Kamis, 30 April 2015

PUISI-PUISI AD. DONGGO

AKU TAK SANGGUP
Sungguh, aku taksanggup menata kata jadi bait sajak inginku membajak lagi seperti dulu bapak mengajarku
Antara mata bajak dan kekuasaan mana yang selalu mengalirkan darah betapa kuharus merangkainya dalam bait-bait sajak sungguh aku taksanggup nuraniku nurani petani
Juga antara mata bajak dan keserakahan mana yang selalu menghalalkan segala cara?
yang merampas hak milik orang lain betapa aku merangkainya jadi bait sajak sungguh, aku taksanggup nuraniku nurani petani aku menanam, aku menuai ini ajaran dari para leluhur yang dilupakan oleh ketamakan masa kini
KAU PAKSA AKU MELUPA
Kau memaksa aku melupa dulu itu tidak ada mulut yang meneriakkan, ''Kemerdekaan dimulai dari lidah'' Atau teriakan, ''Indonesia Merdeka sekarang juga'' Lupakan sejarah, lupakan keberanian lupakan harga diri, karena semuanya telah dipatahkan oleh nurani yang menghamba
Aku pun tersentak mendengar keluhanmu Indonesia adalah belahan yang kian merapuh namun aku tetap berada di posisi yang aku pilih Indonesia adalah Nusantara kekal dalam satu, kau menyangkal?
sejarah akan melindas langkahmu
Namun kau terus memaksa aku mengaku Negara bukan pelindung rakyat oleh rezim yang tamak Rakyat dijadikan sapi perah dengan mengatasnamakan negara
Di persimpangan ini kukira kita harus berpisah jalan aku tetap di sini di posisi yang kupilih sedang kau tetap menantang Indonesia bukan Soekarno-Hatta, lupakan Indonesia adalah lumuran darah dan kebencian Itu yang tercatat dalam era ini ketika kita tidak lagi memiliki seorang pemimpin

MENGHITUNG JARAK
Rumput ini membaringkan tubuh kita yang lelah setelah menempuh perjalanan panjang tak berujung kita pun telah mencoba menghitung jarak antara kekuasaan dan ketidakpastian antara kemiskinan yang menistakan namun kita tetap lelap dalam nurani yang bebal
Menangislah karena tetesan darah taklagi dihargai sebagai darah 
Desa-desa telah ditinggalkan penghuni nyawa diadu dengan nyawa 
Inilah wajah dari sekian ratus juta wajah ketika di tahun 1999, rakyat tak lagi dihormati sebagai rakyat ketika rakyat dijadikan tameng kekuasaan
Kekuasaan apa yang dimiliki 
Indonesia sebuah medan perseteruan yang mengatasnamakan kedaulatan rakyat atau sebuah lintas sejarah yang putus yang memaksa kita mengaku tahun 1999 bukan tahun 1945

RINDU SUMBAWA
-Catatan untuk YB Mangunwijaya

Aku rindu 
Sumbawa pasti kutemukan jalan pulang kutahu para kawula negeri selalu salah ucap Sumbawa di mana apa sama dengan Sumba?
Kukatakan, Sumba ada di timur 
juga di sana ada Timor dan Flores sedang Sumbawa di antara pulau 
Di barat ada Lombok dan Bali 
Sumbawa dan Sumba memang beda nama 
Namun Indonesia adalah satu 
Tanah Tumpah Darah beribu pulau
Kutahu tahun berganti tahun semuanya akan berubah menurut kodratnya tapi bagaimana dengan Indonesia?
Kini mereka seperti didera putus asa 
Indonesia bukan satu 
Ada Jawa, ada Sumatera, ada Kalimantan ada Sulawesi, ada Maluku 
Mereka mengingat kembali makna federal 
yang menceraiberaikan Nusantara yang satu 
mengagungkan kelicikan van Mook dan Belanda kolonial
Aku memang rindu Sumbawa juga rindu Jawa, rindu Sumatera, rindu Kalimantan, rindu Maluku, rindu Bali, rindu Lombok, rindu Flores, rindu Timor, rindu Bali, rindu Madura, rindu Irian, rindu Sumba, rindu Tanah Tumpah Darah yang satu Tanah Air Indonesia

SEBUAH KENANGAN

Pertanyaan itu tak juga terjawab walau kaki kita telah menapaki taman ini 
Hanya ingatan mengkaji ulang masa lampau 
Di sini dulu ada Raden Saleh Banteng bertarung melawan singa 
Kita tahu antara perlawanan dengan perlawanan selalu menjadi satu dalam kenangan 
Harga diri yang takbisa dipatahkan 
Demikianlah sejarah meriwayatkannya
Kita pun sepakat selalu berada di sini menghitung hari berganti hari menyaksikan bunga enggan berbunga menyaksikan pohon mengharamkan buah 
Atau berbicara dan berbicara lagi tentang kekuasaan yang melahirkan kembali Machiavellisme
Pada mulanya kita mencatat di sini dulu keangkuhan menemukan persemaian yang subur mereka berteriak, ''Kami adalah kami yang bukan kami tidak ambil bagian'' *)
Namun sekian puluh tahun sudah berlalu kita pun menata kembali ingatan tak ada yang menantang kita untuk berbuat apakah di sini tercipta sebuah sajak yang berani mengatakan ya adalah ya yang berani mengatakan tidak adalah tidak atau sebuah lukisan yang melahirkan kembali Raden Saleh atau Affandi ataukah lonceng kematian sudah menemukan kata akhir antara jiwa yang kerdil dan kehinaan yang memalukan
*) yang bukan penyair tidak ambil bagian, kata Chairil Anwar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar