Rabu, 01 Februari 2012


POSTMODRENISME DAN BEBERAPA TOKOHNYA

KATA PENGANTAR


Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat untuk menyelesaikan makalah ini, tentunya penulis memiliki keterbatasan yang menyebabkan makalah ini tidak sesempurna yang diharapkan.
Makalah yang berjudul “POSTMODRENISME DAN BEBERAPA TOKOHNYA” ini akan membahas runtuhnya era modernism yang dilanjutkan dengan postmodernisme dan beberapa tokohnya.
Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk semakin bermutunya masalah dalam makalah ini.
Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan sumbangan pikiran dalam menyelesaikan makalah ini. Khususnya kepada Pak Izhar Lubis, S.Pd sebagai dosen pengampu mata kuliah Sosiologi Sastra yang telah memberikan tugas ini kepada penulis.



                                                                             Andam Dewi, Januari 2012
                                                                             Penyusun










DAFTAR ISI


Kata Pengantar........................................................................................................ i
Daftar Isi................................................................................................................... ii

BAB I     PENDAHULUAN................................................................................... 1
1.1  Latar Belakang....................................................................... ......... 1
1.2  Rumusan Masalah............................................................................ 3
1.3  Batasan Masalah..................................................................... ......... 3
1.4  Tujuan Penulisan.................................................................... ......... 3

BAB II    KAJIAN TEORITIK..................................................................... ......... 4
2.1   Runtuhnya Era Modernisme.......................................................... 4
2.2   Postmodernisme dan Beberapa Tokohnya.................................... 12

BAB III  KESIMPULAN DAN SARAN..................................................... ......... 18
3.1  Kesimpulan.............................................................................. ......... 18
3.2  Saran-Saran............................................................................ ......... 18

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... ......... 19






BAB I
PENDAHULUAN


1.1       Latar Belakang Masalah
Hancurnya bangunan Pruitt Igoe yang merepresentasikan konsep arsitektur modern dengan karakter ruang isotropis, homogen, monoton, anti-ornamen, anti-metafor, anti-humor, mono-simbolik, dan berestetika mesin sekaligus menandai kematian era arsitektur modern dan segera lahirnya sebuah era baru: era arsitektur postmodern. Arsitektur postmodern, yang disuarakan oleh Charles Jenks, Heinrich Klotz dan Robert Venturi, hanyalah salah satu interpretasi wacana estetis-filosofis yang saat itu sedang membentuk dirinya: postmodernisme.
Postmodernisme adalah wacana kesadaran yang mencoba mempertanyakan kembali batas-batas, implikasi dan realisasi asumsi-asumsi modernisme; kegairahan untuk memperluas cakrawala estetika, tanda dan kode seni modern; wacana kebudayaan yang ditandai dengan kejayaan kapitalisme, penyebaran informasi dan teknologi secara massif, meledaknya konsumerisme, lahirnya realitas semu, dunia hiperrealitas dan simulasi, serta tumbangnya nilai-guna dan nilai-tukar oleh nilai-tanda dan nilai-simbol.
Serangkaian kesadaran dan keyakinan baru ini mencakup berbagai bidang kehidupan. Dalam dunia seni misalnya, terdapat nama Marcel Duchamp dengan readymade art dan Andy Warhol dengan seni pop kaleng sup. Dalam dunia arsitektur terdapat nama Charles Jenks dengan karya teoritisnya The Language of Postmodern Architecture (1984) dan Robert Venturi dengan Complexity and Contradiction in Architecture (1962) yang memproklamirkan semboyan less is bore (mengejek semboyan less is more dalam arsitektur modern yang dikumandangkan oleh Mies van der Rohe, salah seorang penggagas awal arsitektur modern) (Andy Siswanto, 1994: 36).
Dalam dunia drama terdapat nama Bertold Brecht dengan konsep pengasingan dan Antonin Artaud dengan teater absurd. Dalam dunia musik terdapat nama Nicholas Cage dengan musik alam dan Stockhausen dengan oriental music. Dalam dunia sinema terdapat nama David Lynch dengan Blue Velvet dan Quentin Tarantino dengan serangkaian film generasi baru (Denzin, 1988: 461). Dalam dunia sastra muncul nama Burroughs dengan cerita cut up dan Gabriel Marquez dengan novel realisme magis One Hundred Year of Solitude (1976).
Dalam disiplin antropologi terdapat nama S.A Tyler, M.J Fischer dan kelompok Rice Circle dengan experimental ethnography. Dalam disiplin sosiologi terdapat nama Norman Denzin dengan kajian film dan Pierre Bordieu dengan theatrum politicum. Dan dalam wilayah filsafat terdapat nama Jean Francois Lyotard dengan konsep paralogi, disensus dan delegitimasi, Jacques Derrida dengan dekonstruksi, Michel Foucault dengan kajian tentang arkeologi pengetahuan, genealogi sejarah seksualitas dan teknologi kekuasaan, serta Jean Baudrillard dengan kajian budaya tentang dunia simulasi, hiperrealitas, simulacra dan dominasi nilai-tanda dan nilai-simbol dalam realitas kebudayaan dewasa ini (Featherstone, 1988: 196).
Kesemarakan dan kegairahan kepada tema postmodernisme ini bukanlah tanpa alasan. Sebagai sebuah pemikiran, postmodernisme pada awalnya lahir sebagai reaksi kritis dan reflektif terhadap paradigma modernisme yang dipandang gagal menuntaskan proyek Pencerahan dan menyebabkan munculnya berbagai patologi modernitas. Pauline M. Rosenau, dalam kajiannya mengenai postmodernisme dan ilmu-ilmu sosial, mencatat setidaknya lima alasan penting gugatan postmodernisme terhadap modernisme (Rosenau, 1992: 10).
Pertama, modernisme dipandang gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan ke arah masa depan kehidupan yang lebih baik sebagaimana diharapkan oleh para pendukungnya. Kedua, ilmu pengetahuan modern tidak mampu melepaskan diri dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan otoritas keilmuan demi kepentingan kekuasaan. Ketiga, terdapat banyak kontradiksi antara teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern.
Keempat, ada semacam keyakinan bahwa ilmu pengetahuan modern mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi manusia. Namun ternyata keyakinan ini keliru dengan munculnya berbagai patologi sosial. Kelima, ilmu-ilmu modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan metafisis manusia karena terlalu menekankan atribut fisik individu.
Dengan latar belakang demikian, modernisme mulai kehilangan landasan praksisnya untuk memenuhi janji-janji emansipatoris yang dahulu lantang disuarakannya. Modernisme yang dulu diagung-agungkan sebagai pembebas manusia dari belenggu mitos dan berhala kebudayaan abad pertengahan yang menindas, kini terbukti justru membelenggu manusia dengan mitos-mitos dan berhala-berhala baru yang bahkan lebih menindas dan memperbudak.
Pada titik inilah pemikiran tentang kebudayaan postmodern memiliki arti penting. Perubahan watak dan karakter modernisme dalam tampilannya yang paling kontemporer, telah mendorong lahirnya tanggapan kritis terhadap kebudayaan dewasa ini. Pemikiran kebudayaan postmodern Jean Baudrillard, sebagai salah satu kajian penting paradigma postmodernisme, adalah salah satu kunci untuk memahami pengertian dan watak postmodernisme.

1.2       Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapatlah penulis merumuskan masalah di bawah ini, di antaranya:
a.       Bagaimanakah proses runtuhnya era modernisme yang dilanjutkan oleh era postmodernisme?
b.      Bagaimanakah tentang postmodernisme dan beberapa tokohnya?

1.3       Batasan Masalah
Selanjutnya, berdasarkan rumusan masalah di atas, dapatlah penulis membuat batasan masalah, yaitu:
a.       Menjelaskan runtuhnya era modernisme.
b.      Menjelaskan postmodernisme dan beberapa tokohnya.

1.4       Tujuan Penulisan Masalah
Adapun tujun penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a.       Untuk mengetahui proses runtuhnya era modernisme.
b.      Untuk mengetahui aliran postmodernisme dan beberapa tokohnya.
***
BAB II
KAJIAN TEORITIK


2.1    Runtuhnya Era Modernisme
Ricardo Contreras, seorang penulis Meksiko, pada tahun 1888 mencatat mulai munculnya referensi pertama istilah modernisme dalam sejarah kebudayaan masyarakat Barat (Smart. 1990: 18). Menurut Contreras, istilah modernisme atau modernismo dalam bahasa Spanyol saat itu merupakan sebutan bagi gerakan-gerakan kebudayaan lokal di Amerika Latin yang memperjuangkan emansipasi dan otonomi budaya baru untuk melepaskan diri dari cengkeraman hegemoni kebudayaan Spanyol.
Istilah modernisme saat itu tentu belum merupakan epoch sejarah baru yang bermaksud memutuskan diri dari realitas sejarah sebelumnya. Ia baru muncul sebagai istilah kebudayaan yang menghendaki sesuatu yang baru, yang berbeda, seperti halnya arti kata modern yang diadopsi dari bahasa Latin tersebut. Namun semenjak saat itu istilah modern dan modernisme beserta kata-kata turunannya: modernitas dan modernisasi telah mulai kerap digunakan sebagai kata kunci untuk menjelaskan telah lahirnya cahaya baru kebudayaan dan realitas social masyarakat Barat.
Secara historis, semangat dan jiwa modernisme sendiri sebenarnya bisa ditelusuri semenjak era Renaisans abad ke-16 M dan Pencerahan abad ke-18 M. Bahkan Arnold Toynbee, seorang filsuf sejarawan, melalui bukunya A Study of History (1947), menyatakan bahwa awal Era Modern dalam Sejarah Kebudayaan Masyarakat Barat terjadi pada paruh kedua abad ke-15 M di daratan Eropa, dimana saat itu muncul fenomena pharisaisme budaya dan teknologi penguasaan samudera secara ekstensif (Smart, 1990: 16).
Kedua fenomena sejarah tersebut, menurut Toynbee, merupakan titik awal kedewasaan dan kematangan manusia untuk mulai berani menguasai alam dan melepaskan diri dari dogma-dogma institusi agama. Dengan keberanian inilah manusia menyatakan telah memasuki era baru, era pasca Abad Pertengahan, yakni era modern. Di sisi lain, Marshall Berman, dalam kajiannya tentang modernisme, menyatakan bahwa era modern telah dimulai sejak era Renaisans abad ke-16 M dan berkembang dalam tiga fase sejarah modernisme.
Fase pertama, adalah modernisme yang berkembang semenjak awal abad ke-16 M hingga akhir abad ke-18 M, dimana orang baru mulai merasakan pengalaman kehidupan modern. Modernisme pada tahap ini ditandai oleh mulai diyakininya rasio, keberanian menghadapi kehidupan secara nyata, memudarnya religiusitas dalam berbagai segi kehidupan, serta lahirnya pemberontakan kreatif dalam dunia seni. Fase kedua, adalah modernisme yang ditandai dengan Revolusi Perancis dan kekacauan sosial, politik dan ekonomi yang seringkali dihubungkan dengan momentum
Gelombang Revolusi Besar 1790. Inilah wajah modernisme yang mulai diwarnai oleh benih-benih konflik, perbedaan dan anomali. Lenturnya ikatan sosial, runtuhnya keyakinan tradisional dan agama, serta pesatnya perkembangan sosial, telah mendorong munculnya berbagai masalah yang sebelumnya tidak diperhitungkan.
Fase ketiga, adalah modernisme yang dimulai ketika terjadi proses modernisasi global dan pembentukan kebudayaan dunia modern secara massal dimana semakin banyak terjadi kekacauan sosial dan politik, ketidakpastian dan ancaman terhadap realitas dunia yang baru terbentuk Inilah puncak anomali realitas modern, yang ternyata tidak mampu mewujudkan impian menciptakan kehidupan yang lebih baik. Dan justru sebaliknya, menciptakan berbagai masalah besar yang menyengsarakan umat manusia (Smart, 1990: 16).
Istilah modern sendiri, yang berarti zaman baru, berasal dari bahasa Latin modernus, yang telah digunakan pada abad ke-5 M untuk menunjuk batas antara era kekuasaan agama Kristen dan era Paganisme Romawi (Smart, 1990: 15). Istilah ini kemudian berkembang menjadi beberapa istilah turunan yang kesemuanya menunjuk pada suatu kurun sejarah setelah era Abad Pertengahan. Beberapa istilah tersebut adalah modernitas, modernisasi dan modernisme.
Dalam penggunaannya, seringkali terjadi tumpang tindih dan simplifikasi pengertian diantara berbagai istilah ini. Meskipun demikian, diterima suatu kenyataan bahwa yang diacu oleh istilah-istilah ini adalah suatu era kebudayaan baru yang ditegakkan oleh rasio, subjek dan wacana antropomorfisme. Istilah modernitas diartikan sebagai kondisi sosial budaya masyarakat modern. Ia juga menyiratkan adanya perubahan paradigma yang diperoleh dengan jalan pintas, dari bentuk lama ke bentuk baru.
Istilah ini sekaligus menggambarkan hubungan antara masa kini dan masa silam yang tampil dalam bentuknya yang baru dengan jasa Renaisans abad ke-16 M dan Pencerahan abad ke-18 M sebagai kurun sejarah yang berbeda dan superior dalam alur sejarah kebudayaan masyarakat Barat. Modernitas inilah merujuk Calinescu yang merupakan era yang lebih dewasa, lebih utuh dan mendasar dalam aspek-aspek rasio, religi dan estetika dibanding era sebelumnya (Smart, 1990: 16). Modernitas sekaligus juga menjadi titik awal baru lantaran ia menawarkan hal-hal baru seperti: pengetahuan, moral, ilmu, kebudayaan, politik serta seni.
Modernisasi berarti proses berlangsungnya proyek mencapai kondisi modernitas yang digerakkan oleh semangat rasionalitas instrumental modern. Modernisasi mencakup proses pengucilan karya-karya klasik, warisan masa lampau dan sejarah purbakala, karena modernitas pada hakekatnya mengambil posisi yang berlawanan dengan hal-hal lama demi terciptanya hal-hal baru.
Dengan demikian, modernisasi adalah pandangan dan sikap hidup yang dianut untuk menghadapi masa kini, yakni pandangan dan sikap hidup dalam menghadapi kenyataan hidup masa kini. Modernisasi ditandai oleh pemutusan hubungan secara tegas terhadap nilai-nilai tradisional; berkembangnya sistem ekonomi kapitalisme progresif; rasionalisasi administratif; serta diferensiasi sosial dan budaya (Featherstone, 1988: 197). Kembali merujuk Berman, realitas modern yang dicapai melalui proses modernisasi ini memiliki beberapa komponen utama, yakni industrialisasi, urbanisasi, konsep negara-bangsa (nation-state), struktur birokrasi, pertumbuhan penduduk yang tinggi, sistem komunikasi dan kekuasaan baru, serta pasar kapitalisme dunia (Turner, 1990: 137).
Sementara itu modernisme umumnya dilihat sebagai paradigma kebudayaan, khususnya seni. Ia mengacu pada gaya dan gerakan seni yang mula-mula muncul sebagai konsekuensi perlawanan terhadap seni Abad Pertengahan. Tokoh-tokoh seni yang dianggap mewakili gerakan modernisme misalnya adalah Kafka, Mann, dan Gide dalam dunia sastra; Stravinsky, Schoenberg dan Berg dalam musik; Strindberg, Pirandelo dan Wedehind dalam drama; serta Picasso, Matisse dan Cezanne dalam seni lukis (Featherstone, 1988: 202). Dalam konteks ini, modernisme dianggap bermula pada akhir abad ke-19 M (Lash, 1990: 123).
Modernisme merupakan keyakinan yang cenderung mensubordinasikan yang tradisional di bawah yang baru. Dalam wilayah seni, ia merupakan tindak diferensiasi terhadap dunia nyata yang bersifat non-referensial dan anti-realis (Lash, 1990: 124). Akibat praksis tindakan ini bisa terbagi dua: konservatif dan radikal. Modernisme menjadi konservatif manakala proses subordinasi yang lama di bawah yang baru justru menyelamatkan yang lama dari kehancuran. Sebaliknya, modernisme menjadi radikal manakala proses subordinasi tadi mengambil bentuk pengingkaran bahkan penghapusan yang tradisional. Modernisme konservatif seringkali terdapat dalam lapangan agama. Sementara modernisme radikal banyak terdapat pada wilayah kebudayaan, terutama seni.
Rasionalitas modernisme yang berkembang semenjak era Renaisans abad ke-16 M ini memiliki dua karakter mendasar. Pertama, sebagai rasionalitas tujuan (Zweckrationalitat). Kedua, sebagai rasionalitas nilai (Wertrationalitat). Merujuk Max Weber, sosiolog Jerman yang mengkaji modernisme secara mendalam, karakter pertama rasionalitas modernisme mengacu pada pengertian perhitungan yang masuk akal untuk mencapai sasaran berdasarkan pilihan-pilihan yang masuk akal dan dengan sarana-sarana yang efisien serta mengacu pada perumusan nilai-nilai tertinggi yang mengarahkan tindakan dan orientasi-orientasi yang terencana secara konsisten dari pencapaian nilai-nilai tersebut. Rasionalitas ini berwatak formal, karena hanya mementingkan cara-cara mencapai tujuan dan tidak mengindahkan nilai-nilai yang dihayati sebagai intisari kesadaran.
Karakter kedua rasionalitas modernisme mengacu pada kesadaran akan nilai-nilai etis, estetis dan religius. Rasionalitas ini berwatak substantif, karena lebih mementingkan komitmen rasional terhadap nilai-nilai yang dihayati secara pribadi. Namun, diantara kedua bentuk rasionalitas ini yang sangat dominan dalam realitas dunia modern adalah rasionalitas tujuan.
Dalam kajian pentingnya tentang modernisme tersebut, selanjutnya Weber menyatakan bahwa pada dasarnya modernitas adalah gagasan yang menyangkut persoalan pemisahan bidang-bidang nilai dan tatanan kehidupan. Ia berpendapat bahwa wilayah-wilayah nilai ekonomi, etika, hukum dan estetika, yang sebelumnya terstruktur dengan satu prinsip kesatuan dalam wilayah religius Abad Pertengahan, kemudian mulai dipisahkan oleh rasionalisme Pencerahan.
Landasan utama argumen Weber ini adalah adanya fenomena otonomisasi wilayah-wilayah nilai terutama wilayah nilai estetis. Dengan merosotnya agama, lapangan estetika seolah menjadi satu-satunya tempat pelarian dalam dunia yang sarat beban mencapai rasionalitas tujuan (Lash, 1990: 157). Karakter lain modernitas adalah, ia bukan hanya memutuskan hubungan dengan seluruh warisan historis masa lampau, namun juga mendesakkan proses fragmentasi internal yang tak pernah berhenti dalam dirinya sendiri (Harvey, 1990: 12).
Modernitas, menurut Weber merupakan konsekuensi proses modernisasi, dimana realitas sosial berada di bawah bayang-bayang dan dominasi asketisme, sekularisasi, klaim universalistik tentang rasionalitas instrumental, diferensiasi bidang-bidang kehidupan, birokratisasi ekonomi, praktek-praktek politik dan militer, serta tumbuhnya moneterisasi nilai-nilai. Modernitas lahir bersamaan dengan menyebarnya imperialisme Barat abad ke-16 M; dominasi kapitalisme Eropa Utara, khususnya di Inggris dan Belanda; pengakuan dan penerapan metode ilmiah Francis Bacon dan Isac Newton; institusionalisasi keyakinan dan praktek-praktek Calvinisme di Eropa Utara; pemisahan konsep keluarga dari kelompok kekerabatan yang umum; serta pembentukan konsep negara-bangsa (nation-state) abad ke-19 M (Turner, 1990: 6-10).
Modernitas juga menunjuk pada perubahan sosial budaya secara massif, pemutusan hubungan secara radikal terhadap tradisi dan kemapanan sosial peradaban yang mandeg. Dengan kata lain, modernitas adalah sejarah penaklukan nilai-nilai lama Abad Pertengahan oleh nilai-nilai baru Modernisme (Turner, 1990: 4).
Secara epistemologis, modernitas meliputi empat unsur pokok.
Pertama, subjektivitas yang reflektif, yakni pengakuan akan kekuatan-kekuatan rasional dalam memecahkan masalah-masalah kehidupan. Kedua, subjektivitas yang berkaitan dengan kritik atau refleksi, yakni kemampuan untuk menyingkirkan kendala-kendala kebebasan dari tradisi dan sejarah.
Ketiga, kesadaran historis yang dimunculkan oleh subjek, bahwa waktu berlangsung secara linear, unik, tak terulangi dengan titik berat pada kekinian sebagai sumber sejarah. Oleh sebab itu, modernisme memiliki kata-kata kunci: revolusi, evolusi, transformasi serta progresi. Dengan kata lain, modernitas mendukung rasio (di atas wahyu), kemajuan (di atas kemapanan) dan kebaruan (di atas kelampauan).
Keempat, universalisme yang mendasari ketiga unsur sebelumnya. Dengan universalisme dimaksudkan bahwa elemen-elemen modernitas bersifat normatif untuk masyarakat yang akan melangsungkan modernisasi. Secara historis, sifat normatif ini diaktualisasikan dalam gerakan Renaisans abad ke-16 M dan Pencerahan abad ke-18 M.
Dengan modernisasi, kebenaran wahyu diuji di hadapan rasio, legitimasi kekuasaan digugat melalui kritik dan kesahihan tradisi dipertanyakan berdasarkan harapan akan masa depan yang lebih baik. Dengan kata lain, semenjak suatu masyarakat menyatakan diri melaksanakan proses modernisasi, maka masyarakat tersebut harus siap meninggalkan sikap-sikap naif, dogmatis dan anti-perubahan, untuk kemudian meleburkan diri dalam suatu proyek sejarah umat manusia mencapai tujuan tertentu di masa depan.
Sementara itu dalam diskursus filsafat, modernisme mulai dibicarakan dan menemukan kematangannya melalui filsuf-filsuf Descartes, Immanuel Kant dan Hegel. Melalui pemikiran tokoh-tokoh inilah modernisme mulai memperkokoh diri dengan kebenaran-kebenaran ontologis, etis dan epistemologis.
Perkembangan modernisme dalam berbagai wilayah kehidupan lainnya tidak dapat dipungkiri merupakan implementasi pemikiran filosofis ketiga tokoh ini. Rene Descarteslah yang menyadarkan manusia akan kedudukan rasio sebagai determinan pengetahuan dan pembacaan realitas dengan diktumnya Cogito ergo sum: aku berpikir maka aku ada. Melalui Kant, hasrat emansipasi ini selanjutnya dibawa kepada kritisism yang menyarankan kategori-kategori sebagai batas-batas realitas yang terberi. Dengan kategori-kategori ini setiap ide, gagasan, pengalaman bahkan khayalan direkonstruksi dalam sebuah ruang pembacaan baku.
Dengannya setiap realitas tidak dapat lolos dari mekanisme pembacaan ini. Kualitas, kuantitas, ruang, waktu, modalitas, substansi, kausalitas dan lain-lain, seolah-olah telah ditentukan batas dan nilainya. Selanjutnya melalui Hegel, realitas modernisme disempurnakan dengan ide gerak sejarah dialektis yang berpuncak pada rasio. Idealisme absolut, yang merangkul tese dan antitese ke dalam konsepsi Aufgehoben suatu filsafat identitas menjadi sebuah narasi utama modernisme.
Gerakan Renaisans, yang mendapat ilham dari semangat Humanisme Italia pada abad ke-16 M, selanjutnya semakin memperkokoh keyakinan akan segera lahirnya era baru menggantikan era Abad Pertengahan yang dipandang telah jenuh, dogmatis dan beku. Sementara Pencerahan (Aufklarung) abad ke-18 M menjadi landasan tegaknya era baru, yakni era modern. Modernisme yang rasional, ketat, serius, sistematis dan tertib inilah wacana dominan yang mengisi diskursus sejarah filsafat Barat abad ke-18 M hingga sekarang. Semangat emansipasi, optimisme dan heroisme menghadapi situasi zaman seolah merupakan satu-satunya tanggapan terhadap proyek sejarah modernisme.
Padahal, sebagaimana diungkap Michel Foucault, pada waktu itu terdapat pula tanggapan menyimpang terutama dari kalangan seniman yang bernada ironi terhadap modernisme. Ironi adalah semacam keberanian, yang disertai kegetiran, untuk terlibat secara aktif dalam dunia kini dan disini (lokal-historis) tanpa harus menggantungkan diri pada kebenaran-kebenaran di luar diri manusia. Ironi juga berarti menjalani hidup tanpa dibebani oleh prinsip-prinsip baku dan tidak berpretensi untuk menjadi juru selamat.
Membaca modernisme dengan sikap ironi ini berarti menolak anggapan bahwa modernitas membawa nilai-nilai universal (Ahmad Sahal, 1994: 16). Terdapat pelbagai nilai, keyakinan, realitas dan praktek-praktek sosial yang ternyata menyimpang dari rasionalitas era modern. Penyair Perancis Charles Baudelaire misalnya, adalah salah seorang pembaca modernisme dengan cara demikian.
Cara membaca seperti diwakili Baudelaire inilah yang kini mulai menyingkap paradoks modernitas. Suara-suara minoritas modernisme : subkultur, hippies, punk, skin head, masyarakat terasing, dunia ketiga, kaum gay, gerakan lingkungan hidup, kaum feminis, budaya tanding mulai menggugat kesombongan modernisme yang dianggap gagal merampungkan proyek heroisme Pencerahan untuk membangun sebuah masa depan yang lebih baik.
Setidaknya terdapat enam alasan ekses negatif proyek modernisme yang kini sedang digugat dan dipertanyakan.
Pertama, lantaran pandangan dualistiknya yang membagi seluruh kenyataan menjadi subjek-objek, spiritual-material, manusia-dunia, dan lain-lain, telah mengakibatkan objektivasi alam secara berlebihan dan eksploitasi alam secara semena-mena.
Kedua, pandangan modern yang cenderung objektivistik dan instrumentalis-positivistik akhirnya jatuh pada pembendaan (reifikasi) manusia dan masyarakat. Sebagai akibatnya modernisme yang dahulu emansipatif kini justru bersifat dehuman. Ketiga, dominasi ilmu-ilmu empiris-positivistik terhadap nilai moral dan religi menyebabkan meningkatnya tindak kekerasan fisik maupun kesadaran keterasingan dan pelbagai bentuk depresi mental.
Keempat, merebaknya pandangan materialisme, yakni prinsip hidup yang memandang materi dan segala strategi pemuasannya sebagai satu-satunya tujuan.
Kelima, berkembangnya militerisme karena moral dan agama tidak lagi memiliki kekuatan disiplin dan regulasi. Keenam, bangkitnya kembali tribalisme, semangat rasisme dan diskriminasi, yang merupakan konsekuensi logis hukum survival of the fittest Charles Darwin (I. Bambang Sugiharto, 1996: 29-30).
Dampak negatif modernisme ini sekaligus menjadi senjata para seniman dan kelompok marjinal lainnya untuk menyerang dan mendesak dipikirkannya kembali Proyek Modernisme. Pauline M. Rosenau, dalam kajiannya mengenai postmodernisme dan ilmu-ilmu sosial, mencatat setidaknya lima alasan penting terjadinya krisis modernisme (Rosenau, 1992: 10).
Pertama, modernisme dipandang gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan ke arah masa depan kehidupan yang lebih baik sebagaimana diharapkan oleh para pendukungnya.
Kedua, ilmu pengetahuan modern tidak mampu melepaskan diri dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan otoritas keilmuan demi kepentingan kekuasaan.
Ketiga, terdapat banyak kontradiksi antara teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern.
Keempat, ada semacam keyakinan bahwa ilmu pengetahuan modern mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi manusia. Namun ternyata keyakinan ini keliru dengan munculnya berbagai patologi sosial.
Kelima, ilmu-ilmu modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan metafisis manusia karena terlalu menekankan atribut fisik individu.
Sementara itu dalam dunia seni, konsep seni modernisme pun perlahan-lahan mulai menemui kondisi krisis. Merujuk Featherstone, seni modernisme memiliki beberapa ciri utama yakni: kesadaran dan refleksi estetis yang cukup tinggi, penolakan terhadap struktur narasi realitas dan penerimaan terhadap konsep simultanisme dan montase, eksplorasi terhadap hakekat realitas yang paradoks, ambigu, dan terbuka, serta penolakan terhadap gagasan kepribadian yang utuh sembari merayakan gagasan subjek yang dehuman dan terbelah (Featherstone, 1988: 202). Pandangan modernis demikian mulai digugat karena tendensi universalisme dan kebenaran estetis yang seolah-olah merupakan sebuah keniscayaan. Para seniman dan kritikus seni mulai malas berbicara tentang seni modern yang beku, kelelahan dan kering.
Gagasan seni populer, seni massa, seni fashion yang merangkum pastiche, parodi, kitsch dan camp, serta perpetual art, seni perpetual, sebaliknya, mulai banyak dibicarakan. Kondisi yang sama terjadi dalam wilayah kehidupan dan disiplin ilmu yang lain: sastra, arsitektur, sosiologi, antropologi, sejarah, politik dan ekonomi.
Panorama modernisme yang terjebak heroisme inilah yang menurut Daniel Bell, salah seorang pembicara awal postmodernisme, yang merupakan benih krisis modernitas. Ditambah oleh perkembangan kapitalisme lanjut yang luar biasa dahsyat, sebagaimana diungkap Fredric Jameson dalam bukunya Postmodernism or The Cultural Logic of Late Capitalism (1984), maka menjadi wajarlah gugatan, kejenuhan dan kekecewaan terhadap semangat modernisme.

2.2    Postmodernisme dan Beberapa Tokohnya
Semenjak awal paruh kedua abad ke-20 M, tepatnya pada kisaran tahun 1960-an, postmodernisme telah muncul sebagai diskursus kebudayaan yang banyak menarik perhatian. Berbagai bidang kehidupan dan disiplin ilmu seperti: seni, arsitektur, sastra, sosiologi, sejarah, antropologi, politik dan filsafat hampir secara bersamaan memberikan tanggapan terhadap tema postmodernisme. Meskipun tidak mudah atau malah hampir tidak ada cara baku untuk mendefinisikan postmodernisme, namun tema ini bukanlah lahir tanpa sejarah.
Postmodernisme hadir setelah melalui perjalanan sejarah yang membentuknya hingga sampai pada keadaannya saat ini. Inilah postmodernisme yang menggugat watak modernisme lanjut yang monoton, positivistik, rasionalistik dan teknosentris; modernisme yang yakin secara fanatik pada kemajuan sejarah yang linear, kebenaran ilmiah yang mutlak, kecanggihan rekayasa masyarakat yang diidealkan, serta pembakuan secara ketat tata pengetahuan dan sistem produksi; modernisme yang kehilangan semangat emansipasi dan terperangkap dalam sistem yang tertutup; dan modernisme yang tak lagi peka pada perbedaan dan keunikan (Ariel Heryanto, 1994: 80).
Sebaliknya, postmodernisme menawarkan ciri-ciri yang bertolak belakang dengan watak era pendahulunya, yakni: menekankan emosi ketimbang rasio, media ketimbang isi, tanda ketimbang makna, kemajemukan ketimbang penunggalan, kemungkinan ketimbang kepastian, permainan ketimbang keseriusan, keterbukaan ketimbang pemusatan, yang lokal ketimbang yang universal, fiksi ketimbang fakta, estetika ketimbang etika dan narasi ketimbang teori (Ariel Heryanto, 1994: 80). Karakter yang sering disuarakan postmodernisme antara lain adalah pluralisme, heterodoks, eklektisisme, keacakan, pemberontakan, deformasi, dekreasi, disintegrasi, dekonstruksi, pemencaran, perbedaan, diskontinuitas, dekomposisi, de-definisi, demistifikasi, delegitimasi serta demistifikasi (Bertens, 1995: 44).
Merujuk Akbar S. Ahmed, dalam bukunya Postmodernism and Islam (1992), terdapat delapan ciri karakter sosiologis postmodernisme.
Pertama, timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas, memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden dan semakin diterimanya pandangan pluralisme-relativisme kebenaran.
Kedua, meledaknya industri media massa, sehingga ia seolah merupakan perpanjangan dari system indera, organ dan syaraf manusia. Kondisi ini pada gilirannya menjadikan dunia dan ruang realitas kehidupan terasa menyempit. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma menjadi Agama dan Tuhan baru yang menentukan kebenaran dan kesalahan perilaku manusia.
Ketiga, munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul sebagai reaksi manakala orang semakin meragukan kebenaran ilmu, teknologi dan filsafat modern yang dinilai gagal memenuhi janji emansipatoris untuk membebaskan manusia dan menciptakan kehidupan yang lebih baik.
Keempat, munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan romantisme dengan masa lampau.
Kelima, semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban area) sebagai pusat kebudayaan dan sebaliknya, wilayah pedesaan (rural area) sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya dominasi negara maju (Negara Dunia Pertama) atas negara berkembang (Negara Dunia Ketiga).
Keenam, semakin terbukanya peluang bagi pelbagai kelas sosial atau kelompok minoritas untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas dan terbuka. Dengan kata lain, era postmodernisme telah turut mendorong proses demokratisasi.
Ketujuh, munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya ekletisisme dan pencampuradukan berbagai diskursus, nilai, keyakinan dan potret serpihan realitas, sehingga sekarang sulit untuk menempatkan suatu objek budaya secara ketat pada kelompok budaya tertentu secara eksklusif.
Kedelapan, bahasa yang digunakan dalam diskursus postmodernisme seringkali mengesankan tidak lagi memiliki kejelasan makna dan konsistensi, sehingga bersifat paradoks (Ahmed, 1992: 143-4).
Istilah postmodernisme, merujuk Ihab Hassan, dipergunakan pertama kali oleh Federico de Onis, seorang kritikus seni, pada tahun 1930 dalam tulisannya Antologia de la Poesia Espanola a Hispanoamericana untuk menunjuk kepada reaksi minor terhadap modernisme yang muncul pada saat itu (Featherstone, 1988: 202). Istilah ini kemudian sangat populer di tahun 1960-an ketika seniman-seniman muda, penulis dan krikitus seni seperti Hassan, Rauschenberg, Cage, Barthelme, Fielder dan Sontag menggunakannya sebagai nama gerakan penolakan terhadap seni modernisme lanjut.
Seni postmodern memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan seni modernisme lanjut, yakni: hilangnya batas antara seni dan kehidupan sehari-hari, runtuhnya distingsi antara budaya tinggi dan budaya massa/populer, maraknya gaya eklektis dan campur aduk, munculnya kitsch, parodi, pastiche, camp dan ironi, merosotnya kedudukan pencipta seni, serta adanya asumsi seni sebagai pengulangan, perpetual art (Featherstone, 1988: 202). Penggunaan istilah postmodernisme selanjutnya perlahan-lahan mulai menyentuh bidang-bidang yang lain.
Dalam bidang arsitektur, istilah postmodernisme mengacu kepada perlawanan bentuk-bentuk arsitektur modern yang menonjolkan keteraturan, rasionalitas, objektif, praktis, ruang isotropis dan estetika mesin, dimana prinsip bentuk mengikuti fungsi menjadi dewa. Arsitektur postmodernisme, sebaliknya menawarkan konsep bentuk asimetris, ambigu, naratif, simbolik, terpiuh, penuh kejutan dan variasi, ekuivokal, penuh ornamen, metafor serta akrab dengan alam (Andy Siswanto, 1994: 36). Doktrin bentuk mengikuti fungsi dibalik menjadi fungsi mengikuti bentuk.
Jika modernitas dipahami sebagai kurun waktu sejarah yang berkembang semenjak era Renaisans, maka postmodernitas adalah kurun waktu sejarah yang seringkali dikaitkan dengan perubahan realitas dunia seusai Perang Dunia II (Featherstone, 1988: 197). Postmodernitas ditandai dengan lahirnya totalitas struktur sosial baru, perkembangan teknologi dan informasi yang pesat, serta terbentuknya masyarakat komputerisasi, dunia simulasi dan hiperrealitas.
Merujuk Mike Featherstone, seorang sosiolog dan kritikus kebudayaan, postmodernisme memiliki tiga ruang pengertian yang berada dalam wilayah kebudayaan. Pertama, sebagai perubahan bentuk teorisasi, presentasi dan diseminasi karya seni dan intelektual yang tidak dapat dipisahkan dari perubahan mikro dalam wilayah kebudayaan. Kedua, sebagai perubahan ruang budaya yang lebih luas mencakup bentuk-bentuk produksi, konsumsi dan sirkulasi tanda dan simbol yang dapat dikaitkan dengan perubahan yang lebih luas pula dalam relasi keseimbangan dan kekuasaan dalam masyarakat. Ketiga, sebagai perubahan praktek dan pengalaman keseharian berbagai kelompok yang menggunakan rezim penandaan (regime of signification) dalam berbagai cara dan gaya, serta mengembangkan sarana-sarana baru bagi orientasi dan pembentukan identitas (Featherstone, 1988: 208).
Sementara itu, Daniel Bell, seorang sosiolog, bahkan melihat postmodernisme sebagai puncak tendensi perlawanan terhadap modernisme, dengan hasrat, insting dan kegairahan untuk membawa logika modernisme sampai ke titik terjauh yang mungkin bisa dicapai (Featherstone, 1988: 202). Agak berbeda dengan Bell, Jean Baudrillard, salah seorang pembicara terdepan postmodernisme, memandang postmodernisme lebih sebagai strategi pembacaan realitas dengan objek sentral prinsip reproduksi tanda-tanda, kapitalisme multinasional yang membawa akibat perluasan luar biasa dalam dunia sosial dan meledaknya budaya massa. Postmodernisme dengan demikian adalah metode analisa kritis yang mencoba membongkar mitos dan anomali paradigma modernisme, membuka ironi, intertekstualitas dan paradoks, mencoba menemukan suatu teori masyarakat postmodern atau postmodernitas, dan menggambarkannya dalam realitas sosial yang ada dalam masyarakat kontemporer Barat dewasa ini (Featherstone, 1988: 204).
Untuk memudahkan pemetaan prinsip dan kedudukan modenisme dan postmodernisme, Ihab Hassan mencoba menyusun sebuah tabel sistematis yang menggambarkan perbandingan prinsip kedua paradigma pemikiran tersebut (Harvey, 1995: 43):

MODERNISME                                               POSTMODERNISME
Romantis/Simbolis                                             Parafisik/Dadisme
Bentuk/Berhubungan/Tertutup                          Anti Bentuk/Tak Berhubungan/Terbuka
Tujuan                                                                Permainan
Desain                                                                Kesempatan
Hierarki                                                              Anarki
Master/Logos                                                     Kejenuhan/Kediaman
Objek Seni/Karya                                               Proses/Penampilan/Happening
Berjarak                                                              Partisipasi
Kreasi/Totalisasi/Sintesis                                    Dekreasi/Dekonstruksi/Anti Sintesis
Kehadiran                                                          Ketidakhadiran
Pemusatan                                                          Tersebar
Genre/Batas                                                       Teks/Interteks
Semantik                                                            Retorik
Paradigma                                                          Sintagma
Hipotaksis                                                          Parataksis
Metafor                                                              Metonimi
Seleksi                                                                Kombinasi
Akar/Kedalaman                                                Rhizoma/Permukaan
Interpretasi/Pembacaan                                      Melawan-Interpretasi/Kesalahbacaan
Petanda                                                              Penanda
Terlihat/Terbaca                                                 Tercatat/Tertulis
Narasi/Narasi Besar                                            Anti-Narasi/Narasi Kecil
Tanda                                                                 Idiolek
Simtom                                                               Hasrat
Jenis                                                                   Mutan
Genital/Phalik                                                    Polimorphi/Androgini
Paranoia                                                             Schizophrenia
Asli/Sebab                                                          Perbedaan/Jejak
Tuhan                                                                 Setan
Metafisik                                                            Ironi
Determinasi                                                        Indeterminasi
Transenden                                                         Imanen
Secara historis, kelahiran postmodernisme dapat dilacak jauh ke alur sejarah kegagalan modernisme. Benih-benih kekecewaan terhadap modernisme pertama kali muncul pada tahun 1950-an dalam dunia sastra, ketika Charles Olson, seorang penyair Amerika, menggunakannya untuk menyebut gerakan anti-modernisme dan anti-rasionalitas modern dalam dunia puisi kontemporer Amerika (Bertens, 1995: 20). Gerakan anti-modernisme, yang dipelopori oleh John Cage, Robert Rauschenberg, Merce Cunningham, ini adalah gerakan yang mencoba membangun kesadaran untuk keluar dari kungkungan dan kuasa rasionalitas seni modern.
Para seniman dan penyair saat itu mulai merasa jenuh berada dalam ketertutupan dan kekakuan rasionalitas instrumental dunia modern. Dalam tulisannya Human Universe (1951), Olson menyatakan bahwa dunia kebudayaan Barat, karena orientasi ontologisnya yang membabi-buta terhadap rasionalitas modern, telah menyebabkan hilangnya otentisitas kehidupan dan kesejatian pengalaman manusia. Sebagai akibatnya manusia tidak lagi mampu mengalami dan menghayati kekayaan realitas kehidupan dengan segenap keunikannya masing-masing (Bertens, 1995: 21).
Hal yang ada hanyalah sebuah realitas tunggal yang monolitik, dogmatis dan ideologis. Sebaliknya, gerakan anti-modernisme menyatakan sikap penolakan terhadap pandangan rasionalitas modern yang menjunjung tinggi universalitas, subjek transenden, ego individual, dan merayakan otentisitas kehidupan. Gerakan anti-modernisme hendak mencoba melawan keangkuhan nilai dan estetika sastra modern.
***
















BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN


3.1    Kesimpulan
Dari uraian di atas, maka dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Istilah modernisme saat itu tentu belum merupakan epoch sejarah baru yang bermaksud memutuskan diri dari realitas sejarah sebelumnya. Ia baru muncul sebagai istilah kebudayaan yang menghendaki sesuatu yang baru, yang berbeda, seperti halnya arti kata modern yang diadopsi dari bahasa Latin tersebut.
Postmodernisme memiliki tiga ruang pengertian yang berada dalam wilayah kebudayaan. Pertama, sebagai perubahan bentuk teorisasi, presentasi dan diseminasi karya seni dan intelektual yang tidak dapat dipisahkan dari perubahan mikro dalam wilayah kebudayaan. Kedua, sebagai perubahan ruang budaya yang lebih luas mencakup bentuk-bentuk produksi, konsumsi dan sirkulasi tanda dan simbol yang dapat dikaitkan dengan perubahan yang lebih luas pula dalam relasi keseimbangan dan kekuasaan dalam masyarakat. Ketiga, sebagai perubahan praktek dan pengalaman keseharian berbagai kelompok yang menggunakan rezim penandaan (regime of signification) dalam berbagai cara dan gaya, serta mengembangkan sarana-sarana baru bagi orientasi dan pembentukan identitas (Featherstone, 1988: 208).

3.2    Saran-Saran
Sebagai penutup dari makalah ini penulis menyampaikan sejumlah saran, sebagai berikut:
a.       Sebagai calon guru, ilmu postmodernisme sudah sangat perlu dikuasai untuk menunjang ilmu pegetahuan yang kita miliki.
b.      Sebuah ilmu tidaklah baik dikuasai tanpa mengetahui asal usulnya.



DAFTAR PUSTAKA


Agger, Ben. 2003. Teori Sosial kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya. Kreasi Wacana: Yogyakarta
Ahmed, Akbar S. 1992. Postmodernisme: Bahaya dan Harapan Bagi Islam. Mizan: Bandung
http://learning-of.slametwidodo.com/?s=modernisme diakses pada tanggal 27 Januari 2012
http://umum.kompasiana.com/2009/07/07/postmodernisme-101/ diakses pada tanggal 27 Januari 2012
Jones, Pip. 2009. Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme Hingga Post-Modernisme. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta
Ritzer, George. 2004. Teori Sosial Postmodern. Juxtapose bekerjasama dengan Kreasi Wacana: Yogyakarta



Tidak ada komentar:

Posting Komentar