari tradisi ke dunia modern dan krisis dari dunia modern ke dunia baru yang sedang tumbuh yang merupakan perpaduan kembali kebudayaan progresif dengan kebudayaan ekspresif.
Dalam keadaan terombang-ambing antara dua krisis itu, ada kemungkinan kita melompatkan kebudayaan ekspresif sekaligus pada perpaduannya dengan kebudayaan modern yang progresif yang penuh dengan dinamika.
Dengan pendapat tersebut, tampaknya STA benar-benar menyadari betapa pentingnya peranan nilai-nilai rohani dalam pembangunan kebudayaan yang akan datang.
2.       Pembentukan Kebudayaan Baru menurut Sanusi Pane
Pertama-tama, Sanusi Pane tidak dapat menyetujui pendapat STA yang mengatakan bahwa zaman Indonesia tidak boleh dianggap sebagai sambungan atau terusan zaman pra-Indonesia. Sanusi Pane berpendapat bahwasejarah itu ibarat suatu mata rantai ketika-ketika, yang timbulnya dari yang di belakangnya. Zaman Indonesia sudah ada sejak dahulu.
Kemudian tentang pembentukan kebudayaan baru, Sanusi Pane berpendapat bahwa di dalam kebudayaan Indonesia baru yang akan dibentuk itu harus dipertemukan unsur-Tunsur kebudayaan Timur. Unsur-unsur kebudayaan Timur oleh Sanusi Pane dilambangkan dengan Arjuna, seorang tokoh di dalam perwayangan yang bersedia mengorbankan dirinya untuk memperoleh keluhuran budi. Unsur-unsur kebudayaan timur itu berupa: (a) kolektivisme (yang mengutamakan kehidupan bersama); (b) spiritualisme (yang mengutamakan kerohanian); (c) perasaan.
Kebudayaan Barat oleh Sanusi Pane dilambangkan dengan Faust, seorang tokoh mitologi dalam sastra Barat (karangan Goethe); yang bersedia mengorbankan dirinya asal menguasai materi.
Kebudayaan baru yang kita bentuk itu harus merupakan perpaduan (kesatuan) antara Faust dan Arjuna, harus memesrakan individualisme, materialisme, dan intelektualisme dengan kolektivisme, spiritualisme, dan perasaan atau merupakan perpaduan antara unsur-unsur kebudayaan Barat dengan kebudayaan Timur.
3.       Pembentukan Kebudayaan Baru menurut Armijn Pane
Armijn Pane berpendirian bahwa sifat dinamis itu bukan monopoli bangsa Barat saja. Setiap bangsa pada suatu ketika mengalami sifat dinamis itu; seperti halnya bangsa kita di masa kejayaan Kerajaan Majapahit.
Kecuali itu, setiap bangsa mempunyai garis pertumbuhan masing-masing dan memiliki unsur-unsur kebudayaan sendiri yang belum tentu dapat diambil oleh bangsa lain. Kita hanya dapat mengambil unsur kebudayaan bangsa lain yang sesuai dengan garis pertumbuhan kebudayaan sendiri, baik dari Barat, dari Timur, maupun dari mana saja.
Menurut Armijn Pane, di dalam membangun kebudayaan Indonesia yang baru kita harus bebas mengambil unsur-unsur kebudayaan mana saja, asal sesuai dengan garis pertumbuhan kebudayaan sendiri.

ASAS SENI PADA PUJANGGA BARU
Masalah yang dipersoalkan adalah tentang seni bertendens dan seni untuk seni (I’art pour I’art). Ada pengarang Pujangga Baru yang condong pada asas seni bertendens dan adapula yang sebaliknya.
Asas seni bertendens maksudnya mencipta seni dengan suatu tujuan tertentu. Keindahan cipta seni itu menjadi alat untuk mencapai tujuan tersebut. Asas seni untuk seni memandang tujuan pokok penciptaan seni ialah keindahan. Keindahan menjadi tujuan, bukan alat. Apakah seni tersebut dimengerti oleh masyarakat, berguna atau tidak bagi masyarakat, tidak menjadi soal. Seni bersifat otonom, ukuran-ukuran di luar seni tidak dapat dipergunakan untuk menilai suatu karya seni. Kehidupan seni terpisah dari kehidupan masyarakat.
Bagaimana asas seni yang baik dan tepat bagi pembentukan kebudayaan Indonesia yang baru, para pengarang Pujangga Baru berbeda-beda pendapat.
1.       Asas Seni Sutan Takdir Alisjahbana
Sutan Takdir Alisjahbana sama sekali tidak menolak asas seni untuk seni karena ia menyadari bahwa seni untuk seni dapat menghasilkan karya seni yang tinggi nilainya. Akan tetapi, karena bangsa Indonesia sedang dalam masa perjuangan untuk membentuk kebudayaan yang baru maka tiap seniman sebagai anggota masyarakat harus ikut serta dalam perjuangan itu. Tiap seniman harus bila memilih mana yang bermanfaat bagi bangsanya dan mana yang tidak. Bagi STA, perjuangan bangsa lebih tinggi nilainya daripada sekedar cita-cita seni yang hanya mengabdi kepada kehidupan semata-mata. Menurut STA, keindahan adalah alat yang dijelmakan agar isi karya seni itu lebih menarik dan lebih mudah diresapi oleh masyarakat. Dengan keterangan ini, jelas STA berpendirian seni bertendens. Tiap hasil seni harus memberikan manfaat bagi masyarakat bangsanya.
Seni untuk seni walaupun mampu menghasilkan seni yang tinggi nilainya, kebanyakan hanya menghasilkan seni yang kosong, tidak berjiwa, dan tidak berguna bagi masyarakat. Karena STA lebih menekankan kegunaan atau bertendens daripada keindahan semata-mata maka ia sering disebut sebagai utilitarian. Asas seni bertendens STA ini tampak jelas pada beberapa karya sastra yang dihasilkan, terutama novelnya yang berjudul Layar Terkembang, yang terkenal sebagai novel bertendens.
Sikap STA yang lebih mengutamakan kegunaan suatu karya seni daripada unsur keindahannya, tampak pada kritiknya terhadap novel Belenggu Armijn Pane dan drama Sandyakalaning Majapahit Sanusi Pane.
Novel Belenggu yang ditutup dengan kalimat terakhir yang berbunyi: “Pintu ke manakah itu?”; dirasakan oleh STA sungguh-sungguh sebagai suatu kesangsian sehingga novel tersebut dinilai sebagai defaitistis dan deterministis, putus asa dan menyerah pada takdir (nasib).
Demikina juga pendapat STA tentang drama Sandyakalaning Majapahit, yang terdapat dalam novel Layar Terkembang. Dengan melalui mulut Tuti ia mengatakan drama itu bagus, tetapi kelemahannya itu melemahkan hati dan tenaga karena drama itu mengandung filsafat Budha yang menganggap kebahagiaan itu hanya dapat dicapai di nirwana, bukan di dunia ini.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa STA sebagai penganut seni bertendens lebih mengutamakan isi daripada bentuk, lebih mengutamakan keguanaan daripada keindahan melulu.
2.       Asas Seni Sanusi Pane
Pada mulanya Sanusi Pane menolak asas seni untuk seni karena sikap itu timbul dari sikap individualisme yang terlepas dari kehidupan dan kepentingan masyarakat. Akan tetapi, dalam tulisan-tulisannya Sanusi Pane mengarah pada asas itu. Ia berpendapat bahwa seni bersifat otonom. Dalam mencipta seni seorang pujangga harus bersatu dengan seluruh kosmos dan dengan seluruh kemanusiaan. Dalam penjelasannya ia mengatakan

“Pada detik mencipta seniman bersatu dengan alam dan kemanusiaan. Karena seniman bersatu dengan alam dan karena derita serta bahagia, cita-cita, kebimbangan dan harapan kemanusiaan hidup dalam seniman, maka hasil seni yang diciptakannya dengan sendirinya lahir sehingga hasil seni itu tidak mempunyai tendens. Seniman tidak memedulikan moral dan kegunaan hasilnya karena dia  berasal di atas segala moral dan tujuan. Ini tidak berarti seniman menentangnya, tetapi seniman mengatasinya, karena ia merasa satu dengan alam dan kemanusiaan.”

Memang untuk memahami asas seni Sanusi Pane orang harus mengerti paham filsafatnya unio mistika, yaitu ingin bersatu mesra dengan seluruh jagat raya ini.
Dengan demikian, jelas bahwa asas seni untuk seni Sanusi Pane terutama didorong oleh pafam filsafat unio mistika dan juga oleh keinginannya agar seni tidak menjadi alat semacam propaganda. Berlainan halnya dengan seni untuk seni William Kloos yang terutama disorong oleh sikap individualismenya yang keterlaluan.
Memang Sanusi Pane menolak sikap yang hanya mementingkan keindahan melulu dan mengabaikan segala susila dan kemajuan dunia. Akan tetapi, ia pun menolak seni yang hanya tinggal pada susila dan tendens saja, sebab yang demikian itu bukan lagi bernama seni.
Sanusi Pane pernah mengatakan bahwa ia menolak seni untuk seni, tetapi akhirnya ia kembali pada asas itu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa asas seni untuk seni Sanusi Pane berpangkal pada dasar pikiran, agar dalam penciptaan seni tidak ada pemerkosaan ide yang semata-mata diabdikan untuk sesuatu maksud tertentu sehingga penciptaan itu tadak wajar lagi. Penciptaan seni harus wajar sesuai dengan hakikat seni, mengatasi segala susila dan segala tujuan.
Tentang hubungan isi dan bentuk, sebagai seorang yang cenderung pada asas seni untuk seni, Sanusi Pane pada mulanya lebih mengutamakan bentuk dari pada isi. Hasil ini tercermin pada puisinya berikut ini.

Di mana harga karangan sajak
Bukan di dalam maksud isinya
Dalam bentuk kata nan rancak
Di cari timbang dengan pilihnya
(“Sajak” – Puspa Mega)

Akan tetapi, kemudian ia berganti pendirian; dan ini tampak pada puisinya yang berjudul “Sajak” juga, yang termuat pada kumpulan puisinya Madah Kelana.

O, bukannya dalam kata yang rancak
Kata yang pelik kebagusan sajak
O, pujangga, buang segala kata,
Yang kan Cuma mempermainkan mata,
Dan hanya dibaca selintas lalu,
Karena tak keluar dari sukmamu.
(“Sajak” – Madah Kelana)

Jadi, kesimpulannya dalam hal bentuk dan isi, akhirnya Sanusi Pane menghendaki adanya bentuk yang benar-benar wajar sesuai dengan jiwa seniman itu, bukan bentuk yang kosong dan juga bukan yang dipaksa-paksakan.
3.       Asas Seni Armijn Pane
Armijn Pane tidak dengan tegas mengatakan pendapatnya tentang seni untuk seni atau seni bertendens. Dalam tulisannya pada Pujangga Baru th. I. No. 1 Juli 1933 ia mengatakan, “Begitulah kami bukan abdi seni, yang hanya bersifat seni semata-mata, tetapi kami abdi seni,  yang sebagai salah satu abdi masyarakat, harus mengabdikan diri kepada masyarakat.”
Dengan keterangan itu maka dalam penciptaan seni Armijn Pane tidak semata-mata mengabdi pada keindahan, tetapi keindahan itu harus bermanfaat pada masyarakat. Rupa-rupanya ia berusaha untuk berdiri di tengah kedua asas seni tersebut.
Demikian pula pendapatnya tentang hubungan isi dan bentuk. Meskipun ia berdiri di tengah, tersa ia masih lebih menekankan pentingnya isi dari pada bentuk. Dikatakan oleh Armijn Pane, “Yang paling penting kepada kita adalah isi sajak atau karangan. Rupa dan bentuknya hanya penolong yang akan menyatakan dan akan menarik perhatian kepada isinya itu. Dalam pada itu, rupa dan bentuknya tiada boleh disia-siakan, sebab isinya tiada akan berharga apabila rupa dan bentuknya tiada sepadan adanya.”
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Armijn Pane memandang isi lebih penting daripada bentuk, tetapi bentuk itu sendiri tidak boleh diabaikan. Bentuk bertalian erat dengan isi. Pendapat ini bersesuaian dengan pendapatnya tentang asas seni. Di bandingkan dengan dua pendapat tokoh Pujangga Baru yang lain terasa bahwa pendapat Armijn Pane lebih dekat dengan pendapat Sutan Takdir Alisjahbana daripada pendapat Sanusi Pane.
4.       Asas Seni J.E. Tatengkeng
Bagaimana pendapat J.E. Tatengkeng tentang asas seni? Berikut ini kutipan dari sebagain karangannya yang berjudul Maksud dan Kemajuan Seni yang dimuat dalam majalah Pujangga Baru th. III. No. 1 Juli 1935. Dalam menghadapi pertentangan antara asas seni bertendens dengan seni untuk seni, J.E. Tatengkeng berpendirian:

“Kebenaran dalam hal ini –seperti pada banyak hal yang lain– adalah terdapat di tengah-tengahnya; atau dengan kata lain, dalam ketajamannya, kedua pendirian itu mengandung kebenaran.
Kita tidak boleh menjadikan seni itu Allah, tetapi sebaliknya janganlah kita menjadikan seni itu alat semata-mata. Seni harus tinggal seni.
Dalam pada itu, seni selalu lahir dan tumbuh dalam masyarakat, pergaulan; ia berbentuk dalam alam, ia berwujud dalam waktu. Sepetutnya ia memberi buah kepada masyarakat dan pergaulan.”

Kutipan di atas menunjukkan bahwa J.E. Tatengkeng berdiri di antara dua pertentangan itu. Ia tidak setuju dengan pendirian yang menganggap seni itu seperti Allah (seperti dikemukakan oleh Yaques Perk), yang memuji keindahan  itu secara berlebih-lebihan. Sebaliknya ia pun tidak dapat menerima pendapat yang memandang seni itu hanya sekedar alat untuk mencapai suatu tujuan. Akan tetapi, apabila kita teliti dengan benar-benar kutipan di atas dan juga beberapa cipta sastra yang dihasilkan, tampak bahwa J.E. Tatengkeng dalam usahanya berdiri di tengah masih terasa kecenderungan asas seni untuk seni. Ia hanya mengatakan seni ituepatutnya” memberi buah kepada masyarakat, bukan kewajiban dan keharusan.

PARA PENGARANG PUJANGGA BARU
Di dalam buku antologiya yang berjudul Pujangga Baru: Prosa dan Puisi, H.B. Jassin telah mencoba mengumpulkan beberapa tulisan dari beberapa pengarang Pujangga Baru. Kecuali lima tokoh penting Pujangga Baru seperti STA, Sanusi Pane, Armijn Pane, Amir Hamzah, dan Moh. Yamin, terdapat nama-nama pengarang M. Taslim Ali, Sutomo Jauhar Arifin, L.K. Bohang, M.R. Dayoh, Hamidah, Rustam effendi, Asmara Hadi, A. Hasymi, Mozasa, Suman Hs., Yogi, dan lain-lain.
Bila deretan nama pengarang itu kita bandingkan dengan nama-nama pengarang dalam penggolongan yang dilakukan oleh Teeuw dalam bukunya Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru, maka terdapat beberapa perbedaan. Hamidah, I Gusti Nyoman Panji Tisna, Suman Hs., yang oleh Teeuw digolongkan  ke dalam pengarang Balai Pustaka, oleh Jassin dimasukkan ke dalam golongan pengarang Pujangga Baru. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan Teeuw mwmpwrgunakan ukuran-ukuran yang keras dalam menilai hasil-hasil karya sastra ketiga pengarang tersebut belum jelas membawakan aspirasi pembaharuan. Memang setiap penggolongan pada umumnya tidak bersifat mutlak. Perbedaan pendapat selalu mungkin terjadi, terutama pada hal-hal yang ada di batas penggolongan.
Beberapa pengarang Pujangga Baru secara ringkas dibicarakan berikut ini.
1.       Sutan Takdir Alisjahbana
Sutan Takdir Alisjahbana lahir di Natal, Tapanuli, 11 Pebruari 1908. Ia pernah bekerja sebagai redaktur kepala di Balai Pustaka pada tahun 1930. Oleh Teeuw, pengarang ini dilukiskan sebagai orang yang banyak memiliki keahlian dan kecakapan: pengarang novel, pengarang esai, pengarang tata bahasa, pengarang filsafat, penyair, ahli hukum, ahli kebudayaan, seorang usahawan, dan juga seorang politikus yang sadar memperjuangkan kemajuan bangsanya. Banyaknya kecakapan itu sering berakibat pekerjaan menjadi kurang tetap mutunya dan sering tidak mendalam pula. Sebagai usahawan ia memimpin percetakan dan penerbitan Pustaka Rakyat, dan tiga majalah yang pernah di bawah asuhannya ialah Pembina Bahasa Indonesia, Pujangga Baru, dan Ilmu Teknik dan Hidup. Sesudah Pujangga Baru menghentikan penerbitannya, ia menerbitkan majalah Konfrontasi, yang tidak lama usianya.
Hasil karangan STA seluruhnya ialah, yang berupa novel: Tak Putus di Rundung Malang (1929); Dian yang Tak Kunjung Padam (1932); Anak Perawan di Sarang Penyamun (1932); Layar Terkembang (1936); Grotta Azzura: Kisah Chinta dan Chita (tiga jilid, 1970-1971). Yang berupa kumpulan puisi: Tebaran Mega (1936). Berupa kumpulan esai tentang bahasa Indonesia: Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957). Berupa antologi (bunga rampai): Puisi Lama (1940); Puisi Baru (1946); Pelangi. Berupa terjemahan: Nelayan di Lautan Utara (terjemahan dari Pecheurs d’Islande karangan Picerro Loti); Nyanyian Hidup (terjemahan dari The Song of Life karangan Krishnamurti); Kurban Manusia (terjemahan dari Niku-Dan karangan Tadayeshi Sakurai diterjemahkan bersama Subadio Sastrosatomo).
Selain yang tersebut di atas, ia juga menulis beberapa karangan yang tidak langsung berhubungan dengan bahasa dan sastra, antara lain yaitu Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia (dua jilid), dan Pembimbing ke Filsafat. Dari semua kegiatannya itu, STA terutama penting sebagai pengarang novel dan pengarang esai, sedangkan sebagai penyair ia tidak begitu berarti.
Novelnya yang pertama Tak Putus di Rundung Malang ditulis ketika ia masih duduk di bangku sekolah lanjutan atas. Ceritanya melukiskan penderitaan hidup kakak beradik yang menjadi yatim piatu ketika mereka masih kecil. Karena tidak tahan hidup bersama dengan pamannya, kemudian mereka pergi ke Bengkulu. Di sanapun mereka mengalami berbagai kemalangan. Lasinah bunuh diri ketika Mansur, abangnya, masuk penjara karena tuduhan palsu. Sesudah keluar dari penjara Mansur menjadi seorang pelaut, sekedar menunggu ajal, karena adiknya yang dicintainya sudah meninggal. Akhirnya, Mansur menemui ajalnya jatuh tenggelam di laut di tempat adiknya meninggal dahulu.
Novelnya yang kedua Dian yang Tak Kunjung Padam menceritakan kegagalan cinta kasih karena perbedaan darah dan kedudukan. Yasin dan Molek saling mencintai. Yasin anak orang kebanyakan lagi miskin, sedangkan molek anak bangsawan dan kaya pula.larangan orang tua Yasin ditolak dan Molek dipaksa kawin olah orang tuanya dengan seorang Arab yang kaya. Setelah gagal usahanya untuk melarikan Molek, Yasin mengasingkan diri hidup sebagai setengah pertapa jauh dari pergaulan masyarakat. Yasin merasa terobati hatinya ketika kemudian ia berhasil melindungi seorang pemuda yang melarikan gadis kekasihnya.
Novel yang ketiga Anak Perawan di Sarang Penyamun mengisahkan nasib seorang gadis, Sayu namanya, yang jatuh di tangan kawanan penyamun. Walaupun setahun lebih ia hidup bersama dengan orang-orang kasar itu, ia tetap suci. Kawanan penyamun itu akhirnya musnah kecuali pimpinannya yang bernama Medasing. Sayu pulang ke rumah orangtuanya bersama Medasing, dan ternyata masih sempat melihat senyuman ibunya yang saat itu  sakit keras. Medasing kembali hidup menjadi orang baik-baik bersama Sayu dan bahkan ia sempat menunaikan ibadah haji ke Makkah.
Novel Anak Perawan di Sarang Penyamun dinilai oleh Teeuw sebagai novel yang paling lemah di antara karangan STA. Isi karangannya tidak mungkin terjadi, misalnya tentang seorang gadis yang setahun lebih hidup bersama kawanan penyamun, tetapi tetap suci. Dialog hampir-hampir tidak ada dalam cerita itu.
Dalam sebuah tulisannya Idrus pernah membantah pendapat Teeuw tersebut, oleh Idrus dikatakan bahwa novel Anak Perawan di Sarang Penyamun merupakan novel STA yang paling berhasil. Gadis itu tetap suci walaupun setahun lebih hidup bersama dengan penyamun, hal itu bisa saja terjadi. Sebab, Medasing yang menjadi pimpinan yang paling disegani di antara kawanan penyamun itu, pada dasarnya bukan orang jahat. Ia menjadi penyamun karena dibesarkan di lingkungan penyamun. Ketika masih berumur tujuh tahun, ia jatuh di tangan kawanan penyamun itu dan dilarikan ke tengah hutan. Ada persamaan nasib antara Medasing dan Sayu. Jadi, jika Sayu tetap dijaga kesuciannya oleh Medasing, adalah sesuatu hal yang dapat dimengerti dan mungkin terjadi. Kecuali itu, novel tersebut memiliki satu keistimewaan, yaitu cara STA melukiskan hutan belantara secara tepat dan indah sekali. Sedikitnya dialog dalam novel itu bukan suatu kelemahan, melainkan semata-mata disesuaikan dengan persoalan dan latar belakang ceritanya.
Novel STA yang paling terkenal adalah Layar Terkembang, suatu novel bertendens yang sejelas-jelasnya. Isinya menceritakan kehidupan dua orang gadis kakak beradik yang masing-masing mempunyai sifat dan watak yang berlainan. Maria sifatnya periang, tidak suka akan pergerakan, dan perbuatannya lebih banyak dikuasai oleh perasaan. Tuti, kakak Maria, sifatnya berbeda sekali dengan adiknya. Ia aktif dalam pergerakan wanita dan tindakannya lebih banyak didasarkan atas pikiran.
Suatu ketika Maria jatuh sakit, dan ternyata sakit TBC. Oleh karena itu, ia harus dirawat di Sonatarium Pacet. Tuti bersama-sama Yusuf sering berkunjung ke rumah sakit dan pulangnya sering singgah di rumah Ratna, istri Saleh, yang sekarang hidup berkebun dan bersawah, walaupun mereka orang terpelajar.
Penyakit Maria tidak tertolong lagi, dan sebelum meninggal ia berpesan agar Tuti dan Yusuf dapat hidup berbahagia sebagai suami istri. Dengan Layar Terkembang, Tuti siap mengarungi samudera kehidupan bersama Yusuf dengan berbekal perpaduan pikiran, perasaan, dan perbuatan, berkat pergaulannya dengan Maria dan Ratna selama ini.
Novel Layar Terkembang sebenarnya adalah beberapa pemikiran STA yang dijelmakannya dalam bentuk cerita. Dengan melalui mulut Tuti dikemukakannya pikiran-pikiran STA tentang peranan dan kedudukan wanita yang mempunyai hak yang sama dengan kaum pria. Kecuali itu, dikemukakan juga oleh STA tentang pahamnya mengenai hidup dan kehidupan dunia ini yang berlawanan dengan paham Sanusi Pane.
Layar Terkembang lazim disebut sebagai salah satu puncak novel Pujangga Baru di samping Belenggu terutama menarik karena persoalannya yang dengan jelas dan bahasanya yang sederhana dan lancar. Pelaku-pelakunya kurang hidup karena harus mengabdi pada tendens yang sudah ditentukan.
Di dalam karangan-karangannya yang berupa esai, tampak ketajaman pikiran dan sikap STA yang tegas dengan bahasa yang meyakinkan dan berapi-api dalam mengemukakan persoalan. Memang ia seorang yang memiliki vitalisme, semangat hidup yang penuh dengan kegembiraan untuk berjuang mengabdi pada kemajuan bangsanya. Sebagian esai-esai STA termuat dalam buku Polemik Kebudayaan yang dikumpulkan oleh Achdiat Karta Mihardja.
Sebagai penyair STA tidak penting. Satu-satunya kumpulan puisinya berjudul Tebaran Mega dan ditulis beberapa hari setelah istrinya yang pertama meninggal. Sebagian besar puisi yang terdapat di dalamnya menjelmakan rasa kesedihan, walaupun bukan kemurungan yang berlarut-larut.
Apabila diperhatikan benar-benar keseluruhan karangan STA, pada umumnya tampak adanya beberapa sifat pada karangan-karangan itu.
a.       Karangan itu terutama didorong oleh hasratnya untuk berjuang membawa bangsanya ke arah kemajuan sesuai dengan perkembangan masyarakat modern.
b.       Bahasa yang digunakan sederhana bersahaja dalam arti mudah dipahami dan meyakinkan.
c.       Sebagian besar karangannya mengandung suasana kegembiraan dan suasana optimisme. Pada beberapa puisinya yang mengandung suasana kedukaan karena kematian istrinya tetap masih tampak sikap STA yang tidak terlepas dari suasana optimisme itu.
2.       Amir Hamzah
Amir Hamzah lahir di Binjai, 28 Pebruari 1911, putra Tengku Muhammad Adil yang menjadi pangeran (wakil sultan) di Langkat Hulu, berkedudukan di Binjai dan bergelar Bendahara Paduka Raja. Kemudian atas biaya pamannya yang menjadi Sultan Langkat pada waktu itu, ia melanjutkan studinya di Pulau Jawa. Walaupun ia memperoleh pendidikan secara Barat, suasana kehidupan istana yang penuh tradisi dan konvensi itu tidak terlepas sama sekali.demikian juga dalam karangan-karangannya, ia tidak terlepas dari unsur Melayu dan unsur lama. Bentuk-bentuk puisinya sebagian besar masih menyerupai bentuk pantun dan syair. Baris-barisnya tersusun atas dwi-angga-tunggal dengan sebuah jeda (caesure) di tengah baris. Misalnya:

Kicau murai / tiada merdu
Pada beta /  bujang Melayu
Himbau pungguk / tiada merindu
Dalam telingaku / seperti dahulu
(Buah Rindu)

Akan tetapi, tidak semua puisinya berbentuk demikian. Ada uga bait-bait yang kurang atau yang lebih dari empat baris; dan tiap baris  pun tidak selalu terdiri dari empat kata; ada yang lebih dan ada yang kurang.
Kecuali pada bentuk-bentuk puisinya, unsur Melayu pada Amir Hamzah tampak juga pada:
a.       Sifatnya yang suka berhina-hina diri, misalnya untuk menyebut dirinya dipakai kata kelana, dagang, musyafir hina, fakir, bujang Melayu, dan sebagainya.
b.       Pemakaian kosa kata dan perbandingan-perbandingan. Kata-kata yang berasal dari Barat hampir tidak kita dapati dalam karangannya.
c.       Ia tidak pernah menggunakan bentuk soneta dalam karangan puisinya, walaupun bentuk itu amat digemari orang pada masa itu.
Memang Amir Hamzah adalah seorang penyair yang tetap berakar pada yang lama. Sastra asing yang diterjemahkan juga berasal dari yang lama. Oleh karena itu, Teeuw (1953: 81) mengatakan sebagai berikut:

“Jika betul dalam kesusastraan Indonesia modern yang lama dapat hidup dalam yang baru (tetapi hidup secara sesungguh-sungguhnya) nyatalah bahwa hal itu telah terdapat dalam puisi Amir Hamzah. Rupanya bentuk-bentuk lama itu, bahasa kuno itu tidak mati bahkan mengandung kekayaan dan serba corak yang menakjubkan.”

Usaha dan kecakapannya untuk menghidupkan yang lama itu membuktikan bahwa Amir Hamzah seorang penyair yang mempunyai kedudukan tersendiri dalam sejarah sastra Indonesia. Oleh Jassin ia disebut sebagai Raja Pujangga Baru. Karangan yang dihasilkannya ialah sebagai berikut. “Sajak asli 50, sajak terjemahan 77, prosa liris asli 13, dan prosa terjemahan 1, jadi semua berjumlah 160 tulisan, dalam masa kegiatan 14 tahun (1932-1946)” (Jassin, 1962: 7).
Adapun karangan-karangannya yang telah dibukukan ialah:
Buah Rindu (kumpulan puisi, 1941). Buah Rindu merupakan kumpulan puisi Amir Hamzah yang pertama; memuat 25 puisi. Hampir semua puisi dalam kumpulan ini menyatakan rasa keduakaan karena gelora asmara yang tidak kesampaian. Satu puisi yang mungkin lepas dari rasa duka ini ialah Balada Hang Tuah. Puisi-puisi nya dalam Buah Rindu masih bersifat romantis sentimental, belum ada ketetapan dan kesimbangan jiwa. Amir Hamzah banyak berdialog dengan alam atau dengan Tuhan yang belum terarah. Ia mengadukan halnya pada cempaka, mawar, melur, kamboja, teratai, burung pungguk, bulan purnama raya, atau juga kepada Tuhan. Sementara itu, bentuk-bentuk puisinya dalam Buah Rindu masih dekat sekali dengan bentuk pantun dan syair; tidak banyak variasi.
Nyanyi Sunyi (Kumpulan Puisi, 1935.) dalam hal bentuk Nyanyi Sunyi lebih bebas, lebih mengenal variasi. Hal itu sudah jelas pada puisi yang pertama yang berjudul Padamu Jua.

Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu

Nada pada puisinya dalam kumpulan ini menyatakan juga rasa kedukaan dalam kemeranaan. Hampir semua puisi Amir Hamzah berpangkal pada latar belakang yang sama. Pada waktu Amir Hamzah belajar di Pulau Jawa, ia menemukan gadis pilihannya. Akan tetapi, kekasih yang dicintainya itu –bahkan juga studinya—harus ditinggalkannya karena ia dipanggil pulang oleh Sultan Mahmud, pamannya yang membiayainya selama itu. Ia dikawinkan dengan putri sultan yang bergelar putri Kamaliah pada tahun 1938. Peristiwa inilah yang tampaknya merupakan suatu goncangan bagi kehidupan Amir Hamzah. Tema pokok dalam hampir semua gubahan puisinya berupa cinta kasih yang gagal, kerinduan pada kekasih, ratapan kesedihan kepada nasibnya, dan akhirnya penyerahan diri kepada Tuhan.
Berbeda dengan Buah Rindu, puisi-puisinya dalam Nyanyi Sunyi ebih menunjukkan kematangan jiwa, dan Tuhan tempat memulangkan nasib pun sudah jelas dan tertentu. Sekilas tentang hal ini sudah tampak dari judul-judul puisinya pada kumpulan itu: Padamu Jua, Permainanmu, Karena Kasihmu, Sebab Dikau, dan sebagainya. Yang dimaksudkan –Mu dan Dikau pada judul-judul tersebut adalah Tuhan.
Puisi-puisinya pada Nyanyi Sunyi oleh Chairil Anwar dikatakan sebagai puisi gelap (duistere poezie) sebab puisi-puisi tersebut tidak akan dapat dipahami sebaik-baiknya tanpa pengetahuan tertentu, misalnya tentang pengetahuan sejarah dan agama, karena perumpamaan dan perbandingan yang terdapat di dalamnya diambil dari sejarah dan agama (Islam).
Puisi-puisi pada Nyanyi Sunyi memiliki kecenderungan bersifat mistis religius; dalam arti tampak adanya hasrat penyair untuk bersatu dengan Tuhannya, walaupun tidak pernah tercapai sepenuhnya persatuan itu.
Karangan Amir Hamzah yang lain: Setanggi Timur (Kumpulan puisi lama dari sastra India, Arab, Cina, Parsi, dan sebagainya); Bhagawat Gita (prosa terjemahan); Gitanyali (terjemahan dari karangan Rabindranath Tagore); Sastra Melayu Lama dan Raja-Rajanya (prosa).
3.       Sanusi Pane
Ia lahir di Muara Sipongi, Tapanuli, 14 Nopember 1905. Di dalam beberapa hal, tulisan-tulisan Sanusi Pane menimbulkan adanya kontradiksi-kontradiksi. Hal ini tampak misalnya pada pendapatnya tentang bentuk dan isi, masalah pelaksanaan asas seni, dan lain-lain.
Dalam drama Manusia Baru yang bermain di tanah India, pada pengantarnya ia mengatakan, “Lakon ini mesti ditonton sebagai hasil seni saja. Kalau orang hendak menarik pelajaran juga daripadanya, dan itu sebenarnya bukan maksud pengarangnya, karena ia hendak memberi seni saja.” Sebenarnya drama Manusia Baru ini mengandung tendens juga, yaitu adanya suatu pemikiran agar perselisihan antara buruh dengan majikan itu dapat diselesaikan dengan damai karena pemogokan itu hanya merugikan kedua belah pihak.
Adanya pertentangan-pertentangan itu bisa dimengerti apabila kita kembalikan pada filsafat unio mistika yang dianut oleh Sanusi Pane. Realitas pertentangan dalam kehidupan ini dilihat dalam persatuannya dengan seluruh kosmos, dalam kemesraannya dalam hubungan jagat raya.
Sanusi Pane  menulis sudah sejak tahun20-an. Dalam majalah Yong Sumatra, terbitan tahun 1921 (jadi ia baru berumur 16 tahun) di muat puisinya yang berjudul Tanah Airku. Bentuk dan isinya hampir tidak berbeda dengan Tanah Air-nya Moh. Yamin.
Baik dalam kumpulan karangannya yang oertama, maupun pada kumpulan puisinya yang kemudian, sebagian besar terdiri dari bentuk soneta dan prosa lirik. Kedua bentuk itu pulalah yang sebenarnya digemari oleh pengarang-pengarang Angkatan 80 di negeri Belanda, sebagai alat untuk melahirkan perasaan dan sebagai ciri romantik. Madah Kelana kumpulan puisi Sanusi Pane yang terbit pertama kali tahun 1931, berisi 49 puisi, yang terdiri dari 13 prosa lirik dan 11 bentuk soneta, sedangkan selebihnya berupa bentuk-bentuk yang mempunyai pola teratur: terzina, kuartren, kuin, dan lain-lain.satu puisinya yang panjang dalam kumpulan itu berjudul Syiwa Nataraja, yaitu Syiwa yang menari dalam api dunia terang benderang, sambil mencipta dan memelihara alam semesta ini.
Walaupun dalam karangan-karangan Sanusi Pane tampak adanya pengaruh dari Barat (Angkatan 80 di negeri Belanda), pengaruh India dan filsafat Budha terasa keras sekali. Pengaruh India ini terlihat dari pikiran-pikiran yang dikemukakan dalam karangan-karangannya atau pada judul-judul karangan itu sendiri, misalnya Taj Mahal, Kepada Krisyna, Di Tepi Jamuna, Candi Mendut, Syiwa Nataraja, dan sebagainya. India, negara yang pernah dikunjunginya memang banyak berpengaruh dalam kehidupan jiwa Sanusi Pane. Beberapa karangannya bermain dan berlatar belakang tanah India, yang oleh Sanusi Pane disebut juga tanah mulia, bahkan beberapa puisinya digubahnya di “tanah bahagia” itu juga. Pada halaman terakhir Madah Kelana tertulis “terkarang di Hindustan dan Jawa 1929-1930”.
Dibandingkan dengan Sutan Takdir Alisjahbana dan Amir Hamzah, Sanusi Pane memiliki banyak perbedaan, misalnya dalam hal jumlah karangannya, kedudukannya dalam kehidupan sastra, pandangannya tentang pembaharuan kebudayaan, dan kedudukannya sebagai penyair.
Perbedaan antara STA dengan Sanusi Pane nyata sekali. Sanusi Pane adalah antipoda STA. Persoalan yang sama menimbulkan tanggapan yang lain karena dasar filsafatnya yang berbeda. Sanusi Pane memandang candi sebagai tempat bernaung untuk mendapatkan kedamaian dan kebahagiaan di nirwana sebab kebahagiaan dunia tidak akan dapat diperolehnya. Dikatakan dalam puisinya berikut ini.

Diam hatiku, jangan bercita,
Jangan kau lagi mengandung rasa,
Mengharap bahagia dinia Maya.

Terbang termenung, ayuhai, jiwa,
Menuju kebiruan angkasa
Kedamaian Petala Nirwana
(Candi Mendut – Madah Kelana)

Sebaliknya, STA memandang candi sebagai tempat yang merangsang timbulnya dorongan untuk membangun seni baru yang sesuai dengan kemajuan zaman.

       Hatiku tiada rindu kepadamu masa, ketika pendeta meniarap
di hadapan Syiwa, ketika jiwa berbakti menjelma candi berarca.
Tidak, tidak! Tidak, tidak!
      Ya Allah, ya Rabbani, kembalikan ketulusan jiwa bebakti
pembentuk candi kepada umatmu!
      Dan aku akan melahirkan seni baru, tidak serupa-sebentuk
ini..., abadi selaras dengan gelora sukma dan zamanku
(Seni Baru, di Candi Perambanan – Puisi Baru)

Perbedaan mereka itu tampak juga pada pandangan simboliknya pada laut. Pada puisinya yang berjudul Menuju Ke Laut STA memandang laut sebagai lambang kehidupan yang penuh dengan perjuangan, tetapi juga yang menggembirakan dan mengasyikkan; sedangkan Sanusi Pane dalam puisinya Sungai memandang laut sebagai tempat istirahat yang aman dan damai sesudah perjuangan berakhir.
Perbedaan yang lain-lain tentang kedua pengarang ini sebagian besar sudah dibicarakan pada bagain sebelumnya, misalnya perbedaan dalam hal konsepsinya tentang kebudayaan, tentang asas seni, dan tentang masalah hubungan isi dan bentuk.
Jika STA dikenal sebagai seorang pengarang novel dan esais, Amir Hamzah sebagai seorang penyair, Sanusi Pane terutama penting sebagai seorang pengarang drama. Pembicaraan tentang drama Sanusi Pane ini sudah dilakukan oleh Y.U. Nasution dalam buku kritiknya yang berjudul Pujangga Sanusi Pane.
Adapun karangan-karangan Sanusi Pane yang sudah diterbitkan ialah: Pancaran Cinta (prosa berirama, 1926); Puspa Mega (kumpulan puisi, 1927); Madah Kelana (kumpulan puisi, 1931); Manusia Baru (drama, 1940); Arjuna Wiwaha (terjemahan dari bahasa Jawa Kuno Kekawin Mpu Kanwa, 1940). Kecuali itu, beberapa karangannya yang pernah di muat dalam majalah Timbul, yaitu: Airlangga (drama dalam bahasa Belanda, 1928); Damar Wulan (gita pahlawan, bahasa Belanda, 1929); Eenzame Garudavlucht (drama dalam bahasa Belanda, 1929); Kertajaya (drama dalam bahasa Indonesia, 1932); dan Sandhyakalaning Majapahit (drama dalam bahasa Indonesia, 1933).
4.       Armijn Pane
Armijn Pane lahir di Muara Sipongi, Tapanuli, 18 Agustus 1908. Dalam tulisan-tulisannya ia memakai nama samaran yang berbeda-beda, antara lain Adinata, A. Jiwa, A. Mada, A. Panji, Empe, dan Karnoto. Karangannya meiputi berbagai macam bentuk: novel, drama, puisi, cerpen, esai, dan bahkan juga karangan tentang tata bahasa. Seperti halnya Nur Sutan Iskandar, masa kegiatan Armijn Pane  tidak terhenti walaupun usianya telah tua. Ia masih sering menulis cerpen, beberapa di antaranya pernah di muat dalam majalah Medan Bahasa (sekarang sudah tidak terbit lagi), meskipun nilai sastranya semakin menurun.
Armijn Pane terkenal terutama karena novelnya yang berjudul Belenggu (1938). Novel yang pernah ditolak Balai Pustaka itu, sesudah terbit ternyata mendapat sambutan yang luas dari masyarakat. Beberapa di antara sambutan-sambutan itu dimuat pada bagian kitab novel tersebut pada cetakan ketiga. Armijn Pane menyadari bahwa pa yang dikemukakannya dalam novel itu, dan bagaimana cara mengemukakan akan banyak menimbulkan reaksi dan tantangan dari masyarakat. Oleh karrena itu, pada halaman permulaan ditegaskan oleh pengarang, “Kalau keyakinan sudah jadi pohon beringin, robohlah segala pertimbangan lain-lain.”
Terbitnya novel Belenggu merupakan babak baru dalam sejarah perkembangan novel di Indonesia. Novel tersebut membawa beberapa hal baru dibandingkan dengan cerita-cerita novel sebelumnya. Tema ceritanya tidak lagi berhubungan dengan masalah adat suatu daerah, masalah kawin paksa, masalah Barat dan Timur, atau masalah pertentangan kaum muda dengan  dengan kaum tua, tetapi berhubungan dengan masalah manusia, yaitu manusia Indonesia atau manusia pada umumnya.
Plot cerita terutama tidak tersusun atas rangkaian-rangkaian peristiwa yang tampak pada perbuatan, tingkah laku atau dialog pelaku-pelakunya, tetapi tersusun atas pikiran-pikiran  dan kehidupan perjuangan batin pelaku-pelaku itu. Oleh karena itu, sepintas lalu novel tersebut sukar diikuti jalan ceritanya. Tentang ini STA (1961: 6) mengatakan sebagai berikut.

“Pada hakikatnya Armijn ialah seorang romantikus, yang suka mengembara ddalam jiwanya, melompat, dengan tiada memedulikan logika dan kausalitet kejadian.....”

Bahasanya pun lain dari bahasa karangan-karangan sebelumnya. Bahasa novel Belenggu mirip dengan bahasa tutur, yang banyak menyimpang dari kaidah-kaidah bahasa Indonesia pada umumnya. Teeuw menyebut bahasa Armijn ini sebagai bahasa Melayu Eropa. Jadi, dalam hal pelaksanaan berbahasa ternyata Armijn lebih bersifat Barat daripada STA.
Satu hal yang dianggap sebagai sesuatu yang baru dalam novel tersebut ialah percakapan batin pelaku-pelakunya atau monologue intereieur, meskipun dalam bentuk yang belum kompleks. Unsur ini memungkinkan pengarang untuk menghadirkan pelaku-pelaku dalam arti yang sebenarnya, yaitu hidup dalam segala keinginan dan nafsu-nafsunya.
Di samping itu, ada lagi hal yang membedakan novel Belenggu dengan novel-novel sebelumnya, yaitu alur cerita. Akhir cerita Belenggu bersifat terbuka (open-ended) artinya penyelesaian cerita sepenuhnya diserahkan kepada pembaca.
Armijn Pane ditempatkan oleh Teeuw sebagai tokoh penghubung dalam masa peralihan antara Angkatan Pujangga Baru dengan Angkatan 45, walaupun ia masih berdiri di pihak Angkatan Pujangga Baru. Penilaian Teeuw tersebut terutama berdasarkan karangan-karangan Armijn yang berbentuk prosa. Karangan-karangan yang berbentuk puisi tidak menonjolkan sesuatu yang baru dibandingkan dengan pengarang-pengarang seangkatannya. Bentuk puisinya sebagian besar mengikuti pola-pola tertentu yang teratur, misalnya distikon, terzina, kuartren, dan lain-lain.
Novel Belenggu  mengisahkan kehidupan rumah tangga yang tidak berbahagia karena suami istri masing-masing menurutkan selera hidup sendiri. Dokter Sukartono terlalu mementingkan urusan pasiennya dan melupakan istrinya. Sebaliknya, Sumartini, istrinya selalu mementingkan organisasi sehingga melalaikan kewajibannya sebagai istri. Rokayah atau Nyonya Eni, teman sekolah Sukartono di MULO dahulu, yang sekarang menempuh jalan sesat, berusaha memikat dokter Sukartono. Rumah tangga yang gersang itu, memberikan peluang kepada dr. Sukartono untuk mendapatkan kesenangan dan kebahagiaan hidup di rumah Rokayah. Tahu akan suaminya berbuat tidak senonoh, Sumartini melampiaskan kemarahannya kepada Yah atau Rokayah. Akan tetapi, Sumartini bahkan dibuat tidak berkutik sebab Yah tahu rahasia hubungan cinta Sumartini dengan Hartono, sebelum Sumartini kawin dengan Sukartono. Akhirnya, Sumartini minta cerai dan kemudian pergi ke Surabaya bekerja pada sebuah rumah yatim piatu. Sukartono pergi ke rumah Yah, tetapi Yah sudah berangkat ke New Caledonie dan hanya meninggalkan sebuah plat gramafon yang berisi lagu Siti Hayati atau Rokayah juga. Kemudian Sukartono mengambil keputusan akan menghabiskan waktunya untuk memperdalam ilmu kedokteran.
Dalam novel tersebut semua pelakunya terbelenggu. Sukartono terbelenggu oleh sikapnya yang tidak tegas terhadap istrinya, Sumartini terbelenggu oleh sifatnya yang hendak selalu menang sendiri, sedangkan Yah terbelenggu oleh nafsunya untuk selalu mendapatkan kenikmatan hidup. Akan tetapi belenggu itu sudah ada sejak semula karena Sukartono kawin dengan Sumartini tidak lagi berdasarkan perasaan saling mencintai yang tulus ikhlas.
Karangan Armijn Pane yang lain adalah kumpulan cerpen yang berjudul Kisah Antara Manusia (1953). Dalam kumpulan ini dimuat cerpen Armijn sebelum perang dan sesudah perang, yang sebagain cerpen-cerpen tersebut pernah dimuat di majalah, kecuali satu yang memang baru dalam kumpulan itu, yaitu yang berjudul Imperialis Terpagar.
Karangan-karangan Armijn Pane yang lain kecuali yang tersebut di atas ialah: Jiwa Berjiwa (kumpulan puisi, 1939); Ratna (saduran drama Ibsen Nora, 1943); Sanjak-Sanjak Masa Muda Mr. Moh. Yamin (1954); Membangun Hari Kedua (terjemahan Tweede Scheppingsdog karangan Ilya Ehrenburg, 1956); Jinak-Jinak Merpati (kumpulan drama, 1953); Gamelan Jiwa (kumpulan puisi); Kort Overzicht van de Moderne Indonesisch Literatuur (1949); Mencari Sendi Baru Tatabahasa Indonesia.
Selain pengaruh dari Angkatan 80, pada beberapa karangan Armijn Pane terasa adanya pengaruh dari Dostojevsky, Maxin Gorki, Rabindranath Tagore, dan Khrisnamurti.
5.       J.E. Tatengkeng
J.E. Tatengkeng lahir di Sangihe, 19 Oktober 1907. Dibandingkan dengan pengarang-pengarang Pujangga Baru yang lain ia memiliki kekhususan, yaitu tentang asal daerahnya dan keyakinan hidupnya. Ia berasal dari Indonesia Timur, berarti bahasa Indonesia baginya lebih asing dari pada pengarang-pengarang lain yang umumnya berasal dari Sumatra. Demikian juga keyakinan hidupnya. Ia beragama Kristen, berbeda dengan kebanyakan pengarang Pujangga Baru yang lain.
Di antara pengarang Pujangga Baru yang paling dekat dengan Angkatan 80 ialah J.E. Tatengkeng. Jika van Deyssel bersemboyan Kunts is passie, dan Bilderdijk bersemboyan Kunts is gevoel, J.E. Tatengkeng bersemboyan Seni yaitu gerakan sukma yang menjelma ke indah kata.

Tidak mau diikat erat-erat
Kusuka merdeka mengabdi seni
Kuturut hanya semacam syarat
Syarat gerak sukma seni
Kusuka hidup! Gerakan sukma,
Yang berpancaran dalam mata
Terus menjelma
Ke indah kata
(Rindu Dendam)

Dalam hubungan dengan Angkatan 80 ia pernah menulis soneta yang berjudul In Memoriam bagi Willem Kloos dalam majalah nomor peringatan lima tahun Pujangga Baru.
Walaupun pengaruh Angkatan 80 amat jelas pada J.E. Tatengkeng, antara keduanya terlihat adanya perbedaan-perbedaan seperti yang dikemukakan oleh Teeuw sebagai berikut.
a.       Jika puisi-puisi Angkatan 80 umumnya mengandung kemuraman dan kesedihan, puisi-puisi J.E. Tatengkeng lebih banyak mengandung suasana kegembiraan.
b.       Pada Angkatan 80 terdapat pertentangan antara agama dengan umat Kristen karena menurut keyakinan agama, penyair-penyair Angkatan 80 telah durhaka dan takabur serta menganggap keindahan dan seni sebagai Tuhannya. Pada J.E. Tatengkeng pertentangan semacam itu tidak ada. Pada puisi-puisinya terpancar sikap penyair sebagai pemeluk yang taat. Pada puisinya yang berjudul Rindu Dendam ditutup dengan baris terakhirnya yang berbunyi: Seli Deo Gloria. Walaupun demikian, pada puisinya Perasaan Seni terkesan kecenderungan memuja seni itu berlebih-lebihan:

Jika kau datang sekuat raksasa
Atau kau menjelma secantik juita
                Kusedia hati
                Akan berbakti
Dalam tubuh kau berkuasa
Dalam dada kau bertkhta!
(Rindu Dendam)

Sastu-satunya kumpulan puisinya yang pernah diterbitkan ialah Rindu Dendam (1934). Dalam hal jumlah baris dan jumlah suku kata tiap baris ia lebih bebas daripada Yamin.tidak adanya terasa kata-kata penyumbat, walaupun bentuknya sebagian besar tetap sebagai bentuk yang teratur dengan pola persajakan tertentu. Salah satu kebebasan dalam bentuk teratur tampak pada sonetanya berikut ini.

SEPANTUN LAUT

Duduk di pantai waktu senja
Naik di rakit buaian ombak
Sambil bercermin di air-kaca
Lagi diayunkan lagu ombak
        Laut besar bagi bermimpi
Tidak gerak, tetap berbaring.....
Tapi pandang karang di tepi,
Di sana ombak memecah nyaring.....
Diam dalam gerak,
Gerak dalam diam,
Menangis dalam gelak,
Gelak dalam bermuram.
        Demikian sukma menerima alam,
        Bercinta, meratap, merindu-dendam
(Rindu Dendam)

Sesudah Pereng Dunia II, J.E. Tatengkeng giat dalam politik dan pemerintahan. Ia pernah menjadi Menteri Pengajaran dalam Negara Indonesia Timur, kemudian menjadi Perdana Menteri (1949). Sesudah Negara Kesatuan terbentuk ia pernah ditunjuk menjadi Kepala Jwatan Kebudayaan Kementerian P dan K di Makassar (1951). Walaupun demikian, kegiatannya di bidang sastra dan kebudayaan tidak pernah terhenti. Puisi-puisinya banyak di muat di majalah-majalah Pembangunan, Siasat, Zenith, dan Indonesia.
Dalam sebuah tulisannya yang berjudul Tujuh Tahun Sesudah Wafatnya Chairil Anwar (Horison no. 41 th. II April 1967) J.E. Tatengkeng berusaha mengadakan penilaian kembali terhadap puisi-puisi Chairil Anwar. Tujuh puluh puisi Chairil Anwar yang oleh Jassin dikatakan sebagai puisi asli, menurut penyelidikan J.E. Tatengkeng dua di antara puisi-puisi itu ternyata berupa plagiat dalam bentuk saduran, yaitu puisi Di Mesjid saduran dari De Waanzinnigie gubahan Yan H. Eekhout dan puisi Taman saduran dari De Tuin ciptaan Anthonie Donker.
J.E. Tatengkeng sebagai penyair memang tidak produktif, berhubung dengan perhatiannya yang meliputi berbagai macam kegiatan. Akan tetapi, dalam deretan Pujangga Baru ia termasuk penyair yang penting karena memiliki berbagai kekhususan, baik tentang dirinya maupun tentang puisi-puisinya. Dalam perkembangan sastra Indonesia ia menjadi lebih penting lagi karena kepenyairannya tidak terhenti dalam usia yang bertambah lanjut.
6.       Hamidah
Nama sesungguhnya ialah Fatimah Hasan Delais. Ia lahir tahun 1914 dan meninggal pada 8 Mei 1953 di Palembang. Ia pernah menjadi pembantu majalah Pujangga Baru dari Palembang. Ia pengarang wanita dari Pujangga Baru. Namanya menjadi penting karena pengarang dari kaum wanita pada masa itu belum banyak, dan karangan Hamidah memang mempunyai corak khusus. Satu-satunya novel yang pernah diterbitkan berjudul Kehilangan Mestika (1935). Ceritanya berbentuk “aku”, mengisahkan kehidupan yang penuh kesedihan dan penderitaan. Sesudah kematian ayahnya (mestikanya), ia kehilangan kekasihnya yang diambil orang. Karena putus asa, ia menyetujui kawin dengan seseorang yang tidak dicintainya.
Penderitaan tidak berakhir dengan perkawinan itu. Karena perkawinan itu tidak memperoleh keturunan, terpaksa ia menyetujui suaminya mengambil istri yang kedua. Karena kemudian timbul berbagai kesulitan, akhirnya ia pulang ke Muntok sebagai perempuan tua yang terasing dari kehidupan masyarakat. Pada saat ia akan meninggal, masih sempat diketahui bahwa kekasihnya dahulu tetap masih setia kepadanya.
Cerita sedih dalam bentuk “aku” ini kemungkinan banyak mengandung sifat biografis. Betapa sedihnya ia tinggalkan oleh kekasihnya tampak pada sonetanya yang berjudul Berpisah berikut ini.

Sungguh berat rasa berpisah
‘Ninggalkan kekasih berusuh hati
Duduk berdiri sama gelisah
Ke mana hiburan akan di cari
                    Kian kemari mencari kesunyian
                    ‘Ngenangkan kasih diri masing-masing
                    Hati terharu dilipur nyanyian
                    Tapi suara tak mau mendering
Di manakah awak dapat menyanyi
Bukankah sukma tersentuh duri?
Hati pikiran berusuh diri?
Di manakah dapat bersuka ria?
                    Tidakkah badan sebatang kara?
                    Kenangan melayang nyebrang segara?
(Pujangga Baru)
7.       I Gusti Nyoman Panji Tisna (Anak Agung Panji Tisna)
Ia seorang pengarang yang berasal dari Bali, beragama Hindu. Lahir di Singaraja, 8 Pebruari 1908. Karangannya telah banyak diterbitkan. Sebagian besar karangannya mengambil tema yang berhubungan dengan adat kepercayaan masyarakat Bali dan dengan sendirinya mengambil latar belakang kehidupan di daerah Bali pula.
Novelnya I Swasta Setahun di Bedahulu misalnya, kita tidak akan dapat memahami sepenuhnya cerita itu tanpa kita mengertia akan kepercayaan terhadap hukum karma. Novel tersebut berlatar lingkungan istana dan dipandang sebagai novel sejarah yang berlaku ± tahun 996. Kepercayaan lama yang juga tampak dalam cerita ialah adanya kekuasaan gaib yang mengambil peran dalam kehidupan manusia. Jika rakyat berdosa, dewa marah dan Gunung Batur memuntahkan lahar.
Sesuai dengan judulnya, novel tersebut mengisahkan pengalaman I Swasta selama setahun di Bedahulu, ibu negeri Bali pada masa itu. Novel ini sudah disadur Armijn Pane menjadi sebuah drama dengan judul yang sama.
Karena tema dan unsur-unsur cerita masih mengingatkan kita pada cerita-cerita Balai Pustaka pada umumnya maka Teeuw memasukkan I Gusti Nyoman Panji Tisna sebagai pengarang Balai Pustaka. Karangan-karangannya yang lain ialah: Sukreni Gadis Bali (1936); Ni Rawit Ceti Penjual Orang (1935); Dewa Karuna (1938); dan I Made Widiadi (Kembali kepada Tuhan).
8.       Suman Hs. (Hasibuan)
Ia lahir di Bengkalis pada tahun 1904. Suman Hs. terkenal sebagai pengarang cerita detektif, walaupun ia juga menulis beberapa puisi yang dimuat dalam majalah Panji Pustaka. Ciri khas pada semua karangan Suman Hs. yang paling menonjol adalah:
a.       Bahasa yang digunakan sungguh lancar, hidup dan memikat perhatian. Kenikmatan karangan Suman terutama bukan terletak pada kedalaman isi, melainkan pada kejenakaannya yang digubah dalam bahasa yang hidup, segar, berirama, dan mengasyikkan. Tentang bahasa Suman ini, STA memberikan keterangan sebagai berikut:
“Diantara pengarang-pengarang prosa zaman baru, Suman Hs. mempunyai kedudukan yang luar biasa. Sedangkan tentang pilihan katanya ia tida berapa jauh meninggalkan bahasa Melayu yang lama, berhubung dengan pergaulannya di Sumatera Timur dan didikannya sebagai guru, tetapi tentang gaya bahasanya dan tentang pandangannya dan perasaannya tentang bahasa, ia terang masuk golongan pengarang baru.
Dalam tangan Suman, bahasa Melayu lama yang telah kaku dan beku oleh karena telah tetap susunan dan acuannya, menjadi cair kembali lemas mengalir berliku-liku, ringan beriak beralun-alun.” (1964: 1).

b.       Sifat kejenakaan terdapat pada hampir semua karangannya. Dalam kumpulan cerpennya Kawan Bergelut, mungkin hanya satu yang tidak lucu, yaitu yang berjudul Pilu. Sifat humor ini terpancar juga pada semua novel detektifnya; meskipun kadang-kadang menimbulkan kesan keterlaluan, misalnya perbuatan Syekh Wahab menanggalkan kumis palsunya sehabis sembahyang Idul Fitri (Kasih Tak Terlerai). Akan tetapi, bagaimanapun seloroh dan kejenakaan Suman selalu menarik perhatian.
c.       Semua novelnya mengandung unsur detektif walaupun sifat detektifnya masih sederhana dan orang gampang menebak penyelesaian persoalannya. Hal itu kiranya cocok dengan tingkat pertimbangan masyarakat kita pada masa itu, yag umumnya kurang ada kesanggupan untuk dengan ketajaman inteligensinya mencari pemecahan persoalan yang rumit dan kompleks. Memang pada waktu itu bacaan yang populer dikalangan masyarakat luas ialah cerita-cerita novel berseri yang banyak beredar di kota-kota besar, yang umumnya mengandung unsur detektif “gampang-gampangan” semacam novel Suman tersebut.
Adapun novel Suman Hs. yang telah diterbitkan adalah: Kasih Tak Terlerai (1929); Percobaan Setia (1931); Mencari Pencuri Anak Perawan (1932); Kasih Tersesat (1932); Tebusan Darah (1939). Cerpen-cerpen Suman yang dikumpulkan dalam Kawan Bergelut sebagian besar sudah pernah dimuat dalam majalah Panji Pustaka, kecuali cerpennya yang berjudul Itulah Asalku Tobat, Selimut Bertuah, Salah Mengerti, Papan Reklame, dan Kelakar si Bogor.
Bergelut dalam bahasa Minang berarti bergurau. Kawan Bergelut artinya kawan bergurau; dan memang ceritanya sanggup menemani kita untuk bersendau gurau terutama dua cerpennya yang terakhir dalam kumpulan tersebut. Novel-novel detektifnya umumnya mengolah cerita yang sama, semacam klise, yang kemudian dihidupkan dan dibuat macam-macam variasi. Pola ceritanya adalah dua muda mudi yang hatinya sudah bertemu, karena muncul sesuatu gangguan, keduanya tercerai. Kemudian tampil peran detektif yang berhasil mempertemukan mereka kembali dan happy ending. Suatu contoh misalnya novel Mencari Pencuri Anak Perawan. Sir Joon yang sudah ibarat pinang bertemu tampuknya dengan si Nona, anak angkat tukang ransum, akhirnya harus putus pertunangan mereka karena perbuatan si Tairo seorang peranakan Hindi yang berhasil menyuap tukang ransum dengan uang ratusan dolar. Tiba-tiba pecah kabar si Nona hilang. Sir Joon terhindar dari tuduhan tentang hilangnya si Nona tersebut karena ia baru sakit terkilir akibat main bola. Dengan pura-pura menunjukkan kebaikan hatinya, Sir Joon sanggup pula membantu mencarikan si Nona, asal diberi surat kawin agar tidak menimbulkan ia membawa kembali gadis itu. Permintaan Sir Joon dikabulkan dan kemudian menjemput si Nona, terus pergi berlayar meninggalkan kampung halaman, karena tidak lain yang menyembunyikan si Nona adalah Sir Joon sendiri.
Walaupun pola ceritanya hampir serupa, membaca karangan Suman, kita “dipaksa” menyelesaikan sampai akhir cerita karena gaya ceritanya yang penuh kejenakaan dan bahasanya yang lincah mengasyikkan.

PENGARANG-PENGARANG PUJANGGA BARU YANG LAIN
1.       M.R. Dayoh
Karangannya: Peperangan Orang Minahasa dengan Orang Spanyol (1931); Pahlawan Minahasa (novel sejarah, 1935); Syiar untuk ASIB (Algemeen Steunfonds voor Inheemse Beheeftigen= Fonds Sokongan Umum untuk Fakir Bumiputra); Putera Budiman (1941).
2.       Asmara Hadi
Nama sebenarnya Abdul Hadi, nama samarannya Asmara Hadi, H.R. Hadi Ratna, Ipih, dan Ipih A. Hadi. Ia banyak menulis puisi dalam beberapa majalah, tetapi belum ada yang dibukukan tersendiri. Y.U. Nasution sudah membicarakan puisi-puisi tersebut dalam bukunya yang berjudul Asmara Hadi, Penyair Api Nasionalisme (1965). Karangan Asmara hadi yang sudah diterbitkan: Di Belakang Kawat Berduri (1942).
3.       A. Hasymy (M. Ali Hasyim)
Ia pernah jadi gubernur Aceh tahun 1957. Hampir semua sajaknya bernafaskan Islam dan mengandung unsur nasionalisme. Karangannya: Kisah Seorang Pengembara (kumpulan puisi, 1936); Dewan Sajak (kumpulan puisi, 1940); Bermandi Cahaya Bulan, Suara Azan dan Lonceng Gereja, dan Sepanjang Jalan Raya Dunia.
4.       Sutomo Jauhari Arifin
Karyanya: Andang Taruna (novel 1942).

SASTRA PERIODE TAHUN 30 DI LUAR PUJANGGA BARU
A. Teeuw membagi sastra Indonesia sebelum perang menjadi tiga golongan, yaitu: (1) sastra hasil Pujangga Baru; (2) sastra penerbitan Balai Pustaka; dan (3) sastra berupa seri cerita-cerita roman.
Batas antara ketiga golongan itu tidak jelas benar, masing-masing saling melengkapi satu dengan yang lain. Walaupun karya Suman Hs. sebagian masuk golongan satu, setengahnya masuk golongan tiga. Demikian pula HAMKA, sebagai pengarang ia jarang dimasukkan ke dalam golongan satu atau dua karena hasil sastra sebagian besar penerbitannya melalui golongan tiga, tetapi karangan-karangannya sebagian bersifat sastra golongan dua.
Sastra periode tahun 1930 di luar Pujangga Baru umumnya berupa seri cerita-cerita roman yang diterbitkan di kota-kota besar, seperti Semarang, Padang, Solo, Surabaya, dan yang terutama ialah Medan. Oleh karena itu, sering disebut juga sastra penerbitan Medan.
Seri cerita-cerita roman adalah penerbitan roman atau novel berjilid-jilid dalam satu seri dengan  nama bermacam-macam, misalnya Seri Roman Indonesia di Padang, Dunia Pengalaman, dan Lukisan Pujangga di Medan, Seri Suasana Baru, Seri Kejora, Seri Panorama, dan lain-lain.
Tidak semua penerbitan seri cerita roman beruparoman picisan, walaupun sebagian nilai sastranya memang kurang. Demikian pula seorang pengarang yang telah banyak menulis cerita yang dinilai sebagai roman picisan, tidak berarti bahwa semua karangannya tidak ada yang bernilai sastra. Hal ini perlu ditegaskan untuk menghindari penilaian yang kurang tepat tentang diri seorang pengarang dan hasil karangannya.
Seorang pengarang yang penting di luar golongan satu dan dua, dan hasil sastra yang mempunyai kedudukan penting dalam sejarah sastra Indonesia ialah Hamka. Berhubungan dengan itu, kedua hala tersebut akan diuraikan secara ringkas tentang dua hal tersebut, yaitu roman picisan dan Hamka.
1.       Roman Picisan
Dalam bahasa Belanda ada istilah stuiversroman, yang maksudnya hampir sama dengan roman atau novel picisan dalam bahasa Indonesia. Keduanya menunjukkan pada pengertian sesuatu yang kurang bernilai atau kurang berharga; walaupun istilah yang digunakan berbeda (stuiver = 5 sen; sepicis = 10 sen).
Roman picisan adalah jenis bacaan dalam buku-buku kecil yang berisi cerita roman atau novel yang umumnya termasuk dalam suatu seri dan yang dipandang dari penilaian sastra banyak mengandung kelemahan. Roman picisan itu banyak diterbitkan di kota-kota besar terutama di daerah Sumatera Timur. Akan tetapi, tidak berarti bahwa semua roman picisan tidak ada yang bernilai sastra sebab dalam beberapa hal penyimpangan itu selalu ada.
Sesuai dengan tulisan R. Roolving tentang Roman Picisan Bahasa Indonesia yang dimuat sebagai lampiran pada buku Pokok dan Tokohdalam Kesusastraan Indonesia Baru karangan A. Teeuw, maka beberapa corak seri roman picisan ini dapat di simpulkan sebagai berikut:
a.       Penerbitan roman picisan pada umumnya bersifat perdagangan sehingga isi dan sifat ceritanya lebih banyak diarahkan pada selera pembaca. Cerita-ceritanya bersifat dramatis, kocak sesuai kehendak zaman, tentang cinta yang cengeng, dan banyak pula yang mengandung unsur detektif walaupun dalam tingkat sederhana sesuai dengan tingkat kecerdasan masyarakat pada umumnya.
b.       Lukisan watak-watak pelakunya kurang mendalam dan tidak cocok dengan kenyataan hidup manusia yang sesungguhnya. Seakan-akan hanya ada dua watak manusia, yaitu baik atau buruk saja, tanpa variasi. Tentang lukisan watak tersebut Roolvink berkata sebagai berikut:
“Dipandang dari kesusastraan buku-buku itu tidaklah dapat dikatakan berhasil. Jalan ceritanya biasanya indah, tetapi tidak mendalam sedikit pun. Orang-orang serta tabiat-tabiat yang dilukiskan  samar saja dan tidak sampai diperkembangkan, jangan lagi untuk dikatakan bahwa lukisan-lukisan watak itu menurut ilmu jiwa dapat dipertanggungjawabkan, supaya gerak-gerik masing-masing pelaku dalam buku-buku itu dapat masuk pada akal.” (Teeuw, 1953: 243)
c.       Persoalan ceritanya berhubungan dengan pertentangan antara kebudayaan kota modern dengan kebudayaan kuno, kolot, tua, dan sebagainya. Oleh karena itu, pada umumnya cerita-cerita roman picisan itu bermain di kota-kota besar dengan kehidupan kota yang dipandangnya serba modern: menonton bioskop, makan minum di restoran, menghisap rokok yang serba mahal, pergi tamasya, dan lain-lain. Demikian pula cara berhias serba modern, secara Barat dengan model-model terakhir.
d.       Sering dalam cerita itu sering disisipkan reklame atau propaganda untuk sesuatu badan usaha atau untuk barang dagangan. Dalam perkembangan teknik reklame, cara seperti itu sekarang banyak dikembangkan melalui cerita-cerita pedalaman , sandiwara radio, dan sebagainya.
e.       Komposisi cerita dan bahasa yang dipergunakan umumnya kurang terpelihara. Komposisi ceritanya sering tidak runtut, hubungan kausalitasnya tidak jelas. Bahasa yang digunakan lancar, tetapi pemilihan kata, pemakaian perbandingan, dan tanda bacanya sering kurang tepat.
Apa yang dikemukakan di atas adalah ciri roman atau novel picisan pada umumnya. Akan tetapi, hal itu tidak berarti bahwa setiap roman picisan  mengandung semua ciri tersebut. Ada berbagai variasi antara satu cerita dengan cerita yang lain. Bahkan, ada pula yang sebagian terluput dari ciri-ciri itu.
Mungkin secara keseluruhan suatu roman picisan ditinjau dari segi nilai sastranya kurang berharga, tetapi cerita itu tetap berharga ditinjau dari segi lain. Paling tidak, bacaan itu ðapat memberi kesan tentang kehidupan dalam kota-kota besar dan tentang kebudayaan kota Indonesia modern. Lagipula tak dapat sastra itu diabaikan begitu saja dalam menjawab pertanyaan apakah sekarang yang dibaca di Indonesia. Dalam sastra itu terbayang kehidupan rakyat jelata Indonesia modern.” (Teeuw, 1953: 250).
Selain itu, ada pula manfaatnya yang lain. Roman picisan sebagai suatu bacaan populer yang dapat mencapai sebagian besar lingkungan masyarakat luas, banyak yang mengandung kritik terhadap beberapa hal yang dipandang kurang baik oleh masyarakat, misalnya tentang bahaya judi, tentang sikap hidup yang berlebih-lebihan, dan lain-lain.
Beberapa pengarang yang sebagian karangannya termasuk roman picisan, antara lain yaitu:
a.       Matu Mona (nama sebenarnya Hasbullah Parinduri), beberapa karangannya ialah: Harta Terpendam, Spionagendiest, Rol Pacar Merah Indonesia, Panggilan Tanah Air, Ja Umenek Jadi-Jadian, Zaman Gemilang. Karangannya Zaman Gemilang merupakan hasil Matu Mona yang paling baik; yang sebenarnya kurang tepat untuk disebut sebagai roman picisan.
b.       A. Damhuri. Hasil karangannya: Mayapada, Bergelimang Dosa, Depok Anak Pagai, Mencari Jodoh, Terompah Usang yang Tak Sudah Dijahit (1953).
c.       Yusuf Sou’yb. Hasil karangannya yang terkenal ialah Elang Emas yang terdiri atas beberapa jilid.
d.       Imam Supardi. Karangannya berupa sebuah novel kecil melalui penerbitan di Surabaya berjudul Kintamani.
2.       Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amarullah)
Kecuali menggunakan nama singkatan, Hamka sering menggunakan nama samaran: A.S. Hamid, Indra Maha, dan Abu Zaki. Ia lahir di Sungai Batang, Maninjau, 16 Pebruari 1908, anak seorang ulama besar yang bernama Doktor Haji Abdul Karim Amarullah.
Hamka memang memiliki kecakapan menulis dan hasilnya produktif sekali. Karangannya meliputi berbagai bidang: sastra, filsafat, agama, kemasyarakatan, ketatanegaraan, sejarah, dan lain-lain. Hamka terkenal sebagai pengarang Islam, dan paham Islam itu terpancar pada semua karangannya. Sebagian besar hasil karangannya pertama kali dimuat dalam majalah-majalah Islam juga, misalnya Di Bawah Lindungan Ka’bah terbit sebagai feuilletan (cerita bersambung) dalam majalah Pedoman Masyarakat (1936); dan juga kumpulan cerpennya Di Dalam Lembah Kehidupan (1940) pernah dimuat secara terpisah dalam majalah itu juga.
Novel Hamka yang pertama berjudul Di Bawah Lindungan Ka’bah tersebut kemudian diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1938 dan ternyata pada tahun 1962 telah mencapai cetak ulang ke-9. Hal ini menunjukkan betapa populernya cerita tersebut dalam masyarakat. Novel Di Bawah Lindungan Ka’bah mempunyai sifat-sifat menarik. Novel tersebut dimulai dengan suatu “Cerita dari Mesir” yang berisi persetujuan sahabat Hamka tentang  maksud penyusunan karangan novel itu; surat pada permulaan novel itu serta ceritanya yang berbentuk “aku” memberi kesan yang meyakinkan pembaca, bahwa cerita novel tersebut benar-benar terjadi (bersifat autentik). Memang, Hamka pandai benar menjalin peristiwa-peristiwa dalam komposisi cerita yang mengasyikkan. Dipilihnya peristiwa-peristiwa yang sungguh-sungguh penting dan kemudian dipadatkan lagi dengan sisipan surat-surat sehingga novel yang tebalnya 67 halaman itu cukup memberikan gambaran selengkapnya tentang kehidupan pelaku-pelakunya. Ceritanya melukiskan cinta kasih antara Hamid dan Zainab yang tetap membara di hati masing-masing dan tidak sampai pada jenjang perkawinan karena perbedaan martabat dan kedudukan. Hamid sejak kecil setelah ayahnya meninggal, tinggal bersama ibunya. Ia kemudian disekolahkan Haji Jafar, seorang saudagar kaya yang mempunyai anak perempuan bernama Zainab. Hamid sekolah bersama Zainab. Antara keduanya timbul jalinan cinta kasih yang tersembunyi dalam-dalam. Karena ibu Hamid menyadari keadaan dirinya maka sebelum meninggal, ia berpesan kepada anaknya agar api cinta itu dipadamkan dan Hamid berjanji akan memenuhi nasihat ibunya itu. Ibu Zainab bermaksud mengawinkan anaknya dengan saudara sepupunya dan untuk maksud itu Hamid diminta untuk melunakkan hati Zainab. Meskipun berat di hati, dilakukan juga permintaan itu, dan ternyata tidak berhasil. Hamid kemudian mengembara meninggalkan kampung halaman menuju ke Mekkah, dengan maksud untuk memadamkan api cinta yang tumbuh di hatinya. Kedatangan temannya yang bernama Saleh ke Mekkah, yang menceritakan  bahwa Zainab tetap mencintainya, menyalakan kembali api cinta yang hampir padam. Akan tetapi, beberapa waktu kemudian datang kabar dari istri Saleh, bahwa Zainab meninggal karena sakit menahan rindu. Mendengar itu Hamid jatuh sakit dan meninggal di bawah lindungan Ka’bah. Saleh itulah yang kemudian memberikan persetujuan kepada Hamka untuk menuliskan kisah temannya itu dalam suatu karangan.
Hamka suka pada hal yang sedih-sedih dan sebagian besar ceritanya melukiskan hal-hal yang menyedihkan. Dengan bahasa yang merayu dan menawan hati, membaca cerita Hamka kita di bawa ikut merasakan yang sedih-sedih itu. Sungguh-sungguh terharu hati kita bila membaca surat-surat dalam novel Di Bawah Lindungan Ka’bah. Oleh karena itu, Hamka sering disebut juga pujangga “air mata”.
Plot cerita novel itu pun mempunyai keistimewaan. Dengan bentuk “aku” pengarang mulai bercerita sesudah menerima surat dari Mesir. Akan tetapi, “aku” pengarang tidak terus menerus bercerita. Mulai bab kedua disuruhnya tokoh utama Hamid bercerita sendiri. Dengan demikian, “aku” dalam cerita itu bukan “aku” pengarang selalu. Yunus Amir Hamzah mengemukakan skema plot novel tersebut sebagai berikut:


Pada tahun tiga puluhan masih jarang novel yang memberi sudut pandang cerita (point of view) bentuk “aku”, lebih-lebih yang kemudian dijalin dalam plot yang rumit seperti skema di atas.
Novel Hamka yang kedua berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Novel ini terbit pada tahun 1938 dan ternyata pada tahun 1959 telah mengalami cetak ulang yang ke-9. Tampaknya lebih populer daripada yang pertama, tetapi nilai sastra yang pertama lebih berhasil.
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck lebih tebal dari novel hamka yang pertama, terdiri atas 200 halaman (cet. 9). Ceritanya berbentuk “dia” (author omniscient) dan sisipan surat-surat dalam cerita mencapai jumlah 31 buah. Berbeda dengan novelnya yang pertama, surat-surat dalam novelnya yang kedua ini tidak fungsional, tidak memadatkan cerita, tetapi lebih banyak mengulang kembali sesuatu yang sudah diceritakan.
Tema ceritanya hampir sama, yaitu masalah “kasih tak sampai”. Zainuddin yang sudah sepakat hidup bersama dengan Hayati, lamarannya ditolak oleh orang tua Hayati karena Zainuddin bukan orang berbangsa dan tidak kaya pula. Hayati kawin dengan Azis yang oleh orangtuanya dipandang lebih kaya dan orang berketurunan. Cerita kemudian pindah tempat, dari Padang ke Surabaya. Di Surabaya Zainuddin menjadi seorang pengarang dan penulis cerita-cerita sandiwara yang terkenal. Sebaliknya, di kota ini rumah tangga Azis mengalami kesulitan-kesulitan dan karena tidak tahan lagi, Azis mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Hayati ingin kembali kepada Zainuddin. Walaupun cinta Zainuddin kepada Hayati tidak pernah padam, ditekannya perasaan itu dan keinginan Hayati ditolak oleh Zainuddin, bahkan Hayati disuruhnya pulang ke Padang. Hayati menumpang kapal Van der Wijck dari Surabaya, dan belum lama kapal itu berangkat tiba-tiba tenggelam. Karena kecelakaan itu, Hayati sakit parah dan dibawa ke rumah sakit Lamongan. Sebelum meninggal ia masih sempat bertemu dengan Zainuddin yang datang menyusulnya. Tak lama kemudian karena tak tahan menanggung penyesalan, Zainuddin pun meninggal dan dikuburkan dekat kuburan Hayati.
Menilik cerita di atas, judul novel dengan cerita tersebut tidak terjalin secara organis, karena tenggelamnya kapal Van der Wijck hanya suatu peristiwa yang terdapat pada bagian akhir cerita sebelumnya. Kecuali bahasanya yang merayu-rayu dan akhir cerita yang menyedihkan, tokoh utama dalam novel-novel Hamka adalah tokoh yang ideal, tokoh manusia suci yang sukar diperoleh contohnya dalam masyarakat.
Pada tahun 1962, novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dihebohkan oleh masyarakat, terutama oleh Lekra sebagai novel plagiat (curian) dalam novel dalam bahasa Prancis yang berjudul Sous Les Tilleuls (Di Bawah Naungan Pohon Tillia) karangan Alphonse Karr (1808-1890). Novel Baptisto Alphonse Karr tersebut pernah disadur ke dalam bahasa Arab oleh Mustafa Luttfi al-Manfaluthi (1876-1924) dengan judul Majdulin. Al-Manfaluthi adalah seorang pengarang Arab-Mesir yang sangat dikagumi Hamka. Karena timbul heboh itu, Majdulin kemudian diterjemahkan oleh A.S. Alatas ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Maghdalena (1963).
Menghadapi plagiat tidaknya novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck yang menjadi heboh itu, H.B. Jassin sebagai seorang kritikus yang terkenal menegaskan bahwa novel itu bukan jiplakan karena di dalamnya ada pemikiran, penghayatan, dan pengalaman Hamka sendiri. Adanya pengaruh berarti bukan plagiat. Karangan Hamka yang lain adalah kumpulan cerpen yang berjudul Di Dalam Lembah Kehidupan. Sesuai dengan judulnya, cerpen yang terdapat di dalamnya mengisahkan nasib kehidupan seseorang yang penuh penderitaan.
Kecuali yang tersebut di atas, karangan Hamka yang lain yaitu Laila Majnun (1933); Salahnya Sendiri (1939); Karena Fitnah (1938); Keadilan Ilahi (1940); Dijemput Mamaknya (1962); Menunggu Beduk Berbunyi (1950); Terusir (1951); Merantau ke Deli (1959); dan Tuan Direktur (1961).
Hamka menulis pula riwayat hidupnya sendiri (autobiografi) dengan judul Kenang-Kenangan Hidup (4 jilid) terbit tahun 1951 dan riwayat hidup (biografi) ayahnya Dr. Abdul Karim Amarullah dengan judul Ayahku (1958). Ia juga menerjemahkan karangan Alexander Dumas ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Margaretha Cauthir (1960). Kisah perjalanan karangan Hamka yang telah diterbitkan ialah Tinjauan di Lembah Nil (1951); di Tepi Sungai Dajlah (1953); Mandi Cahaya di Tanah Suci (1953); dan Empat Bulan di Amerika (1954).

Dari semua karangan Hamka, baik yang bersifat sastra maupun yang berhubungan dengan filsafat, ketatanegaraan, dan lain-lain, jelas sekali adanya napas ajaran Islam di dalamnya, yaitu ajaran Islam sebagai suatu keyakinan, bukan sebagai suatu permasalahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar