Senin, 18 Januari 2016

PUISI-PUISI SUBAGIO SASTROWARDOJO

MATINYA SEORANG PENYAIR
napas begitu tipis seperti kaca
jangan dipecahkan dengan berkata-kata
keheningan jadi pengiring paling setia
bagi kelana di kelam buta
hari kemarin sudah tiada

betapa lama sebelum rela
membunuh api kenang menyala
di luar keramahan kamar telah terkubur sisa mimpi
hilang nanar
tanpa sesal sosok setubuh dengan sepi

terbaring di dataran asing
juga langit kelihatan lain
rumah-rumah redup tanpa jendela
tapi dengan tidak menanya
dicium tanah lekat di tangannya
belahan benua ini sebagian dari nasibnya
dia tak kembali ke pantai tua

rindu lama tidak lagi bergejolak
demam yang diidap sudah reda
detik-detik kini lebih berarti
daripada terus mencari
di balik ufuk pasir melebar
telah habis basah air menghibur
sampai puas digosokkan tubuhnya
ke bumi bisu

penyair meraba permukaan hari
di sini geraknya berhenti
di ambang gurun tak bertepi
dalam perkawinan dengan sunyi
dia tidak sanggup lagi bernyanyi
ketika napas putus mengalir
di udara bergema pekik terakir


PEREMPUAN YANG BERUMAH DI TEPI PANTAI
bunga yang kusenangi kupasang di jendela
daun pintu terbuka
kursi lengang dekat meja
lagi kupanggil namanya di lorong rata
menjauh langkah tergesa
bergema hampa

lampu di kamar tetap menyala
tumpah di pangkuan surat lama
lonceng mati di angka tiga
masih yakin dia ada
tinggal aku diam terjaga
pagi rebah di pinggir desa

sinar hari membelah ruang
rumah kosong nampak tua
hiasan dinding tanpa guna
di pantai kembali surut air kelam
ke lubuk laut entah di mana
betapa dalam sunyi menikam

tikar pandan terhampar di lantai
sandal sepasang tak terpakai
kopi di cangkir belum tersentuh
berapa lama harus bersimpuh
menanti sapa di mulut pintu
ucapan salam kepadaku

semua sudah bersih di dalam
pakaian putih terlipat di tilam
badan siap menyambut dia yang diharap
ingin diri meniarap lata
berteriak seru mari
tapi setiap terbilang kata
bayangan hening lari

tubuhku rumah yang butuh dihuni
suasana hampa damba akan isi
air tenang menangis di rongga sunyi
apatah kehadiran tanpa dihadiri
kemanusiaan minta saksi
lonceng bergoyang sebelum mati

telah kusisir rambutku kusut
kaca bening tergantung di sudut
asal saja pecah hening ini
dibawa berbincang sepanjang pagi
atau diam pandang-memandang mengajuk hati
tamu, datanglah datang

seandainya datang, aduh
kubasuh kakinya sambil berdendang
kusupkan nasi dengan tangan sendiri
kesendirian begitu ngeri
setiap dia memalingkan wajahnya ke mari
aku akan memekik girang ya aku di sini

tak terlarai aku dan dia
darat dan laut saling memadai
hamba dan tuan berkait abadi
sudah terdengar ombak berdebur di karang
sayup-sayup memanggil suara tersayang
lekas ke pantai aku menjelang


UPACARA
ajarilah bagaimana menjadi tua

terkuak gapura kesadaran
sehingga tampil kerajaan dalam

tenunan kata mantra
yang kuhamparkan pada hari-hari besar
di bendul pura
adalah untuk menyambut tamu turun tangga

jika berkenan tiba
apakah sempat memberi tanda
dengan kelining lonceng genta
di kuil pedanda

di halaman yang tersapu bersih
dengan tubuh putih
aku menanti di bawah cemara
aku boneka yang butuh dihidupi

bukankah kesetiaan dan kesabaran sebagian
dari upacara

bulan yang berlayar di puncak batu candi
adalah pengawal gawat
yang memungkinkan lakon terjadi
di manakah teluk sunyi yang tidak disinggahi

air di mana pun suci
juga yang terpercik di korban bunga melati
setetes dari telaga purba yang sakti

sebelum ini kutanggalkan keinginan satu per satu
jiwa murni timbul dari siksaan sakit dan ngeri

pengabdian menuntut penderitaan yang dicari sendiri

aku telah membasuh di pemandian tirtasari
dan merasa tak bersalah seperti anak kembali

manusia selalu tinggal sebatang kara
tanggung jawab tertimpa pada seorang diri
nyawa yang yatim minta dipelihara

saudara kandung yang lahir sebelum dan sesudahku
bahkan bunda yang teringat mukanya dalam lamunan
tinggal terkurung dalam pengasingan masing-masing

nasib terkungkung dalam penjara sepi

ketakutan tidak datang dari maut yang tiba-tiba hadir
melainkan dari pedih yang tak kunjung berakir

jadikan aku anak emas
yang tak lepas dari hati

adakah angan-angan yang lebih manis
daripada mengatasi kecemasan
dan bisa berlaku sebagai jantan

terlimpah kasih kepada laki-laki gemilang
bagimu aku putra pahlawan
yang berani lebur dengan bayangan hilang

ketika api hari mati
aku menari sebagai wayang
mengikut getar langkah dewa

satu gerak tubuh kembar
tingkah gending tabuh kebyar
desah napas mengembus seirama

dari pembakaran jenasah menyala merah sekar padma

LEIDEN 30/10/78 (MALAM PK. 20.15)
pada ketinggian usia
mimpi mulai pucat
daerah tandus menapak ke pinggir kota
jejak di pasir tak nampak
kenangan habis tersadap dari dada
membeku darah kata
anak yang baru lahir
masih mengenalnya sebagai sajak
orang lain membiarkannya tergeletak
di antara buku-buku tak terbaca
barangkali hanya Shakespeare sempat menyimak
tetapi dia pun kini sudah tak ada

PARIS 19/10/78 (MALAM PK. 3.15)
sudah beberapa hari ini
telah putus tali pusat
maka kabur gambar kenangan

kumakan bubur perpisahan
dan aku melayang tanpa pedoman
di belakang layar kayon
yang kaupasang
sebelum gamelan dibunyikan

dari jauh ini
aku tak tahu
lakon apa yang kaudirikan
buat malammu sendiri

tapi yang kaudengar pasti
menurut kabar cuaca di tv
di Paris ini turun hujan mawar

LEEUWARDEN 13/11/78 (MALAM PK. 3)
mengalir arus malam
sehingga tenggelam badan
tak tertinggal kesan

dari puncak hulu
mata air menunjukkan jari
ke mana muara berhenti

teluk buntu
sudah tentu
sebelum terbuka ketelanjangan pagi

laut tak terinjak
teduh sendiri
tergoncang sepenuh hari

menetes air kelam
tertahan di telapak
menampa tanpa gumam

PARADISE REGAINED
hari yang mempesona
betapa hampa cita
tembikar retak di bawah rabaan jari

jam terlalu deras
insin saja dilepaskan dari pergelangan
lantas lekas menembus ruang malam
yang cerah intinya
di mana bersinar cahaya di langit angan
dan tak hangus muka oleh usia

langkah mengalah
dan berita pertama terdengar dari sumbernya
yang asli

kuncup muda terpetik dari ranting
lalu membuka bunga sajak

kehadirannya merdu seperti lonceng
lembah meriah

sungguh firdusi
tak kelak
tak ketika

semerbak abadi

SAJAK SEJENAK
tamu

masih ada yang mau singgah
di pondok tua – kesan sesal
gamit rindu, gores duka
biar terbuka pintu muka
buat tamu tak terduga
siapa akan mengajak berbicara –
rumput, batu, matahari
arti kabur di pudar hari
di bawah jenjang berdiri bayang
di tangan pisau belati
tiba ia menoleh memperhati

PANJI LANANG KELANA
di ruang sunyi
di tengah dada
ada lengking
ada sakit
berhenti bunyi jeram di bukit
istana sudah kosong
di antara tiang batu rindu terbaring

darah mengental
masih nyaring tuntutan tanah
dari mana berasal
dan bila kembali
taruhan yang salah
telah membuat diri mengembara
bayangan rumah surut di cakrawala

pada wajah silih berganti
belum bertemu apa yang dicari
topeng-topeng bisu
mengubur sisa haru
di balik dinding
betapa larut sinar hari
raut muka makin kejam
sosok asing hanya mau ramah semalam

kelana terkutuk tergolek di pinggir kota
(yang bukan punya dia)
sudah lama dia tidak bersolek
menyayangi rupa di kaca
hidupnya tidak untuk siapa
hanya untuk dirinya dia berada
jadi kabur garis pinta
dia tidak lagi punya apa
warisan yang masih ada
tinggal coretan mesum di kamarnya
gambar semu yang kabur artinya

dia tidak menyesal
bahwa dia tinggal di bawah hujan bintang
dan berjalan sebagai pangeran
yang memburu dan diburu kasih sayang
dia masih membutuhkan bukti
bahwa dia pernah di sini
bayang diri terlempar di layar kenangan
dan disiksa di sana kekal

dari pola ramuan nada
ingin didengarnya kata-kata
lagu tidak bisa sempurna
tanpa terjalin suara manusia
bahasa merdu itu yang begitu dikenalnya
bicaralah kirana madu kusuma
di tengah kehampaan ditangkapnya gema

hati melekat pada gejala yang diraba
jari gemetar mengusut makna pada tubuh mempesona
nestapa tumbuh dari bercumbu dengan dunia
dewi, di matamu membujuk nikmat sorga

yang memberinya keberanian
menempuh kegelapan
adalah benih
yang mau membenam ke perut malam
kalau tiada napsu
apakah mungkin dia pahlawan
menapak benua tanpa kawan
pada batas pajar
bakal ditemuinya kepuasan

pengalaman perawan
yang menyimpan rahasia tak terjamah
mengapa tidak dihisapnya segera
sampai tetes getah penghabisan
terkam sebelum kesempatan luput dari tangan
serta hidup susut oleh usia
di mulut masih titik air selera

sudah sekian saat
dia menunggu dekat kayu membara
dan melihat pijar terbasmi
lalu menyala berulang kali
bulan tua terasing di gurun pasir
dan dia seperti anjing
menggonggong mengusir sunyi
tidurnya diganggu oleh mimpi yang sama
nyawa laki dikejar dendam berahi

sejak termakan buah terlarang
ladang lama tinggal gersang
di dada telanjang
tersurat nasib petualang
selepas rindu merundung kekosongan baru
tidak setia jiwa jalang


TEMBANG PANGKUR
ketika didendangkannya lagu yang dipelajarinya
dari orang tua
bidadari pada mendengar dari balik dinding
dan nenekmoyang yang pernah tinggal di bumi
diam tepekur

sudah lama dia tidak menyanyi tembang pangkur

laut lalu berhenti di titik nadir
dan kijang berdebar mulai minum dari pangkal telaga
angin kembali ke hutan purba

kota terbakar sudah hilang asapnya
mengapa harus terus mendendam

di teras alam merelung kedamaian

DI DALAM DADA
jika dibelah dadaku
akan nampak semua yang diangan

ada gunung ada lembah
ada pohon di pinggir sawah
jalan setapak menuju ke rumah

tapi ada juga kota lama
dengan gedung runtuh
dan langit terbakar merah

ada juga hutan rimba
tempat nyawa tersesat
terbayang di dalam
lengking rusa yang lari terluka
sudah berkumandang sebelum sempat bersuara

kalau alam tak terangkum dalam dada
bagaimana kata seakan terbit dari tiada
tangan akan hampa meraih ke udara


HARI DAN HARA
pada pertemuan begini mesra
tugas kita hanya mengalami
tanpa berkata-kata
dan membiarkan air liur mengaliri kulit ari
(ah, betapa sakit cinta menusuk hati)
kita tinggal mengalami
tapi tanpa bergumam
tanpa mencatat kejadian sehari
bahkan tanpa mengulum dendang sajak
hanya mengalami

berdua kita terbuang ke benua asing
kini apa lagi yang tersisa
daripada membuat diri terbiasa
kepada kehadiran saat ini
sudah terbasuh dendam dari dada
tak perlu kita berpaling
atau menanti kapan akan dipanggil kembali
ruang kamar melingkup
dan tangan terlalu sibuk membagi kartu di meja
permainan nasib antara kita

telah kulalui hutan belantara
sekedar sampai kepada penjelmaan ini
berupa ketelanjanganmu yang rela kujamah
jiwa yang sendiri
membutuhkan tubuh yang ramah
apakah kau sendiri tak ngeri
berbaring seorang diri di ranjang
biarkan aku jadi anjing setia
yang menjaga kemanusiaanmu
terbujur ke seberang malam
aku ingin jiwamu tenteram

tibamu di balik kelambu
tidak begitu kentara
apakah kau kukenal atau orang asing
selalu ada batas pemisah
antara nyawa dengan nyawa
yang membedakan laki dan betina
tetapi sebelum menyingkir malam dari jendela
telah kutembus tirai keramat
ayam jantan berkokok di kebon tetangga
betapa nyaring terdengar

selama kita masih sempat berbicara
perkawinan kita belum sempurna
dalam terkenang kita hanya mengambang
belum tenggelam ke pusat nikmat
luluh dalam paduan irama
jadi diam semua nada
yang tertampung hanya hening
hening lena tak berisarat

terdampar di tilam terakir
harus kita putuskan hubungan sejarah
seperti dulu pada awal musim
(di gugusan sorga yang pernah tenggelam)
kita tampil sebagai anak bugil
yang lupa akan kebengalan hari silam
di sini masih mutlak kebebasan
curahkan diri sepenuhnya dalam pelukan
amboi, gila kita mengigal
sampai terasa degup tunggal

air dalam
membangkitkan gairahku lama diam
apa saja kini tak kutempuh
mahluk kerdil yang biasa takut
rela lenyap ke laut tubuhmu
sekedar menikmati kelakian yang penuh
tak ada yang haram
buat nyawa disiksa asmara
maut, aku tidak lagi pengecut

malam sebagai bukit hitam
menghunjam ke dada
apa kau masih bisa tidur
di tengah kegelapan mengancam
tidakkah nampak akir menjelang
pada tapak kaki menghilang
peganglah erat tanganku menggapai
tinggal kau satu-satunya yang bisa kusentuh
sedang hasrat hidup masih penuh

di antara empat dinding
aku belajar berdiam diri
dan mematikan kata di kening
mimpi rahasia terbenam di sanubari
sehabis gerhana
bulan hamil dengan benih kenangan
yang menua
aku yakin
dalam tubuhmu tertawan segenap nasibku
hidup tersita

ketika kutengok dalam kaca
kulihat kau terbayang di muka
raut wajah yang sama
dan lekuk bibir itu diremas cinta
letih debar jantung yang seirama
telah bertukar dua nyawa
kita tidak berbeda
berpadu susu dan dada

di balik pesona
aku tidak mencari makna
di luar kamar pengenalan serba samar
tetapi sebelum tumbang semua lambang
ingin kurenggut kehadiranmu membekas di tikar
sudah tersirat sinar pagi di gapura
dekat gerbang diriku segera dinanti
* di dalam nitologi Hindu Hari-Hara adalah personifikasi dewata dalam bentuk setengah laki-laki setengah perempuan


SAJAK YANG TAK PEDULI
sajak yang dewasa
sudah tak peduli
apakah aku menangis atau ketawa

di muka cermin
aku tak mengenal lagi
ia bayangan siapa

setiap hendak kutangkap
ia lolos dari dekap
tak mau menampung rasa

di luar jamah
ia sebagian dari semesta
satu dengan suara manusia

setelah ia dewasa
aku tak punya kuasa
maka kubiarkan dia berjalan merdeka

MANUSIA PERTAMA DI ANGKASA LUAR
Beritakan kepada dunia
Bahwa aku telah sampai pada tepi
Darimana aku tak mungkin lagi kembali
Aku kini melayang di tengah ruang
Di mana tak berpisah malam dan siang
Hanya lautan yang hampa di lingkung cemerlang bintang
Bumi telah tenggelam dan langit makin jauh mengawang
Jagat begitu tenang. Tidak lapar
Hanya rindu kepada istri, kepada anak, kepada ibuku di rumah
Makin jauh, makin kasih hati kepada mereka yang berpisah
Apa yang kukenang? Masa kanak waktu tidur dekat ibu
Dengan membawa dongeng dalam mimpi tentang bota
Dan raksasa, peri dan bidari. Aku teringat
Kepada buku cerita yang terlipat dalam lemari
Aku teringat kepada bunga mawar dari Elisa
Yang terselip dalam surat yang membisikkan cintanya kepadaku
Yang mesra. Dia kini tentu berada di jendela
Dengan Alex dan Leo, - itu anak-anak berandal yang kucinta -
Memandangi langit dengan sia. Hendak menangkap
Sekelumit dari pesawatku, seleret dari
Perlawatanku di langit tak berberita
Masihkah langit mendung di bumi seperti waktu
Kutinggalkan kemarin dulu?
Apa yang kucita-cita? Tak ada lagi cita-cita
Sebab semua telah terbang bersama kereta
ruang ke jagat tak berhuni. Tetapi
ada barangkali. Berilah aku satu kata puisi
daripada seribu rumus ilmu yang penuh janji
yang menyebabkan aku terlontar kini jauh dari bumi
yang kukasih. Angkasa ini bisu. Angkasa ini sepi
Tetapi aku telah sampai pada tepi
Darimana aku tak mungkin lagi kembali
Ciumku kepada istriku, kepada anak dan ibuku
Dan salam kepada mereka yang kepadaku mengenang.
Jagat begitu dalam, jagat begitu diam.
Aku makin jauh, makin jauh
Dari bumi yang kukasih. Hati makin sepi
Makin gemuruh.

                                     Bunda,
Jangan membiarkan aku sendiri.

JUGA WAKTUKita tak pernah memiliki

Rumah yang kita diami semusim
telah dituntut kembali
Dan tanah yang kita pijak
makin larut dalam pasang laut
Sedang kesetiaan yang dijanjikan kekasih
berhenti pada kianat
Dan nyawa ini sendiri
terancam setiap saat

Tak ada yang kita punya

Yang kita bisa hanya
membekaskan telapak kaki,
dalam, sangat dalam,
ke pasir,
Lalu cepat lari sebelum
semuanya berakhir

Semuanya luput

Juga waktu

DI POJOK JALANBahwa kita hidup adalah perjanjian
dengan bumi: bahwa kita akan setia
kepada istri, dan kepada anak
merasa sayang. Kita bersatu dengan awan,
dengan bunga dan binatang. Kepada
tanah terikat dengan kebaktian dan tekat.
Perjanjian diikrarkan dengan darah
dinihari, di daerah perbatasan
antara lahir dan mati.

Amat sederhana: di pojok jalan
manusia kurus menangkup bunuh diri.

DAN KEMATIAN MAKIN AKRAB(Sebuah Nyanyian Kabung)

Di muka pintu masih
bergantung tanda kabung
Seakan ia tak akan kembali
Memang ia tak kembali
tapi ada yang mereka tak
mengerti - mengapa ia tinggal diam
waktu berpisah. Bahkan tak
ada kesan kesedihan
pada muka
dan mata itu, yang terus
memandang, seakan mau bilang
dengan bangga : - Matiku muda -
                          Ada baiknya
mati muda dan mengikut
mereka yang gugur sebelum waktunya
Di ujung musim yang mati dulu
bukan yang dirongrong penyakit
tua, melainkan dia
yang berdiri menentang angin
di atas bukit atau dekat pantai
di mana badai mengancam nyawa.
Sebelum umur pahlawan ditanam
di gigir gunung atau di taman-taman
di kota
tempat anak-anak main
layang-layang. Di jam larut
daun ketapang makin lebat berguguran
di luar rencana
Dan kematian jadi akrab, seakan kawan berkelakar
yang mengajak
tertawa - itu bahasa
semesta yang dimengerti -
Berhadapan muka
seperti lewat kaca
bening
Masih dikenal raut muka,
bahkan kelihatan bekas luka
dekat kening
Ia menggapai tangan
di jari melekat cincin
- Lihat, tak ada batas
antara kita. Aku masih
terikat kepada dunia
karena janji karena kenangan
Kematian hanya selaput
gagasan yang gampang diseberangi
Tak ada yang hilang dalam
perpisahan, semua
pulih
juga angan-angan dan selera
keisengan -
              Di ujung musim
dinding batas bertumbangan
dan
kematian makin akrab.
Sekali waktu bocah
cilik tak lagi
sedih karena layang-layangnya
robek atau hilang
-Lihat, bu, aku tak menangis
sebab aku bisa terbang sendiri
dengan sayap
ke langit –

KATAAsal mula adalah kata
Jagat tersusun dari kata
Di balik itu hanya
ruang kosong dan angin pagi

Kita takut kepada momok karena kata
Kita cinta kepada bumi karena kata
Kita percaya kepada Tuhan karena kata
Nasib terperangkap dalam kata

Karena itu aku
bersembunyi di belakang kata
Dan menenggelamkan
diri tanpa sisa

PIDATO DI KUBUR ORANGIa terlalu baik buat dunia ini.
Ketika gerombolan mendobrak pintu
Dan menjarah miliknya
Ia tinggal diam dan tidak mengadakan perlawanan
Ketika gerombolan memukul muka
Dan mendopak dadanya
Ia tinggal diam dan tidak menanti pembalasan.
Ketika gerombolan menculik istri
Dan memperkosa anak gadisnya
Ia tinggal diam dan tidak memendam kebencian.
Ketika Gerombolan membakar rumahnya
Dan menembak kepalanya
Ia tinggal diam dan tidak mengucap penyesalan.
Ia terlalu baik buat dunia ini

NYANYIAN LADANGKau akan cukup punya istirah
Di hari siang. Setelah selesai mengerjakan sawah
Pak tani, jangan menangis

Kau akan cukup punya sandang
Buat menikah. Setelah selesai melunas utang
Pak tani, jangan menangis

Kau akan cukup punya pangan
Buat si ujang. Setelah selesai pergi kondangan
Pak tani, jangan menangis

Kau akan cukup punya ladang
Buat bersawah. Setelah selesai mendirikan kandang
Pak tani, jangan menangis


NAWANG WULAN
(Yang Melindungi Bumi dan Padi)

Jangan bicara denganku dengan bahasa dunia
Aku dari sorga
Jangan sentuh tubuhku dengan tubuh berdosa
Aku dari sorga

Sambut aku dengan bunga
Itu darah dari duka dan cinta
Bunga buat bayi yang baru lahir dari rahim ibu
Bunga buat kekasih yang manis merindu
Bunga buat maut yang diam menunggu

Tapi jaga anak yang menangis tengah malam minta susu
Tapi jaga ladang yang baru sehari digaru
Anak minta ditimang
Ladang minta digenang
Lalu panggil aku turun di teratakmu

Dengan bunga. Itu darah yang mengalir
dari duka dan cinta

LAHIR SAJAKMalam yang hamil oleh benihku
Mencampakkan anak sembilan bulan
Ke lantai bumi. Anak haram tanpa ibu
membawa dosa pertama
di keningnya. Tangisnya akan memberitakan
kelaparan dan rinduku, sakit
dan matiku. Ciumlah tanah
yang menerbitkan derita. Dia
adalah nyawamu.

SALJUAsal mula adalah salju
sebelum tercipta Waktu
sentuhan perawan seringan kenangan
adalah semua yang disebut bumi
dan udara terus bicara
sebab bicara tak pernah berhenti
dan salju jatuh seperti mimpi
Angin kutub memanjang selalu
dan meraba tanpa jari
dan di ambang anjing belang menggonggong
sia sia membuka pagi
hanya geliat bayi sudah terasa
pada dinding tua dekat musim binasa
dan salju melebari hari
Bangunnya Waktu bersama penyesalan
ketika manusia dengan mukanya yang jelek
meninggalkan telapak kakinya di salju
pada setiap langkah menetes darah
sedang gelegar bintang berpadu ringkik kuda
terlempar damba ke angkasa
Pada saat begini terjadi penciptaan
ketika orang bungkuk dari gua di daerah selatan
menghembuskan napas dan bahasa
bagi segala yang tak terucapkan
sedang selera yang meleleh dari pahanya
menerbitkan keturunan yang kerdil
dengan muka tipis dan alis terlipat
suaranya serak meniru gagak menyerbu mangsa
Dengan tangan kasar digalinya kubur
di salju buat tuhan-tuhannya yang mati
dan di lopak-lopak air membeku
mereka cari muka sendiri terbayang sehari
di antara subuh dan kilat senja
sebelum kebinasaan menjadi mutlak
dan salju turun lagi menghapus semua rupa
dalam kenanaran mimpi

DI UJUNG RANJANG
waktu tidur
tak ada yang menjamin
kau bisa bangun lagi

tidur
adalah persiapan
buat tidur lebih lelap

di ujung ranjang
menjaga bidadari
menyanyi nina bobo

DAERAH PERBATASANI
Kita selalu berada di daerah perbatasan
antara menang dan mati. Tak boleh lagi
ada kebimbangan memilih keputusan:
Adakah kita mau merdeka atau dijajah lagi.
Kemerdekaan berarti keselamatan dan bahagia,
Juga kehormatan bagi manusia
dan keturunan. Atau kita menyerah saja
kepada kehinaan dan hidup tak berarti.
Lebih baik mati. Mati lebih mulia
dan kekal daripada seribu tahun
terbelenggu dalam penyesalan.
Karena itu kita tetap di pos penjagaan
atau menyusup di lorong-lorong kota pedalaman
dengan pestol di pinggang dan bedil di tangan.
(Sepagi tadi sudah jatuh korban). Hidup
menuntut pertaruhan, dan kematian hanya
menjamin kita menang. Tetapkan hati.
Tak boleh lagi ada kebimbangan
di tengah kelaliman terus mengancam.
Taruhannya hanya mati.

II
Kita telah banyak kehilangan :
waktu dan harta, kenangan dan teman setia
selama perjuangan ini. Apa yang kita capai:
Kemerdekaan buat bangsa, harga diri dan
hilangnya ketakutan kepada kesulitan.
Kita telah tahu apa artinya menderita
di tengah kelaparan dan putus asa. Kematian
hanya tantangan terakir yang sedia kita hadapi
demi kemenangan ini. Percayalah:
Buat kebahagiaan bersama
tak ada korban yang cukup berharga. Tapi
dalam kebebasan ini masih tinggal keresahan
yang tak kunjung berhenti: apa yang menanti
di hari esok: kedamaian atau pembunuhan
lagi. Begitu banyak kita mengalami kegagalan
dalam membangun hari depan: pendidikan
tak selesai, cita-cita pribadi hancur
dalam kekacauan bertempur, cinta yang putus
hanya oleh hilangnya pertalian. Tak ada yang terus
bisa berlangsung. Tak ada kepastian yang bertahan
Kita telah kehilangan kepercayaan kepada keabadian
Semua hanya sementara: cinta kita, kesetiaan kita.
Kita hidup di tengah kesementaraan segala. Di luar
rumah terus menunggu seekor serigala.

III
Waktu peluru pertama meledak
Tak ada lagi hari minggu atau malam istirahat
Tangan penuh kerja dan mata berjaga
mengawasi pantai dan langit yang hamil oleh kianat
Mulut dan bumi berdiam diri. Satunya suara
hanya teriak nyawa yang lepas dari tubuh luka,
atau jerit hati mendendam mau membalas
kematian.
Harap berjaga. Kita memasuki daerah perang.
Kalau peluru pertama meledak
Kita harus paling dulu menyerang
dan mati atau menang
Mintalah pamit kepada anak dan keluarga
dan bilang: Tak ada lagi waktu buat cinta
dan bersenang. Kita simpan kesenian dan
budaya di hari tua. Kita mengangkat senjata
selagi muda
dan mati atau menang.
*
Rangda! dewa bermata galak dan napsu membusa
Datanglah sebagai pengertian atau sebagai nama
jangan sebagai ujud
karena semua ujud menakutkan
Biarlah aku membayangkan kau
                                     sebagai kekosongan
atau sebagai kata, asal segala mula
Barangkali boleh kutangkap sebagai sedih kenangan
                                                                    atau suara
yang belum mencapai makna
Tapi jangan sekali berujud
sebab segala ujud menakutkan
*
Zaman makin kelam

Kata-kata tak perlu lagi

Suara kehilangan keyakinan:
Apakah tangis yang menggerinjut muka
Atau jerit menggelepar di udara

Tinggal hanya berdiam diri
Dan mencium musuh di pipi

Selewat bayang
Harapkan dia tak membacok dari belakang

Tapi kata-kata tak perlu lagi

KEJATUHAN
Di daerah mimpi
nyawaku berdiri sebagai pohon hitam
dengan buah-buah getir bergantung di dahan
Hanya ular yang menjaga tahu akan rasanya
Perempuan yang telah kehilangan selera:
jangan masuk taman terlarang
atau akan bangun aku tersentak
menyaksikan diri telanjang
Atau cukup lebarkah tanganmu
untuk menutup lobang malu?

NUH
Kadang-kadang
di tengah keramaian pesta
atau waktu sendiri berjalan di gurun
terdengar debur laut
menghempas karang

Aku tahu pasti
sehabis mengembara
dan bercengkerama di kota
aku akan kembali ke pantai
memenuhi janji

Sekali ini tidak akan ada pelarian
atau perlawanan

Kapal terakhir terdampar di pasir

Aku akan menyerah diam
waktu air membenam

MENARA
Setiap pagi
membuka sorga
dan anak-anak mengulang lagi bahasa
yang terlupa malam hari

Itu sebelum tiba kutuk
yang memisah arti
dari kata
dan percakapan tak mungkin lagi

Sebelum musnah menara kesadaran
terbakar api senja

Menyusul kemudian penantian
semalaman
kepada pagi

SAYAP PATAH
sejak berdiam di kota
hati yang memberontak
telah menjadi jinak
kini pekerjaan tinggal
membaca di kamar
barang dua-tiga sajak
atau memperbaiki pagar di halaman
(yang sudah mulai rusak)
atau menyuapi anak
waktu menangis karena lapar
kadang-kadang juga memuji istri
memakai baju yang baru dibeli
--  meneropong bintang
bukan lagi menjadi hobi –
hanya sesekali di muka kaca
aku berkata menghibur diri:
bidadari! sayapmu patah
sekali waktu akan pulih kembali

JIKA HARI REMBANG PETANG
Jika hari rembang petang
tidak berarti permainan bakal selesai
dan boleh tinggalkan gelanggang

hanya peranan bertukar
dari pemain di dalam
menjadi penonton di luar

kita lantas memasuki ruang penuh cahaya
dan melihat bayang
terlempar di layar

kita bisa jaga dan menatap semalam suntuk

hari sudah tinggi
kau tak berbenah?

di bawah bayang senja
setiap barang nampak indah

muka-muka yang lelah
berbinar di redup sinar

di antara kita berdua, kekasih
siapa dulu akan terkapar?

KAYON
pohon purba
- di tengah hutan merah tua -
tahu akan makna dunia
maka diam
tak bicara

PERTIWI
ia rebah di lembah pagi:
paha putih menjulurkan ketela
lengan manis beruas tebu
dan jari tangan mengalirkan bulir padi

pemburu, apa yang kautunggu!

rambut rindang melindungi kelapa
gading – buah dadanya

tanpa ayal kutempuh semak belukar
menyambut daging ilahi

di belah gapura kuhirup madu abadi

PASRAH
Demi malam yang ramah
aku berjanji akan menyerah
kepada angin
yang menyisir tepi hari

Di pinggir lembah
aku akan diam terbaring

Yang membuat aku takut
hanya bulan di sela ranting
yang memperdalam hening

PAGI
tepat pukul lima
pagi
jagat mengental
malam yang menyeruak
menumpahkan noda di sutera langit
diriku yang terbakar dekat dinding
kehabisan arus berahi
dan kau juga
remabutmu yang terkait di sela jari
tidak lagi membersitkan selera
nasibmu terhela di ranjang tua
siapa sempat bicara tentang dosa:
telah terhenti suara lantang di taman firdausi
suara lelaki yang tak mungkin berulang lagi


WAWANCARA
I
Di balik cinta yang hilang, Tuhan
terus menusuk duri kenangan
sehingga terkelupas kulit nyawaku
dan darahku telanjang
menjerit
dari rongga rindu paling kelam

II
Apatah yang lebih hitam
dari bayanganmu
yang tercapak di sudut tembok
di mana tumbang jembangan bunga

Atau di papan pintu tua
yang kuketuk tapi tak ada yang membuka

Hatimu terlalu baik, Tuhan
dan membiarkan bayangan hitam
mengikut langkahku sendirian
lalu mencekikku di lorong lengang

III
Mataku rabun
(karena terlalu banyak membaca)
sulit lagi percaya
di mana kau berada

Di hari hampa
masihkah kau di situ, berjaga?

Telah kututup buku di meja
dan dadaku sudah penuh dengan napasmu
Tuhan, akan kembali kau bersabda?

IV
Sebelum mereka bangun
aku telah selesai mendirikan rumah
dari pasir di pantai
O, betapa indahnya berbaring
membayangkan kuda putih
dan kapal layar di mega
Parak siang menurut rencana
aku akan berlomba di lapang bola
dan main perang dengan kayu dan api
pura-pura tertembak dan menangkup mati
Terpelanting ke alam kanak
aku sering berpaling ke dini hari
saat sebelum mimpi siang ini terjadi
Sebab aku sebenarnya tidak berbeda
dengan kau, Tuhan:
Hadirku di sini lebih dulu dari bapa
dan nyawaku purba tidak pernah jadi tua

V
Hatiku putih kini
karena kalis dari dosa
Dapatkah kau kubujuk
dan minta kau bicara?
Telah kulecut tubuhku
dengan siksa penyesalan
sehingga remuk dagingku
dan tinggal hanya rindu kepada suaramu
Tetapi mukamu tetap diam
seperti kertas kosong
tak beraksara
Haruskan aku mabuk lagi oleh kata
dan berceloteh tanpa makna?
Tuhan, aku tak sabar menanti berita kalam
langsung terbit dari sumber ilham

VI
Di bagian musim ini
mendung di pantai
mendatangkan resah
di hati dan dinding rumah
Dan kau, Tuhan, berlaku sebagai tamu asing
gelisah keluar-masuk
melintasi lantai pintu
Mengapa tidak singgah di laut batinku
dan memancarkan rahmatmu dari sana
dari hening lubuk
yang tak pernah goncang oleh badai
di mana kau bisa betah

TENTANG SUBAGIO SASTROWARDOJO
Subagio Sastrowardojo lahir di Madiun, pada 1 Februari 1924. Karirnya di dunia seni dimulai pada zaman revolusi dengan menyanyi dan melukis. Baru tahun limapuluhan mulai menulis cerpen, sajak dan esai. Ia sempat memperdalam pengetahuannya dalam bidang sastra dan teater di Yale University. Dan saat ini (maksudnya sekitar tahun terbit buku ini, 1975), ia tinggal di Adelaide, Australia, mengajar bahasa dan sastra Indonesia di sana. Kumpulan puisinya, Simphoni (1957), Daerah Perbatasan (1970), Hari dan Hara (...). Kumpulan cerpennya Kejantanan di Sumbing (1965). Esainya Bakat Alam dan Intelektualisme(1972).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar