Selasa, 28 April 2015

KUMPULAN PUISI JOKO PINURBO 1980-1992

Dulu pernah kaubelikan aku sebuah layang-layang
pada hari ulang tahun.
Aku pun bersorak sebagai kanak-kanak
tapi hanya sejenak.

Sebab layang-layang itu kemudian hilang,
entah ke mana ia terbang.
Seperti aku pun tak pernah tahu kapan kau hilang
dan kembali kutemu.
Lehermu masih hangat meskipun selalu dikikis waktu.

Sekarang umur pun tak pernah lagi dirayakan
selain dibasahkuyupkan di bawah hujan.
Tapi kutemukan juga layang-layang itu di sebuah dahan
meskipun tanpa benang dan tinggal robekan.
Aku ingin berteduh di bawah pohon yang rindang.
(1980)

Tardji minta bir buat pesta di malam buta.
“Sampai tuntas pahit-asamnya.
Sampai pecah ini botolnya.”

Dalam mabuk ia minta tuak dari jantungMu.
“Mana kapak? Biar kutetak leher panjangMu.”

Sampai huruf habislah sudah.
Sampai nganga luka dibelah.
“Ya Allah, sajak terindah kutemu dalam Kau darah.”
(1986)

Ia membabat padang rumput yang tumbuh subur
di kepalaku. Ia membabat rasa damai
yang merimbun sepanjang waktu.

“Di bekas hutan ini akan kubangun bandar, hotel,
dan restoran. Tentunya juga sekolah,
rumah bordil, dan tempat ibadah.

Ia menyayat-nyayat kepalaku.
Ia mengkapling-kapling tanah pusaka nenekmoyangku.

“Aku akan mencukur lentik lembut bulu matamu.
Dan kalau perlu akan kupangkas daun telingamu.”
Suara guntingnya selalu mengganggu tidurku.
(1989)

Bulu matamu: padang ilalang.
Di tengahnya: sebuah sendang.

Kata sebuah dongeng, dulu ada seorang musafir
datang bertapa untuk membuktikan apakah benar
wajah bulan bisa disentuh lewat dasar sendang.

Ia tak percaya, maka ia menyelam.
Tubuhnya tenggelam dan hilang di arus mahadalam.
Arwahnya menjelma menjadi pusaran air berwarna hitam.

Bulu matamu: padang ilalang.
(1989)

Badai menggemuruh di ruang tidurmu.
Hujan menderas, lalu kilat, petir
dan ledakan-ledakan waktu dari balik dadamu.

Sesudah itu semuanya reda.
Musim mengendap di kaca jendela.
Tinggal ranting dan dedaunan kering
berserakan di atas ranjang. Hening.

Waktu itu tengah malam. Kau menangis.
Tapi ranjang mendengarkan suaramu sebagai nyanyian.
(1989)

Ada becak melenggang sendirian di sebuah gang.
Pemiliknya, katanya, telah mati di tiang gantungan.

Ada becak hanyut di sungai.
Sungainya keruh, mengalir ke laut yang jauh.

Orang-orang berkumpul di atas jembatan,
mengira si pemiliknya telah mati tenggelam.
Tapi ada yang berbisik kepada saya:
“Akulah yang menghanyutkannya
dan ternyata kalian amat suka menontonnya.”

Ada juga yang berkata:
“Sesampainya di laut, becak itu akan menjelma
menjadi sebuah perahu yang harus bertarung
sendirian melawan badai, ombak dan malam.”
(1990)

Di rambutmu burung-burung membuat sarang.
Burung-burung yang terbang dari khasanah senja;
yang sudah berapa lama terkurung dalam himpian Hawa.
Burung-burung yang memintal benang-benang cahaya
dengan kepak lembut sayap-sayapnya yang luka.
Burung-burung yang menggurat padang langit hijau
dengan cakar-cakar perih dan kicau-kicaunya yang parau.

Dan engkau adalah pohon yang dahan-dahannya
menjulur lentur karena adalah kenangan.
Yang akar-akarnya menjuntai ke wilayah malam.
Yang ranting-rantingnya lembut karena adalah igauan.
Yang daunnya rimbun menghalau kobaran jaman.
Yang pucuk-pucuknya menjulang karena adalah jeritan.
(1990)

: anno 1968 - 1973

Pohon bungur di puncak bukit
dalam naungan senja.

Bunga-bunganya berceceran
dihirup angin selatan.

Pohon bungur di puncak bukit
dalam belaian usia.

Kuingat selalu bunga merahnya yang ranum
diguyur hujan menjelang malam turun.
(1990)

in memoriam: Sukabumi

Daun-daun karet berserakan.
Berserakan di hamparan waktu.

Suara monyet di dahan-dahan.
Suara kalong menghalau petang.

Di pucuk-pucuk ilalang belalang berloncatan.
Berloncatan di semak-semak rindu.

Dan sebuah jalan melingkar-lingkar.
Membelit kenangan terjal.

Sesaat sebelum surya berlalu
masih kudengar suara bedug bertalu-talu.
(1990)

Ia melewati jalan yang sudah bosan
menghitung langkahnya.
Rambutnya menyimpan kunang-kunang.
Matanya ingin menggapai bintang-bintang.
Tak ada yang benar-benar mengenalinya
selain angin yang masih menyebutnya perempuan.

Perempuan itu tak mau menangis.
Air matanya sudah hanyut di sungai.
Dan meskipun sungai berulangkali meriuhkan keperihan,
arus air tak mau kembali mengulang detak jam.

Malam sekarat di balik gaun transparan
dan sisa waktu dilumatkan di ujung lengan.
Letupkan penyanyi, letupkan nada terakhir
yang belum sempat dihunjamkan.
Siapa tahu dada montok itu masih merindukan jeritan.

Tersaruk-saruk ia menyeret bayangan tubuhnya.
Gerimis hitam mengguyur wajahnya yang beku
sehingga bedak dan lipstik luntur
melumuri gaunnya yang putih.
Rambut coklatnya meleleh pekat.
Tapi singa luka itu tak mau pedih.
Mungkin hatinya merintih.

Maka kunang-kunang menggeremang di rambutnya,
bintang-bintang berkerlapan di matanya.
Ia menyanyi dan menari dan pinggulnya yang hijau
mengibaskan bayangan hitam orang-orang mati.
Tersuruk ia di sebuah tikungan
dan para peronda mau membawanya ke gardu.
Tapi singa luka itu menggeram nyalang
dan para lelaki dihardiknya pergi.

Hai perempuan, rumah mana bakal kautuju?
Awas hati-hati, di ujung jalan banyak polisi.
Ah sialan, dasar pemberani, sudah luka
masih juga menggoda. Tampaknya ia percaya
sebuah rumah setia menanti.

Seperti tamu asing, ia berhenti di depan pintu besi.
Plat nomor telah rusak, tak lagi mencantumkan angka.
Ia ragu apakah benar itu rumahnya.
Tapi ia masih ingat beha usang yang tergantung
di atas pintu, tanda sebuah dunia
atau sepenggal kehidupan masih menunggu.

Pintu besi telah mengunci diri,
menutup hati bagi tamu yang ingin singgah.
Daripada kaku dibalut embun pagi,
dipanjatnya pagar halaman berduri.
Seekor anjing menyalak nyaring
menggonggongi bau keringatnya yang asin.

Kembali ia termangu.
Ia ragu membuka pintu.
Ia takut pada pintu.
Baru setelah diketuk tujuh kali,
pintu hitam membukakan diri.
“Bukankah ini rumahmu?
Apakah engkau takut atau lupa samasekali?”
“Ya, ini memang rumahku.
Saban kali aku meninggalkannya,
saban kali pula harus mengenalinya kembali.”

Ia tertegun. Dadanya mengkerut
disepak dentang lonceng jam tiga pagi.
“Ah pintu, engkau lebih mengenal rumahku
ketimbang aku sendiri yang saban waktu merindukannya
dan kemudian meninggalkannya.
Barangkali studio-studio suara
dan panggung-panggung hiburan
telah membuatku jadi pelupa, jadi serba alpa.”

Perlahan ia melangkah ke ambang pintu.
Angin jahat menyingkap ujung gaunnya yang tipis.
Kakinya yang lembab melekat di lantai dingin.
Terasa dunia jadi lain, terasa dunia jadi lain.
Di dinding hitam sebuah topeng terkekeh-kekeh,
menyeringai menertawakan tamu asing
yang bertandang ke rumahnya sendiri.

Apakah ada malaikat yang selalu membawa anak kunci?
Kamar sudah menganga sebelum ia buka pintunya.
Dan di atas meja rias yang porak poranda
sebuah boneka masih menari-nari.

Astaga, ranjang hitam menggoyang-goyangkan diri.
Kelambu telah habis dibakar mimpi.
Sebuah radio tertidur pulas di bantal biru,
tak henti-hentinya mengigau dan meracau.
Wah, tampaknya ia tengah bercumbu dengan orang mati
yang menciptakan gelombang siaran dinihari.

Ah perempuan, yang merindukan kebangkitan musim semi,
kini tubuhmu tegak di hadapan cermin retak.
Bibirmu hangus dan mengelupas. Berdarah.
Berdarah-darahlah leher hijau yang diterkam musim panas.
Kau mengaduh. Aduh. Kepada siapa kau mengaduh?
Kepada tatapan yang hancur luluh?
Kepada cermin yang tak lagi utuh?
Wah, jidatmu yang legam dilayari kupu-kupu hitam,
diarungi cicak-cicak hitam. Serba hitam.

Perempuan itu samasekali tidak gila.
Tidak lupa pada jagad kata yang dihuninya seorang diri
tanpa cinta. Tidak sangsi dan benci pada janji-janji baik
yang diucapkan para kekasih yang mengurungnya
dalam lingkaran ilusi. Ia tidak gila.
Hanya sepi berkepanjangan, barangkali.

Dan ia benar-benar perempuan. Terbukti ia tabah,
tidak mudah menyerah pada keinginan murahan
untuk mencekik leher, memotong urat nadi.
Memang ia mengambil pisau dari laci almari,
tapi bukan untuk bunuh diri.
Ia cuma ingin menyembelih bayangan-bayangan hitam
yang berbondong-bondong di dinding legam.

Sebuah kamar bisa menjadi salon kecantikan.
Di sana ia bersolek, mengganti model rambut, alis
dan bulu mata agar setiap orang tergoda untuk pura-pura
tak mengenalnya sehingga ia bisa mendapatkan cinta baru
di atas kecantikan lama.

Demikian pula para lelaki
akan mendapatkan kejantanan kembali
pada tatapan yang sesilau kerlip api
setelah sekian lama dunia mereka miliki sendiri.
Ah lelaki, wajahmu tersipu malu disambar rayuan baru.
Lalu ia menyanyi di depan kaca almari.
Lagu-lagu lama disenandungkan kembali.
Kadang lebih merdu dari yang dinyanyikan di masa lalu,
lebih baru dari lagu-lagu terbaru.
Perempuan, kau memang hanya berlomba dengan waktu.

Tak usah ditunda lebih lama.
Bibir pedas sudah siap menerima lumatan.
Dan jika dada kenyal itu menggembung mengempiskan
hasrat-hasrat terpendam, kamar sempit siap menampung
gemuruh topan dan lalu badai kehampaan.
Tapi tak ada saat untuk menangis menggigit-gigit tangan.

Penyanyi, jangan meraung memukul-mukul dinding.
Ranjang hitam sudah menggeliat minta dekapan.
Cermin retak sudah kembali berdandan.
Tanggalkan gaun usang, cobalah menggelinjang.
Dentang lonceng jam tiga pagi tergelak-gelak
menyaksikan tubuhmu, sakitmu, yang telanjang.
(1991)

Kadang ingin sangat aku pulang ke rumahmu.
Setidaknya kubayangkan suatu senja aku datang
ke ambang jendelamu, melongok wajah seseorang
yang sedang melukis matahari di telapak tangan.

Halte. Aku terdampar di sebuah halte.
Menunggu bus yang sebenarnya telah lama lewat.
Mengulur-ulur waktu agar tidak cepat sampai
ke arah jantung atau erangan bisu.

Lihatlah, setiap orang memasang halte
di tempat persinggahan.
Menunggu dan menanti tak henti-henti.
Mengangankan masih ada bus yang bakal datang
membawanya pulang atau mungkin pergi jauh sekali.

Demikianlah musafir: kita takut menjadi tua
namun juga tak pernah bisa kembali menjadi bayi,
menjadi kanak-kanak
kecuali bila kita ciptakan lagi kelahiran
di saat halte mau membimbing kita ke peristirahatan.

Rindu. Aku ini memang selalu rindu untuk pulang
tapi saban kali juga tak betah.
Petualang sekaligus pencinta rumah.
Di saat lelap sering kulihat bayangan tubuhmu
berjalan terbungkuk-bungkuk dengan gaun putih,
menyibak dan menutup kembali kelambu mimpi.

Halte. Aku ingat sebuah halte di ujung kota yang entah.
Perhentian tempat penantian dikekalkan
dan sekaligus diakhiri.
Alamat kepada siapa kaukirimkan aduhan bernama surat.
Rendezvous yang kepadanya kautujukan persediaan waktu.

Tak bosan-bosan. Jendela selalu membukakan dirinya
untuk dimasuki dan ditinggalkan.
Seakan seseorang selalu siap di atas ampunan,
menerima dan melepaskan salam.
Seperti juga telapak tanganmu: selalu terbuka
untuk dilayari dan disinggahi.

Mengapa kita takut pada ketakutan?
Mengira tak ada yang bisa diabadikan?
Tengah malam kita sering terbangun
lalu berdiri di depan cermin.
Merapikan rambut yang kusut.
Membelai wajah yang membangkai.
Memugar mata yang nanar.

Andaipun langit memperpendek batas,
tak berarti jangkauan begitu saja lepas.
Siapa tahu tatapan malah meluas,
memburu sinyal-sinyal baru
yang memberitakan atau menyembunyikan pesanmu.

Tergambar jelas di potret lama:
wajah yang dingin dihangati usia.
Burung-burung pipit mengurung senja,
matahari beringsut pada lingkaran biru.
Kemudian malam terlipat di pelupukmu
dan sebuah himne menggema di lintasan alismu.

Berapa lama kata-kata berbincang tentang artian?
Uban-uban tak mau bicara tentang ketuaan.
Almanak tak menyiratkan tanggal dan bulan.
Garis-garis tangan tak menuliskan suratan.
Dinding-dinding tak membatasi ruang.
Berapa lama ucapan tak mau bungkam?

Ah padang pasir.
Panasmu ingin menghanguskan perkemahan.
Kau pikir para pengungsi mau dilumat kelaparan?
Lihatlah, sungai itu tetap saja hijau.
Kematian dienyahkan ke bukit-bukit karang,
kanak-kanak bermain terompet di lubang persembunyian.

Katakan pada ibu, si buyung mau lebih lama merantau.
Rumah itu mungkin akan selalu menanyakan kepulangan,
pintu-pintu minta kiriman kisah petualangan.
Aduh sayang, jarak itu sebenarnya tak pernah ada.
Pertemuan dan perpisahan dilahirkan oleh perasaan.

Hari itu jam bergerak lambat.
Malam mengingsut seperti siput mengusut kabut.
Di jauhan anjing-anjing bertengkar berebut kucing.
Kalender menangis melengking-lengking.
Apakah waktu sudah sangat bosan menghuni jam dinding?
Aduh sayang, detik-detik berjatuhan ke lantai dingin,
diserbu semut-semut hitam untuk pesta persembahan.

Lalu kau merapat ke kaca almari:
mengganti baju, menyempurnakan kecantikan.
Matamu menyala serupa lilin.
Keningmu berkobar dibantai sinar.
Apakah kau sedang berkemas ke kuburan?
Alamak, beri aku sedikit waktu.
Nyawaku tertinggal di rumah sakit.

Baju usang yang kusayang tergantung riang di tali jemuran.
Sudah rapuh, sudah kumal, sudah pula penuh jahitan.
Seperti kujahit leher yang retak, leher yang koyak
dirobek-robek kemiskinan.

Salam bagimu peziarah muda.
Hatimu telah mencatat peristiwa-peristiwa kecil
yang dilupakan dunia.
Ke mana nyerimu melangkah, ke sana jantungmu mencari.
Lonceng gereja mengepung rindumu di malam buta,
membangunkan si sakit dari ranjang beku
di kamar-kamar mati. Salam bagimu pasien abadi.

Suatu hari aku ingin mengajak si mayat berburu singa
di hutan purba. Melacak jejak sejarah nenek moyang
yang melahirkan nama-nama. Merunut silsilah gelap
dari mana aku datang ke mana aku pulang.

Senja hampir layu. Burung-burung berarak pulang
menuju lingkaran biru. Gaun siapa tertinggal
di bangku taman, dibawa kupu-kupu ke pucuk cemara?
Musim bunga tergesa-gesa pergi diburu musim
yang kehilangan cuaca.

Jika benar air mancur itu tak ingin tidur,
barangkali bisa kutitipkan kebosanan padanya.
Angin dan angan menyurutkan malam,
menyibakkan tirai pagi sebelum surya ungu
berayun di ambang pintu:
mengabarkan saat kematian dunia waktu.

Halte. Aku terdampar kembali di sebuah halte.
Melupakan bus yang tak akan lewat atau sudah lama lewat.
Memilih saat terbaik untuk pulang ke rumah, ke dunia entah.
Untuk datang ke ambang jendelamu, melongok wajah
seseorang yang sedang melukis matahari di telapak tangan.
Seperti pada saat keberangkatan.
(1991)

Ranjang kami telah dipenuhi semak-semak berduri.
Mereka menyebutnya firdaus yang dicipta kembali
oleh keturunan orang-orang mati.
Tapi kami sendiri lebih suka menyebutnya dunia fantasi.

Jasad yang kami baringkan beribu tahun telah membatu.
Bantal, guling telah menjadi gundukan fosil yang dingin beku.
Dan selimut telah melumut. Telah melumut pula
mimpi-mimpi yang dulu kami bayangkan bakal abadi.

Para arwah telah menciptakan sendang dan pancuran
tempat peri-peri membersihkan diri dari prasangka manusia.
Semalaman mereka telanjang, meniup seruling,
hingga terbitlah purnama. Dan manusia terpana, tergoda.
(1991)

Di kulkas masih ada
gumpalan-gumpalan batukmu
mengendap pada kaleng-kaleng susu.

Di kulkas masih ada
engahan-engahan nafasmu
meresap dalam anggur-anggur beku.

Di kulkas masih ada
sisa-sisa sakitmu
membekas pada daging-daging layu.

Di kulkas masih ada
bisikan-bisikan rahasiamu
tersimpan dalam botol-botol waktu.
(1991)

Demonstrasi telah bubar. Kata-kata telah bubar.
Juga gerak, teriak, gegap, gejolak.
Tak ada lagi karnaval.
Bahkan pawai dan gelombang massa telah menggiring diri
ke dataran lengang, tempat ilusi-ilusi ringan
masih bisa bertahan dari serbuan beragam ancaman.

Siapa masih bicara? Bendera, spanduk, pamflet
telah melucuti diri sebelum dilucuti para pengunjuknya.
Tak ada lagi karnaval.
Di pelataran yang mosak-masik yang tinggal hanya
koran-koran bekas, berserakan, kedinginan
diinjak-injak sepi.

Tapi di atas mimbar, di pusat arena unjuk rasa
Nyumin masih setia bertahan, sendirian.
Lima peleton pasukan mengepungnya.
“Sebutkan nama partaimu.”
“Saya tak punya partai dan tak butuh partai.”
“Lalu apa yang masih ingin kaulakukan?
Mengamuk, mengancam, menggebrak, melawan?”
“Diam, itu yang saya inginkan.”
“Lakukan, lakukan dengan tertib dan sopan.
Kami akan pulang, mengemasi senjata,
mengemasi kata-kata. Pulang ke rumah
yang teduh tenang.”

Sayang Nyumin tak bisa diam. Nyumin terus bicara,
menghardik, menghentak, meronta, meninju-ninju udara.
Dan para demonstran bersorak: “Hidup Nyumin!”
Suasana serasa senyap, sesungguhnya.
(1992)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar