Rabu, 07 Mei 2014

SASTRA INDONESIA DI MASA JEPANG

SITUASI SASTRA DI MASA JEPANG

Menilik jangka waktunya sebenarnya sastra Indonesia di masa Jepang kurang penting untuk dibicarakan tersendiri. Sastra Indonesia di masa Jepang berlangsung hanya ±3,5 tahun; waktu yang amat singkat bagi pertumbuhan suatu kebudayaan. Akan tetapi, dilihat dari peranan sastra masa itu bagi perkembangan selanjutnya, maka sastra Indonesia di masa Jepang perlu diberi tempat tersendiri dalam sejarah sastra Indonesia. Jassin menganggap bahwa zaman Jepang adalah masa pemasakan jiwa revolusi, yang kemudian meletus pada tanggal 17 Agustus 1945. Dilihat dari pertumbuhan kebudayaan Indonesia, zaman Jepang adalah penempaan pengalaman hidup dengan berbagai penderitaan sehingga memungkinkan timbulnya keragaman dan kedewasaan sastra kemudian.
Banyak pengarang Angkatan 45 yang mulai berakar pada sastra Indonesia di masa Jepang antara lain Chairil Anwar, Idrus, Rosihan Anwar, Usmar Ismail, dan lain-lain. Walaupun demikian, sastra Indonesia di masa Jepang tidak perlu dipandang sebagai suatu angkatan tersendiri karena pada hakikatnya pada masa itu tidak ada satu konsepsi atau ide yang jelas yang hendak diperjuangkan oleh para pengarang, yang tentunya dapat dilihat atau yang tercermin dalam karya sastra mereka. Memang ada perbedaan gaya bahasa, sikap, dan pandangan hidup, dibandingkan dengan sastra sebelum perang, tetapi semua itu tidak bersumber pada adanya kesamaan konsepsi para pengarang pada masa itu.
Macam-macam sikap para pengarang bangsa kita menerima kedatangan Jepang. Sikap itu dapat kita lihat dari sastra yang mereka hasilkan, walaupun sebenarnya belum tentu apa yang terjelma dalam karya sastra tersebut benar-benar mencerminkan seluruh pribadinya.
Ada beberapa pengarang yang menyebutkan kedatangan Jepang di Indonesia dengan gembira dan penuh harapan, walaupun kemudian mereka menyadari apa maksud Jepang yang sebenarnya. Sikap ini antara lain tampak pada puisi Usmar Ismail. Bagaimana sikap Usmar Ismail pada mulanya tercermin pada bait terakhir puisi yang berjudul Kita Berjuang.

Sebagai dendang menyapu kalbu,
Bangkit hasrat damba nan larang,
Ingin ke medan ridlah menyerbu:
“Beserta saudara turut berjuang!”
(Jassin, 1948: 45)

Akan tetapi, pada puisi-puisinya kemudian, terasa bahwa ia mulai resah dan sangsi terhadap “saudara tua” dan akhirnya perasaan dan semangatnya tertuju pada kemerdekaan tanah air. Puisinya yang berjudul Caya Merdeka ditujukan ‘Kepada Tanah Airku’.
Di samping itu, ada beberapa orang pengarang yang sejak semula sangsi dan curiga terhadap maksud kedatangan Jepang di Indonesia. Mereka tidak mudah menerima propaganda Jepang yang menyatakan diri sebagai “saudara tua” bangsa kita. Kata-kata dan slogan: Kemakmuran bersama Asia Timur Raya, Dai-Nippon Indonesia sama-sama, Asia untuk bangsa Asia, Kemerdekaan Indonesia di kelak kemudian hari, Asia sudah bangun, dan lain-lain, banyak yang bertetangan dengan kenyataan. Karya Idrus dalam Corat Coret di Bawah Tanah merupakan protes pengarang secara sisnis pada keadaan masyarakat pada waktu itu. Beberapa contoh misalnya sebagai berikut.

Kartono sedang asyik bekerja. Dadanya bengkok seperti akal orang Nippon (Jassin, 1948: 169)
Sekarang ini serba susah. Badan kita seperti es lilin saja. Bertambah lama bertambah kecil juga, akhirnya habis menjadi air. Delemparkannya orang. (Jassin, 1948: 184)

Juga sajak-sajak Rosihan Anwar, Chairil Anwar, Amal Hamzah, dan lain-lain menunjukkan bahwa mereka sejak semula tidak termakan oleh janji-janji dan slogan-slogan propaganda Jepang.

Tetapi... alangkah terkadang beta kecewa
Melihat keadaan sehari-hari
Lain di mulut lain di hati
Kata “Semangat” permainan semata.

Banyak orang menepuk dada, sambil berkata:
“Aku insaf!... Mau berkurban... itu semangat”
Tapi... coba perhatikan lebih dekat
Ah, kenapa pertentangan “Lahir” dan “Batin”

Semakin dipikir, semakin yakin:
kata “semangat” tak ada artinya
kalau berlainan “Lahir” dan “Batin”
Apa guna “semangat-semangatan”
(Rosihan Anwar – “Lahir Batin”)

Pada waktu Jepang berkuasa di Indonesia hampir semua perkumpulan di larang, kecuali perkumpulan-perkumpulan yang didirikan atau yang seizin pemerintah seperti PUTERA (Pusat Tentara Rakyat) yang dipimpin oleh Bung Karno.
Di lapangan kebudayaan pemerintah mendirikan satu lembaga yang disebut Pusat Kebudayaan atau Keimin Bunka Shidoso. Lembaga ini diketuai oleh Armijn Pane dengan penasihat bangsa Jepang bernama Sakai. Anggota-anggota lembaga tersebut antara lain: Sutomo Jauhar Arifin, Usmar Ismail, dan Inu Kertapati. Lembaga ini dimaksudkan oleh pemerintah Jepang untuk menghimpun tenaga sastrawan dan seniman, agar mereka dapat dimanfaatkan bagi kepentingan perang Asia Timur Raya. Oeleh karean itu, tugas lembaga ini kecuali melaksanakan sensor yang keras terhadap penerbitan pada waktu itu, juga memberikan konsumsi kepada pemerintah akan kebutuhan dalam bidang kebudayaan. Melalui pusat kebudayaan inilah dihasilkan cerpen, drama, dan puisi-puisi yang sejalan dengan “pesanan” pemerintah sehingga dalam berbagai karya sastra yang dihasilkan, unsur propaganda tidak dapat dielakkan. Usaha dan kegiatan yang harus dipropagandakan itu antara lain: menanam biji jarak, giat menambah produksi, bekerja keras di pabrik, sanggup masuk barisan jibaku tai (barisan berani mati), membantu perang Asia Timur Raya, dan lain-lain.
Walaupun demikian, tidak berarti bahwa semua yang dihasilkan oleh pusat kebudayaan tidak mengandung arti sama sekali bagi kehidupan perkembangan sastra Indonesia. Ada beberapa pengarang yang dengan kecerdikannya memasukkan unsur propaganda hanya sekdar sebagai latar belakang cerita saja, bukan sebagai tujuan yang terjelma dalam tema cerita. Dengan demikian, karangan tersebut dalam kadar tertentu masih tetap bernilai sastra, seperti misalnya beberapa drama karangan Usmar Ismail.
Pada zaman Jepang, penerbitan majalah sangat terbatas jumlahnya. Pujangga Baru tidak lagi terbit. Majalah sastra dan kebudayaan yang penting pada waktu itu antara lain Kebudayaan Timur, yaitu majalah resmi yang diterbitkan oleh Pusat kebudayaan, Panca raya, dan Panji Pustaka.
Satu hal kiranya perlu dicatat dalam hubungannya dengan situasi sastra di masa Jepang, yaitu perkembangan bahasa Indonesia. Pada waktu itu bahasa Indonesia mengalami kemajuan yang sangat pesat. Bahasa Belanda dilarang oleh Jepang, sedangkan bahasa Jepang yang dicoba untuk segera diajarkan secara luas kepada bangsa kita belum banyak dikuasai. Akibatnya, bahasa Indonesia secara langsung dipergunakan dalam segala bentuk perhubungan; sebagai bahasa administrasi negara dan sebagai bahasa ilmu dan kebudayaan pada umunya. Sejak saat itu penggalian potensi yang ada pada bahasa Indonesia diusahakan secara sungguh-sungguh. Dengan demikian, orang menjadi sadar akan kemampuan bahasa Indonesia dalam menampung perkembangan ilmu dan kebudayaan modern. Hal ini berpengaruh besar bagi kehidupan sastra. Aneka corak dan gaya timbul pada waktu itu, antara lain tampak pada puisi-puisi Chairil Anwar, berbagai prosa Idrus, Amal Hamzah, dan lain-lain.

KARAKTERISASI SASTRA DI MASA JEPANG
Pada bagian sebelumnya sudah diuraikan, bahwa sastra zaman Jepang memiliki corak yang beraneka ragam. Pada dasarnya ada dua macam sastra pada waktu itu: (1) sastra yang tersiar, dan (2) sastra yang tersimpan.
Sastra yang tersiar maksudnya sastra yang berhasil disiarkan, baik melalui majalah maupun melalui penerbitan tersendiri, sesudah mengalami sensor pemerintah. Sastra yang tersimpan ialah sastra yang tertulis masa itu, tetapi baru disiarkan sesudah Proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945, misalnya beberapa sketsa (lukisan) Idrus dalam Corat-Coret di Bawah Tanah. Corak dua macam sastra tersebut sangat berbeda bahkan sering tampak bertentangan. Selain itu, tiap macam sastra itu pun masing-masing memiliki variasi tersendiri.
Berdasarkan kenyataan di atas, , karakterisasi sastra Indonesia di masa Jepang dapat dirangkum sebagai berikut:
1.       Umumnya sastra tersiar pada masa itu tidak terlepas dari unsur tendens, yaitu tendens membantu perang Jepang, bahkan sering unsur tendens itu begitu jelas sehingga berubah sifat menjadi propaganda. Tendens demikian tampak pada dua novel yang terbit pada masa Jepang, yaitu Palawija karangan Karim Halim dan Cinta Tanah Air karangan Nur Sutan Iskandar.
2.       Sastra tersiar yang tidak mengandung unsur tendens, umumnya menyatakan maksud isinya dalam bentuk simbolik atau bersifat pelarian dari realitas kehidupan yang pahit, misalnya Dengar Keluhan Pohon Mangga dan Tinjaulah Dunia Sana, keduanya karangan Maria Amin. Juga cerpen Bakri Siregar yang berjudul Burung Balam dan Turunan, dapat dipandang bersifat simbolik karena keduanya berlaku dalam dunia bintang. Pelarian ke tempat terpencil, misalnya tampak pada beberapa cerpen Bakri Siregar yang berjudul Di Tepi Kawah dan Di Balik Bukit, sedangkan pelarian kepada Tuhan tampak misalnya pada puisi-puisi Bahrum Rangkuti. Berikut ini adalah kutipan alinea terakhir Dengarlah Keluhan Pohon Mangga.

O, Tuhan, kalau pohon mangga bisa bicara tentu dia akan bercerita apa yang telah dideritanya waktu tumbuhnya. Ahli filsafat dan orang pandai-pandai hanya mengetahui hidupnya itu dan mengerti keluhan pohon mangga tadi.

Tampak Maria Amin berpendirian lebih baik menderita hidupnya daripada bermewah-mewah dengan memperoleh banyak uang, tetapi bertentangan dengan kata hatinya. Hal ini jelas pada puisinya yang berjudul Aku Menyingkir.

AKU MENYINGKIR

Terlintas ingatan mengenang hari
Masa aku menyingkir diri
Tenaga yang telah kuberi
Mundur karena kata hati

Bukan timbangan rasa di luar
Tetapi pertempuran rasa di dalam
Tidak hendak alah bertengkar
Biar patah hancur terpendam

Mendering banyak wang di pinggang
Allah, dek miskin rasa di hati
Harta di luar dapat ditenggang
Harta di dalam di mana di cari

3.       Sastra tersimpan umumnya berupa sastra kritik yang berisi kecaman dengan sindiran terhadap ketidakadilan yang terdapat dalam masyarakat. Dalam sejarah kehidupan suatu bangsa ternyata bahwa sastra kritik selalu timbul apabila tidak ada keserasian dalam tata kehidupan bangsa itu; misalnya tidak ada kecocokan janji dengan slogan-slogan dari penguasa dengan kenyataan yang sebenarnya, perbedaan yang terlalu jauh antara si miskin dan si kaya, pembatasan dan penyelewengan hak-hak asasi manusia, tindakan sewenang-wenang dari pihak penguasa, dan sebagainya. Wujud sastra kritik ini dapat bermacam-macam; misalnya dalam bentuk satire, baik yang sinis maupun yang bersifat humor, simbolik, atau langsung  berupa kritik lugas. Satire yang sinis misalnya berupa sketsa-sketsa Idrus dalam Corat-Coret di Bawah Tanah, drama Tuan Amin karya Amal Hamzah. Kritik yang lugas dapat kita rasakan pada puisi Dullah yang berjudul Anak Rakyat di bawah ini.

Anak Rakyat
I

Ditiup unggun yang padam
dua tubuh berjongkok-jongkok
lagi seorang meniupnya
seorang lagi berganti-ganti
belum lagi api menyala
asap gelisah membalut badan
kurus hitam penuh tanah
lekat rusuk pada lutut

tulang belulang mendekap-dekap
anak rakyat kedinginan.
Begitu saja orang lalu
berpaling jua hanya sebentar
sudah itu terus berlalu
tinggal sendiri tubuh yang tata;
di atas rumput kering kuning
di balik bayang pohon jarak
dalam sinar samar-samar
jengkrik mengerik belalang mengiang
memekik mengadu di liang lengang
Anak Rakyat mati telanjang
(Gunadi, 1962: 123)

4.       Genre sastra yang dominan pada masa Jepang yaitu bentuk puisi, cerpen, dan drama. Perkembangan yang mencolok di antara ketiga bentuk itu dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya yaitu bentuk drama. Dalam pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia belum pernah terjadi kehidupan drama sesubur masa Jepang. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut:
a.       Drama merupakan media propaganda yang paling tepat sehingga pemerintah Jepang tidak segan-segan memberikan bantuan terhadap segala usaha yang berhubungan dengan kegiatan drama.
b.       Film-film berbahasa Inggris dilarang dipertunjukkan sehingga pementasan drama merupakan hiburan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
c.       Drama modern pada masa itu tidak terlalu jauh jaraknya dengan seni rakyat tradisional ketoprak sehingga cocok bagi tingkat selera seni rakyat.
d.       Situasi ekonomi yang serba sulit memerlukan hiburan langsung sesuai dengan lingkungan kehidupan rakyat.
Selain yang tersebut di atas, pada masa jepang banyak dilakukan usaha-usaha pembaharuan di bidang drama, terutama tentang teknik penulisan drama. Juga beberapa perkumpulan drama didirikan pada waktu itu, baik yang amatir maupun yang profesional.
5.       Dibandingkan dengan corak sastra sebelumnya yang umumnya romantik-idealisme, sastra masa Jepang lebih bersifat realistis (romantik-realistis). Hal ini disebabkan karena corak romantik pada masa itu langsung berhubungan dengan kenyataan hidup yang pahit, yang penuh dengan penderitaan. Beberapa contoh sastra yang bersifat realistis itu misalnya beberapa sketsa Idrus, cerpen-cerpen Amal Hamzah, dan lain-lain.
Berbicara tentang karakteristik sastra di masa jepang seperti yang sudah disebutkan, kita banyak mengalami kesukaran. Selain karena keanekaragaman sikap dan pendirian para pengarang, juga seorang pengarang sering mengalami perkembangan  yang berbeda atau bertentangan dari yang semula. Hal ini tampak pada diri Amal Hamzah, Idrus, Usmar Ismail, dan lain-lain. Dengan demikian, karakteristik tersebut terbatas pada corak-corak yang menonjol yang tidak mutlak dapat dikenakan pada semua hasil sastra.

PENGARANG DAN HASIL KARANGANNYA
Buku sumber tentang sastra di masa Jepang tidak banyak. Satu antologi yang berharga, terutama dari segi dokumentasi sastra ialah Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang, yang disusun oleh H.B. Jassin. Kita dapat memperoleh bahan tentang pengarang-pengarang masa Jepang dan hasil karangannya terutama dari antologi tersebut. Di samping itu, H.B. Jassin juga menyusun suatu antologi lain yang berjudul Gema Tanah Air, Prosa dan Puisi 1942-1948, yang di dalamnya termuat juga beberapa hasil karangan  yang di tulis di masa Jepang.
Antologi lain, yaitu kumpulan cerpen dan lukisan yang diterbitkan  oleh Balai Pustaka pada tahun 1946 yang berjudul Pancaran Cinta. Antologi tersebut terbagi menjadi 4 bagian, yaitu:
1.       Mengembara di Angan-Angan, meliputi cerpen Ujian yang Berat (Asmara Bangun); Cinta Abadi (Asmara Bangun); Asokamala Dewi (Usmar Ismail SMA).
2.       Hidup Membayang, meliputi cerita Di Tepi Kawah (Bakri Siregar); Menyinggung Perasaan (Matu Mona); Permintaan Terakhir (Usmar Ismail SMA).
3.       Antara Langit dan Bumi, meliputi cerita Radio Masyarakat (Rosihan Anwar); Arus Mengalir (Karim Halim); Darah Laut (H.B. Jassin).
4.       Berjejak di Atas Bumu, meliputi cerita Istri Tabib (Taharuddin Hamzah); Teropong (Amal Hamzah); Kalau Talak ‘lah Jatuh (Muhammad Dimyati); Kebaikan Hidup Bertetangga (Ramalia Dahlan).
Beberapa pengarang di masa Jepang, yaitu:
1.       Rosihan Anwar
Seprti yang telah disebutkan, Rosihan Anwar termasuk seorang pengarang yang tidak terpengaruh oleh propaganda Jepang sejak permulaan. Cerpennya yang terkenal yang berjudul Radio Masyarakat mengisahkan kehidupan seorang pemuda yang terombang-ambing jiwanya karena merasa tidak dapat menyesuaikan diri dengan semangat baru para pemuda pada waktu itu. Walaupun ia memperoleh suntikan-suntikan semanagat dari seorang dokter, ia dalam kebimbangan. Akhirnya, ia pergi ke Palembang untuk mendapatkan ketentraman hati.
Puisi-puisi Rosihan Anwar yang ditulis di masa Jepang antara lain Seruan lepas, Lahir dengan Batin, Untuk Saudara, Bertanya, Damba, Kisah di Waktu Pagi, Lukisan, dan Manusia Baru.
Rosihan Anwar juga menulis esai tentang pengarang di masa Jepang, antara lain berjudul Usmar Ismail yang Saya Kenal dan Cita-Cita Film Nasionalnya. Sifat religius dan nafas kebangsaan terpancar jelas dalam karangannya:

Lukisan
Kepada Prajurit

Di atas trem penuh pepak
Di sudut saja tempatku tegak.....

Duduk di depanku prajurit muda
Seluruh sikapnya “lukisan” nyata:
Contoh manusia

Tenang tegang,
Insafkan diri
Berharga tinggi,
Takkan sudi
Diperkuda-kuda

Memandang “lukisan” berkata hatiku
Beginilah harus Pemuda selalu
Penuh percaya kesanggupan diri
Jiwa utama pendirian pasti
Kuat bercita bertujuan suci

Prajurit muda tiada kukenal
Walaupun engkau tidaklah tahu
Tapi di hati kutanam janji
Bersaudara kita semenjak kini
Sambut tanganku satu tujuan:
Mari bersama menuju Kemenangan!
Lamalah sudah bangsa menanti.....

Semakin banyak masuk penumpang
Trem meluncur ke Tanah Abang

Karangan Rosihan Anwar yang berupa novel yang sudah diterbitkan berjudul Raja Kecil, Bajak Laut dari Selat Malaka, sebuah novel sejarah tentang Semenanjung awal abad ke-18.
2.       Usmar Ismail
Usmar Ismail adalah seorang pengarang drama yang terkenal di masa Jepang. Ia bekerja pada Pusat Kebudayaan dan menjadi orang penting di badan itu. Akan tetapi, karena ia tidak puas dengan cara kerja Pusat Kebudayaan maka bersama-sama dengan rosihan Anwar, El Hakim, di bantu oleh para seniman lain, ia mendirikan perkumpulan drama penggemar (amatir) yang bernama Maya.
Perkumpulan Maya didirikan menjelang pertengahan tahun 1944 dengan cara antara lain: menyelenggarakan drama radio, drama pentas, membacakan cerpen radio, dan sebagainya.
Beberapa drama yang telah dipentaskan ialah:
a.       Tiga drama El Hakim: Taufan di Atas Asia, Dewi Reni, Intelek Istimewa (kemudian dibukukan bersama dramanya yang berjudul Insan kamil, dengan judul Taufan di Atas Asia);
b.       Jeritan Hidup Baru saduran Karim Halim dari De K;eine Eyolf  karangan Ibsen.
c.       Drama Usmar Ismail yang berjudul Liburan Seniman.
Adapun drama radio yang pernah disiarkan antara lain Pamanku, Tempat yang Kosong, dan Mutiara dari Nusa Laut, semuanya karangan Usmar Ismail.
Di samping itu, Usmar Ismail menulis pula drama yang berjudul Api, Citra, dan Mekar Melati. Citra dan Mutiara dari Nusa Laut pernah dipentaskan oleh perkumpulan drama profesional Bintang Surabaya. Ketiga dramanya yang berjudul Citra, Api, dan Liburan Seniman diterbitkan dalam satu kumpulan Seri Sandiwara dengan judul Lakon-Lakon Sedih dan Gembira, yang diberi pengantar oleh H.B. Jassin.
Dengan usaha-usaha tersebut, sebenarnya Maya telah merintis beberapa hal, antara lain:
a.       Menyatakan para seniman dan berbagai cabang seni untuk mendapatkan keselarasan dalam pementasan;
b.       Mengadakan usaha pembaharuan di bidang penceritaan, dekorasi, tata pentas, dan lain-lain;
c.       Mencoba mementaskan drama asing, misalnya drama saduran dari Henrik Ibsen.
Cita-cita Usmar Ismail tentang perbaikan drama tampak jelas pada lakonnya yang berjudul Liburan Seniman. Pelaku-pelaku utama dalam lakon itu adalah Surono, seorang juru tulis yang berkecakapan mengarang, R. Garmoyono, dan Kertalasmana, kawan Surono “artis” cap lama. Walaupun dalam permulaan lakon itu disebutkan bahwa “segala pelaku dan segala kejadian tidak berhubungan dengan orang-orang  serta peristiwa yang pernah ada atau sedang ada”, jelas sekali bahwa dengan lakon itu Usmar Ismail hendak membuat semacam “perhitungan habis” dengan tokoh-tokoh tua di bidang drama dan kepengarangan (Usmar Ismail, 1974: 199).
Surono adalah personifikasi dirinya sendiri, Garmoyono mengingatkan kita pada Armijn Pane dalam hal kelicikannya, sedangkan Kertalasmana adalah perwujudan Anjas Asmara, tokoh tua dalam drama.
Di samping terkenal dalam bidang drama, Usmar Ismail juga menulis cerpen dan puisi. Beberapa cerpennya antara lain berjudul Asokamala Dewi, Permintaan Terakhir, sedangkan puisi-puisinya sudah diterbitkan dalam satu kumpulan berjudul Puntung Berasap.
Beberapa tahun sesudah kemerdekaan Usmar Ismail banyak di bergerak di bidang perfilman. Tahun 1949 ia berhasil memimpin sendiri film Citra-nya pada perusahaan South Pasific. Tahun 1950 bersama-sama dengan Rosihan Anwar ia mendirikan Perusahan Film Nasional Indonesia atau Perfini. Beberapa film yang telah diproduksi antara lain: Darah dan Do’a atau Long March Siliwangi, Enam Jam di Yogya, Dosa Tak Berampun (berdasarkan drama Jepang: Chichi, Kaeru yang disadur Usmarmenjadi Ayahku Pulang), dan lain-lain.
Dalam bidang organisasi Usmar Ismail pernah menjadi Ketua Umum Lesbumi (Lembaga Seni budaya Muslim Indodonesia), satu lembaga kebudayaan di bawah naungan Partai NU pada waktu itu. Lembaga tersebut pernah menerbitkan majalah kebudayaan bernama Gelanggang.
Dalam setiap karangan Usmar Ismail, terasa dorongan jiwa romantik yang kemudian terjelma dalam satu keselarasan unsur-unsur keindahan, cita-cita kebangsaan, dan jiwa ketuhanan. Berikut ini pembuka lakon drama “Api” seluruhnya.

Pembuka Lakon

Ya anak Adam! Janganlah sampai iblis dapat menggoda engkau seperti juga dia telah mengusir orang tuamu dari Taman Firdaus. Dirampasnya baju mereka, hingga nyatalah kejahatan mereka....
-Karena iblis itu, melihat engkau, dia dengan bangsanya, dari suatu tempat yang tak kelihatan olehmu; sesungguhnyalah kami selalu mengangkat iblis itu akan jadi penjaga mereka yang tidak beriman!
Demikianlah firman Tuhan di dalam kitab suci, menegaskan bahwa sesungguhnya iblis itu musuh manusia yang ingin mendapatkan tempat yang layak di sisi Allah. Demikianlah Allah telah menentukan, supaya manusia berjuang untuk menundukkan iblis itu.
Karena iblislah yang merintangi kemajuan manusia dari tingkat yang rendah menjelang tingkat yang tinggi. Berfirmanlah Tuhan dalam Al-Qur’an:
-Dan ditiuplah serunai pada hari pembalasan. Dan datanglah tiap roh dan dengan dia seorang penghasut (iblis) dan seorang saksi (malaekat).
Dan sesungguhnya dalam tiap manusia itu, bersarang yang jahat dan yang baik. Dan selama manusia masih percaya akan keadilan Tuhan, tiadalah pula ia ragu-ragu, bahwa perjuangan melawan yang keji dan jahat itu adalah semata-mata untuk memberi kesempatan juga adanya, supaya manusia merebut kembali Taman Bahagia di sisi Tuhan.
Dan apabila manusia itu bisa ditaklukkan oleh nafsu iblis yang semena-mena, maka jatuhlah atasnya hukuman yang diberikan Tuhan kepada iblis:
-Aku kutuki engkau hingga hari Pembalasan. Demikian lakon ini mencoba memberi bukti dengan contoh yang nyata-nyata akan keadilan Tuhan
Dan dalam masa perjuangan sekarang ini, apabila kita sudah yakin seyakin-yakinnya, bahwa kita sudah sanggup menaklukkan iblis di dalam diri sendiri, maka dalam menghadapi musuh yang sudah kena nafsu iblis pula untuk menjajah sesama, tiada kita akan gentar sedikitpun.
Kita yakin, kita melawan kejahatan dengan kesucian yang ada pada kita, dan tiadalah Tuhan akan menyia-nyiakan makhluknya yang beriman.
Mudah-mudahan, Amin ya Rabbal ‘alamin.
(Jakarta, bulan IV. 1945)

3.       Amal Hamzah
Rosihan Anwar dalam satu tulisannya menerangkan bahwa Amal Hamzah pun termasuk pengarang yang pernah bekerja pada Pusat Kebudayaan. Ia seorang pengarang yang mulai menulis pada zaman Jepang, dan termasuk pengarang yang pada mulanya percaya akan janji-janji Jepang, walaupun kemudian ia banyak mengalami kekecewaan.
Dalam karangannya yang awal jelas tampak jiwa romantik seperti halnya abangnya, Amir Hamzah. Hal itu dapat kita rasakan pada karangan-karangannya permulaan, baik yang berupa prosa maupun yang berupa puisi. Beberapa karangannya telah dibukukan dalam satu kumpulan yang berjudul Pembebasan Pertama (1949).
Akan tetapi, dalam karangannya yang kemudian, Amal Hamzah telah berubah menjadi seorang realis yang tajam, bahkan cenderung untuk dikatakan seorang materialistis yang kasar. Mungkin keadaan yang pahit yang penuh dengan tekanan dan penderitaan di masa Jepang membuat Amal Hamzah dari seorang yang romantik idealistis berubah menjadi seorang realis yang materialistis, sikapnya yang kasar itu tampak pada cerpen-cerpennya yang berjudul Bingkai Retak, Teropong, dan juga pada beberapa puisinya.

Pagi

Azan mu’alim sunyi membubung
Suasana pagi hari mendung
Memanggil umat berhening diri
Sujud khidmat pada Ilahi
Aku bergolek pada tempat tidurku
Mengenang nasib tak pernah tertuju
Hampir bertuju kulepaskan mesti....
Sejuk sedap suara seruan
Menghimbau engkau di langit tinggi
Sekejap lenyap segala deritaan
Dalam mendengar pujaan seni.
Mengenang melimpah kedua mataku
Mendengar suara mu’alim sunyi
Di atas menara tegak berdiri
Menyeru Allah di waktu pagi
Ingin aku menjadi suara
Di pagi waktu menjelang hari
Naik meninggi kecerpu Ilahi
(Kes. Indonesia di Masa Jepang)

Semberono

Bukan aku tak tahu
Bahwa lereng ngarai itu curam
Dan rintis di situ sempit serta lincir
Bila terpeleset kakiku
Tubuh ini tiada berguna lagi
Rangka hidup menunggu mati...
Tapi aku orang semberono
Bermain bersenda dengan neraka
Kurangkum neraka bermulut api
Kuterjang sekali segala ajaran suci!
(Kes. Indonesia di Masa Jepang)

Dari dua puisi di atas tampak jelas perubahan sikap dan perkembangan jiwa Amal Hamzah. Dari jiwa religius yang mistis menjadi seorang yang tidak ambil pusing lagi dengan segala ajaran suci.
Empat kumpulan puisinya yang belum diterbitkan ialah Gita Cinta, Kenangan Kasih, Topan, dan Sine Nomine. Ia juga menerjemahkan karangan Rabindranath Tagore yang berjudul Gitanyali dan beberapa karangan Tagore yang lain dalam kumpulan Seroja Gangga. Di samping itu, ia juga menerjemahkan beberapa karangan Notosuroto (seorang pengarang yang terpengaruh R. Tagore) yang aslinya dalam bahasa Belanda ke dalam bahasa Indonesia, yaitu Untaian Bunga (Bloeme Ketenen) dan Kuntum Melati (Melati Knoppen).
Amal Hamzah terkenal sebagai seorang penyair dan cerpenis, tetapi ada juga karangannya yang berbentuk drama yaitu Tuan Amin dan karangannya berupa kritik yang sudah diterbitkan dalam satu kumpulan yang berjudul Buku dan Penulis.
Tuan Amin merupakan drama singkat satu babak yang bercorak sinis yang konon ditujukan kepada pengarang-pengarang yang bekerja pada Pusat Kebudayaan, yang dianggapnya sebagai rumah gila. Akan tetapi, Amal Hamzah sendiri bekerja pada badan itu, tampaknya sindiran itu terutama ditujukan kepada pengarang-pengarang yang bersedia mengorbankan nilai seni dan martabat kemanusiaan untuk kepentingan fasisme Jepang.
Buku dan Penulis merupakan kumpulan kritik yang lebih bersifat impresionistis (estetis); karena kritik yang termuat di dalamnya sekedar berupa sinopsis (ringkasan cerita) dan sedikit uraian tentang hal-hal yang menarik dari karangan itu. Hal ini sesuai dengan kata pendahuluan buku itu, yang “tiada Indonesia kepada umum”. Novel dan drama yang dibicarakan dalam buku itu semuanya diterbitkan sebelum perang, kecuali satu sketsa Idrus yang berjudul Surabaya.
4.       El Hakim
El Hakim adalah nama samaran Abu Hanifah, kakak Usmar Ismail. Ia pun pengarang drama terkenal di masa Jepang. Kumpulan dramanya yang sudah diterbitkan berjudul Taufan di Atas Asia, yang terdiri atas empat lakon, yaitu Taupan di Atas Asia, Intelek Istimewa, Dewi Reni, dan Insan Kamil. Beberapa drama tersebut sudah dipentaskan oleh perkumpulan drama penggemar Maya, yang disutradarai oleh Usmar Ismail.
Sesudah kemerdekaan ia mengarang drama yang berjudul Rogaya dan Mambang Laut, yang keduanya belum diterbitkan. Karangannya yang berupa novel yang sudah diterbitkan  berjudul Dokter Rimbu. Di masa Jepang ia menulis juga sebuah buku yang berjudul Rintisan Filsafat, Rintisan Filsafat, yang berusaha menguraikan perbedaan filsafat materialisme dan filsafat idealisme.
Abu Hanifah kemudian banyak bergerak di bidang politik. Ia pernah menjadi menteri dan duta besar. Seperti juga dengan karangan Usmar Ismail, dalam setiap karangan Abu Hanifah terpancar nafas Islam dan unsur nasionalisme yang kuat.
5.       Chairil Anwar
Chairil Anwar adalah seorang penyair yang muncul di zaman Jepang yang membawa pembaharuan di bidang puisi modern. Puisi-puisi yang diciptakannya bersifat revolusioner, baik bentuk maupun isinya. Kata-kata dan perbandingan yang digunakan sangat tepat sehingga menjelmakan isi yang padat. Ia mengatakan bahwa dalam melukiskan sesuatu harus sampai pada hakikatnya, kita harus sanggup bukan hanya mengambil gambar-gambar biasa saja, melainkan juga gambar rontgen sampai ke putih tulang belulang.
Chairil Anwar adalah seorang penyair yang mempunyai vitalitas atau tenaga hidup yang meluap-luap.. ia berusaha hendak mereguk hidup ini sepuas-puasnya. Ia ingin mengisi eksistensi hidup ini sepenuh-penuhnya. Akibat dari sikap ini, ia tampak terlalu bersifat individualistis, tidak merasa terikat oleh konvensi dan tradisi yang berlaku dalam masyarakat. Sikapnya terhadap orang-orang Pusat Kebudayaan pun demikian sehingga ia sering dipandang sebagai kuda yang lepas dari kursinya.
Puisinya yang mula-mula disiarkan berjudul Nisan yang digubahnya pada bulan Oktober 1942. Puisinya yang paling terkenal, yang kemudian sering dianggap sebagai “proklamasi”-nya Angkatan 45 adalah yang berjudul Aku, yang ditulisnya pada tanggal 3 Maret 1943. Puisi tersebut kemudian oleh Pusat Kebudayaan diubah judulnya menjadi Semangat agar tidak bersifat individualistis sehingga dapat disiarkan. Berikut ini adalah kutipan puisi Aku.

AKU

Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak peduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi
(Deru Campur Debu)

Dari puisi di atas, Chairil manamakan dirinya “binatang jalang, dari kumpulannya terbuang”. Apabila suatu keyakinan sudah terhunjam dalam hatinya, ia tidak akan ambil pusing dengan orang lain, ia akan hidup seribu tahun lagi dengan keyakinan itu.
Di samping puisi Aku seperti tersebut di depan, ada satu lagi puisi Chairil yang juga berjudul Aku, tetapi isi dan bentuknya lain. Puisi Aku yang kedua ditulisnya pada tanggal 8 Juni 1943, yang bunyinya sebagai berikut:

AKU

Melangkahkan aku bukan tuak menggelegak
Cumbu-buatan satu biduan
Kujauhi ahli agama serta lembing katanya

Aku hidup
Dalam hidup di mata tampak bergerak
Dengan cacar melebar, darah bernanah

Dan kadang satu senyum kukucup-minum dalam dahaga.
(Kerikil Tajam dan yang Terempas dan yang Putus)

Beberapa puisi Chairil memang terasa meledak-ledak. Kata-katanya tajam menyayat. Nadanya keras memberontak.
Dalam dunia puisi Indonesia, kiranya belum ada puisi yang bersifat ekspresionistis seperti puisi Chairil yang berjudul 1943. Dalam puisi tersebut terlukis penderitaan jiwa yang sangat dalam, konon diilhami oleh penghayatan Chairil Anwar terhadap penderitaan bayi yang berumur 14 bulan dalam keadaan terlantar.

1943

Racun berada di reguk pertama
Membusuk rabu terasa di dada
Tenggelam darah dalam nanah
Malam kelam membelam
Jalan kaku-lurus. Putus
Candu
Tumbang
Tanganku menadah patah
Luluh
Terbenam
Hilang
Lumpuh
Lahir
Tegak
Berderak
Rubuh
Runtuh
Mengaum, Mengguruh
Menentang. Menyerang
Kuning
Merah
Hitam
Kering
Tandas
Rata
Rata
Rata
Dunia
Kau
Aku
Terpaku
(Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45)

Ekspresionisme adalah suatu aliran seni yang berusaha menangkap pikiran dan perasaan dari sumbernya semula, yang masih dalam bentuknya yang asli yang belum dipengaruhi oleh pikiran dan pertimbangan luar. Bongkah-bongkah pikiran dan perasaan yang ditangkap dari sumbernya itu, kemudian dilontarkan serta merta, dalam wujudnya yang asli, yang belum tersusun dalam urutan yang runtut.
Chairil sebagai pencetus ekspresionisme dalam sastra Indonesia berusaha mengutamakan keaslian pengucapan jiwa dalam puisi-puisinya. Ada beberapa puisi Chairil yang berupa terjemahan, saduran, bahkan plagiat. Akan tetapi, dari terjemahan dan sadurannya, tampak bahwa pribadi Chairil terasa berperan di dalamnya.
Puisi Chairil Anwar yang berjudul Siap Sedia, yang di tulis tahun 1944, walaupun sudah lolos dari sensor Jepang, kemudian digugat oleh Pemerintah Militer Jepang (Goenseireibu) karena dalam puisi tersebut terdapat baris yang berbunyi “Mengayun pedang ke dunia terang”. Kalimat tersebut oleh Pemerintah Militer Jepang dianggap ditujukan kepadanya karena lambang dan bendera Jepang berupa matahari. Karena itu, redaktur harian Asia Raya yang memuat puisi itu mendapat teguran keras. Majalah Kebudayaan Timur pernah juga memuat puisi tersebut, tetapi tanpa 3 bait penghabisan. Lengkapnya puisi tersebut sebagai berikut.

SIAP SEDIA
                                        Kepada Angkatanku

                Tanganmu nanti tegang kaku,
                Jantungmu nanti berdebar berhenti,
                Tubuhmu nanti mengeras batu,
                Tapi kami sederap mengganti,
                Terus memahat ini Tugu.
Matamu nanti kaca saja,
Mulutmu nanti habis bicara,
Darahmu nanti mengalir berhenti,
Tapi kami sederap mengganti
Terus berdaya ke Masyarakat Jaya
                Suramu nanti diam ditekan,
                Namamu nanti terbang hilang,
                Langkahmu nanti enggan ke depan,
                Tapi kamu sederap mengganti,
                Bersatu maju ke Kemenangan.
Darah kami panas selama,
Badan kami tertimpa baja,
Jiwa kami gagah perkasa,
Kami akan mewarna di angkasa,
Kami membawa ke Bahagia nyata.
                Kawan, kawan
                Menepis segar angin terasa
                Lalu menderu menyapu awan
                Terus menembus surya cahaya
                Memancar pancar ke penjuru segala
                Riang menggelombang sawah dan hutan
                Segala menyala-nyala!
                Segala menyala-nyala!
Kawan, kawan
Dan kita bangkit dengan kesadaran
Mencucuk menerang hingga belulang
Kawan, kawan
Kita mengayun pedang ke Dunia Terang!

Chairil sering datang ke kantor Pusat Kebudayaan untuk membacakan atau mendiskusikan puisi-puisinya dengan Angkatan Muda masa itu. Puisi-puisi Chairil oleh para sastrawan dipandang merupakan pemberontak, yang belum sepenuhnya orang dapat menghargainya ketika itu.
Bila dihitung, Chairil di masa Jepang tidak banyak hasilnya. Dari puisinya Nisan (Oktober 1942) sampai dengan Siap Sedia (tahun 1944) tercatat karyanya puisi asli ada 36, sedangkan puisi sadurannya ada 2, yaitu yang berjudul Rumahku dan Kepada Peminta-minta. Akan tetapi, menurut penyelidikan J.E. Tatengkeng di antara 36 yang asli itu ada dua yang berupa saduran, yaitu yang berjudul Taman dan Di Masjid.
Chairil Anwar terkenal terutama sebagai penyair. Karangannya yang berupa prosa (asli), yaitu (1) Pidato Chairil Anwar tahun 1943 dan (2) berjudul Berhadapan Mata, yang berbentuk surat yang ditujukan kepada H.B. Jassin.
6.       Idrus
Apabila Chairil Anwar membawa pembaharuan di bidang puisi, maka Idrus membawa corak baru di bidang prosa. Dalam sketsa Corat-Coret di Bawah Tanah dan beberapa karangannya kemudian, Idrus memperkenalkan corak atau gaya baru dalam penulisan prosa, yang oleh H.B. Jassin disebut gaya kesederhanaan baru (nieuwe zakelijkheid), atau gaya menyoal baru menurut Ajip Rosidi. Gaya kesederhanaan baru ini berupa penggunaan kalimat yang pendek-pendek, padat bernas, dan memiliki asosiasi yang luas.. tanda-tanda baca, kata-kata penghubung, dan kata-kata keterangan lain yang tidak penting ditinggalkan. Bahkan, huruf-huruf besar pun jika perlu dapat ditinggalkan.
Beberapa karangan Idrus di masa Jepang dan ditambah beberapa karangannya sesudah Proklamasi Kemerdekaan sudah diterbitkan dalam satu kumpulan yang bernama Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma. Dalam kumpulan itu termuat cerpen Ave Maria (karangan permulaan), drama Kejahatan Membalas Dendam, sketsa-sketsa Corat-Coret di Bawah Tanah, Kisah Sebuah Celana Pendek (cerpen), Surabaya (sketsa), dan karangan yang terakhir berjudul Jalan Lain ke Roma (novel). Sketsa-sketsa yang ada dalam Corat-Coret di Bawah Tanah berjudul Kota Harmoni, Jawa Baru, Pasar Malam Zaman Jepang, Sanyo, Fujinkai, Okh...Okh...Okh..., dan Heiho. Karangan Idrus yang lain yang sudah diterbitkan berjudul Aki yang berupa novel yang bersifat simbolik.
Apabila diperhatikan karangan Idrus dari Ave Maria sampai dengan Aki, tampak perkembangan kejiwaan Idrus. Mula-mula karangannya bersifat romantik idealistis (Ave Maria) kemudian berubah menjadi realisme yang sinis pada Corat-Coret di Bawah Tanah, dan dengan melalui Jalan Lain ke Roma akhirnya berkembang menjadi bercorak simbolik pada Aki.
7.       Bung Usman
Bung Usman termasuk penyair zaman Jepang yang puisi-puisinya banyak di muat dalam Antologi Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang. Puisi Bung Usman umumnya bersifat sinis, mengejek masyarakat sekeliling. Akan tetapi, kesan puitis pada puisi-puisinya hampir tak terasa. Nadanya mendatar dan kering dari irama dan persajakan. Mungkin karena itulah, kepenyairan Bung Usman tidak berkembang lagi sesudah kemerdekaan. Beberapa contoh puisi Bung Usman seperti di bawah ini.

HENDAK TINGGI

Mau tinggi,
di muka bumi???

Panjat kelapa
sampai ke puncak???

Alangkah tinggi
di muka bumi!!!

Puisi berikut ini mungkin ditujukan kepada Chairil Anwar yang lengkapnya sebagai berikut.

HENDAK JADI “ORANG BESAR”???

Hendak jadi “Orang Besar”???
Di mana-mana nama tersiar?

“Besarkan saja kepalamu”!
Katakan saja katamu,
tuliskan saja pikiranmu,

datang saja di mana kau mau,

Jangan pusing orang
Anggap dirimu: “Binatang Jalang
dari kumpulannya terbuang”
Berlakulah jangan kepalang!!!

Orang akan berkata: “Kepala Besar”!
Nah, kau sudah jadi “Orang Besar”!!!

8.       Penyair-Penyair Lain di Masa Jepang
Penyir-penyair lain di masa jepang yaitu M.S. Ashar, B.H. Lubis, Nursyamsu, Maria Amin, Anas, Makruf, dan lain-lain.
Nursyamsu terkenal sebagai penyair wanita yang puisi-puisinya mengharukan karena di dalamnya terpancarkan kejujuran dan ketulusan hati seorang perempuan. Maria Amin seorang penyair wanita, yang sebenarnya sudah menulis sejak Pujangga Baru. Di samping seorang penyair, ia banyak menulis sketsa-sketsa yang bersifat simbolik karena tak tahan hatinya melihat kepahitan hidup dalam masyarakat di masa Jepang. M.S. Ashar, penyair zaman jepang yang terkenal dengan puisinya yang berjudul Bunglon yang menyindir orang-orang yang mudah menukar pendirian semata-mata untuk keuntungan dan keselamatan.
9.       Pengarang-Pengarang Prosa yang Lain

Kecuali yang tersebut di atas, pengarang prosa yang lain adalah Bakri Siregar, kumpulan cerpennya diterbitkan berjudul Jejak Langkah. Karim Halim, novelnya yang terbit zaman Jepang berjudul Palawija. Nur Sutan Iskandar, novelnya yang terbit pada zaman Jepang berjudul Cinta Tanah Air.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar