Kamis, 25 Juni 2015

PUISI-PUISI HELVY TIANA ROSSA

TENTANG HELVY

Helvy Tiana Rosa lahir di Medan 2 April 1970. Ia menyelesaikan S1 dan S2 di Fakultas Sastra/ Fakultas Ilmu Budaya, UI dan kini merampungkan S3 bidang Pendidikan Bahasa, di Universitas Negeri Jakarta. Selain dikenal sebagai sastrawan, ia adalah Dosen Fakultas Bahasa dan Seni, UNJ.  Helvy menulis 50 buku, antara lain: Bukavu ( LPPH, 2008), Tanah Perempuan (Lapena, 2009)Ketika Mas Gagah Pergi… dan Kembali (ANPH, 2011), Mata Ketiga Cinta (ANPH, 2012), dll. Beberapa karyanya telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Arab, Perancis, Jerman, Jepang dan Swedia, dll. Ia sering diundang berbicara serta membacakan karya-karyanya di dalam dan luar negeri, seperti Malaysia, Brunei, Singapura, Thailand, Hong Kong, Jepang, Mesir, hingga Amerika Serikat.  Helvy banyak terlibat dalam membidani kelahiran penulis muda di berbagai pelosok daerah di Indonesia dan mancanegara, melalui Forum Lingkar Pena (FLP) yang ia dirikan 1997, karena itu The Straits Times menyebutnya Pionir (2002), Republika menyebutnya Pelopor Sastra Islam Kontemporer Indonesia (2002) dan Koran Tempo menjulukinya sebagai Lokomotif Penulis Muda Indonesia (2003). Prof. Monika Arnez dari Universitas Passau, Jerman, menyatakan Helvy adalah salah satu figur paling penting dalam kebangkitan sastra Islam kontemporer di Indonesia dalam tiga dekade terakhir (2007).   Los Angeles Times (2007) menyebut karya-karya Helvy mengangkat persoalan HAM khususnya bagi wanita dan anak-anak di daerah konflik.
Helvy merupakan Sutradara Teater Bening (1990-2003)—teater kampus yang seluruh anggotanya perempuan dan mengadakan berbagai pementasan di Taman Ismail Marzuki, Gedung Kesenian Jakarta, dll. Tahun 2008 ia mendirikan Bengkel Sastra UNJ yang rutin pentas keliling dengan membawakan naskah-naskah sendiri. Helvy pernah mendapat 30 penghargaan tingkat nasional di bidang penulisan dan pemberdayaan masyarakat, antara lain cerpennya “Jaring-Jaring Merah terpilih sebagai Cerpen Terbaik Majalah sastra Horison dalam satu dekade (1990-2000), Bukavu masuk10 Besar Khatulistiwa Literary Award (2008), Nova Award (2004), Ummi Award (2004), Tokoh Perbukuan IBF Award dari IKAPI (2006), Tokoh Sastra Era Muslim Award (2006), Kartini Award sebagai salah satu The Most Inspiring Women in Indonesia (2009), SheCAN! Award (2009), dll. Anggota Dewan Kesenian Jakarta (2003-2006) ini merupakan Anggota Majelis Sastra Asia Tenggara (sejak 2006), Wakil Ketua Liga Sastra Islam Dunia, untuk Wilayah Indonesia (sejak 2009), Anggota Komisi Pengembangan Seni Budaya Islam, Majelis Ulama Indonesia (sejak 2011).  Helvy adalah satu dari 500 Tokoh Muslim Paling Berpengaruh di Dunia hasil riset Royal Islamic Studies Centre, Jordan (2009, 2010, 2011).

SAJAK FEBRUARI
1
cinta adalah rasa
yang kuucap dalam setiap desah
dan cuaca
tak sampai-sampai getarnya padamu
2
setiap hari embun meneteskan kesetiaannya pada pagi
seperti aku yang tak pernah berhenti menari
dalam mimpi tentangmu
dan jatuh
3
maka kutanyakan pada mungkin
ia memandangku dengan mata kaca
mengecup luka dan berkata
pergi dan pakailah kerudung airmatamu
sebab tak ada tempat untuk cinta di sini
4
Engkaukah itu yang berkata?
Semua pejalan di bumi, semua pencinta
pasti akan menderita
tapi bagaimana agar tiap gerak berarti
hingga malaikat pun sudi mengecup
semua luka kita yang mawar
engkaukah itu yang berkata, cinta?
sementara diam-diam kita berikan
keping luka dan risau kita
pada angin yang tak desau
5
Di dalam bis yang membawa banyak orang,
Kau cari aku hari itu.
Tapi kau tak tahu
aku telah mencarimu sejak pertemuan pertama kita
Mengapa kau sisakan peta buram yang sama
hingga aku tak pernah bisa menatap punggungmu
Di antara dinding dingin di sekitar kita
kau cari aku hari itu
tapi kau tak tahu
aku telah mencarimu bermusim-musim
dan selalu hanya pilu
yang memeluk dan membujukku
Pulanglah, kau sudah begitu lelah
6
Begitulah
kata telah lama berhenti
pada napas dan airmata
Di manakah kau, di manakah aku?
Labirin ini begitu sunyi
dan cinta terus sembunyi
7
Seperti gelombang yang setia pada lautan
aku telah lama kau campakkan
ke pantai paling rindu itu
tapi sebagai ombak aku memang harus kembali
meski dengan luka yang paling badai
8
Begitulah perempuanmu
memintal lalu menguraikan kembali
kenangan di sepanjang jalan kaca yang retak itu
Kau mungkin lupa pernah
menitipkan kilat asa di mataku
yang menjelma beliung
namun tak perlu bulan, lilin atau kunang-kunang
selalu kutemukan jejak juga napasmu
di jalan raya kehidupanku
Membayangkan wajahmu aku pun bermimpi
tentang matahari lain yang menyala suatu masa
Mungkin kita bisa saling memandang lama
melepas beliung abai yang menyiksa selama ini
9
:Aku telah berjuang untuk melupakanmu
Seperti baru kemarin kau datang dan kita bicara
sambil menatap ubin, dinding dan pohon jambu itu
Kau bilang tak mungkin, sebab
ada yang lebih penting kau selesaikan
Seperti angin yang tak sadar disapa waktu
aku berpura tak mendengar
Dia akan datang, kataku.
Tapi katamu, kau akan datang setelah urusan selesai.
Bagaimana kalau dia yang tiba lebih dahulu?
Siapakah yang harus kuabaikan?
Siapa yang perlu kulupakan?
Kita terdiam mengamini ubin, dinding dan pohon jambu
suara sapu ibu kos di ruang tamu, kendaraan lalu lalang
beberapa mahasiswa dengan jaket kuning melintas
mungkin sebentar lagi gerimis
Dalam sepi itu tiba-tiba kita pun teringat
perkataan seorang sahabat
Katanya kita punya sesuatu, semacam hubungan indah,
yang tak bisa dirumuskan
Ketika kau pulang senja itu
aku tahu mungkin kita tak akan berjumpa lagi
untuk waktu yang lebih dari lama
Menyakitkan, tapi bukankah
tak semua kebersamaan
harus jadi monumen
kadang lebih baik dibuang
biar usang dalam tong sampah
10
Dan akhir adalah permulaan
kau aku tak pernah menapaki mula
juga mungkin tak pernah sampai
pada selesai
seperti puisi yang kutanam
di kuntum hatimu
11
Hai
katamu aku tetap perempuan itu
tak henti menyelami lautan huruf
demi yang Maha Cinta
dan kau sangat tahu
atas nama cinta pula
telah kuputuskan berhenti
menuliskan kenangan tersisa
titik tanpa koma
pada Februari ke lima
Depok, 1995

CINTAMU PADAKU
Cintamu padaku
adalah kerinduan waktu
memeluk bisu di batu-batu
saat gerimis jatuh

THAWAF
Labbaik Allahumma labbaik

Ada yang berjejalan di dalam
Dada. Cahaya. Embun
Terik. Maha. Kau

MATA KETIGA CINTA
Apakah dua mataku
yang kau larung dalam malam?
lalu hari-hari pun terbenam
dalam secangkir kopi tanpa gula
daun-daun jatuh di luar jendela
dan sunyi menyanyikan lagi
lagu gerjaji

dengan masih terpejam
hanya dengan mata ketiga cinta
kulihat sebuah wajah di jantungmu
: Dia yang kau bilang tak bernama

SALAM NEGERIKU,
Aku memeluk merah putih, berdiri di sini, menatap para
pemimpin tercintaku.
Kini kata-kata mereka hampir angina.
Mereka cari nurani di balik kursi.
Aku bertanya-tanya, apa mereka tahu di mana menempatkan
Tuhan dan rakyat dalam diri serta diskusi-diskusi itu.
Bisakah mereka istirah dari perseteruan, karena waktu telah
semakin debu. Kota-kota berteriak parau, merdeka!

KEPADA TUAN TERORIS
Kau masih berteriak-teriak gelegar ke setiap penjuru,
menciutkan nyali banyak negeri. “Usamah, Abdullah, Umar,
Muhammad, Ibrahim” itu nama-nama para teroris,
katamu dan kau menyebut penuh prasangka nama-nama
para ulama dalam daftar yang sungguh panjang
Pada saat yang sama, kau sang pemimpin polisi dunia,
menikmati pertunjukan di Palestina sambil memaki para
pejuang kemerdekaan Palestina sebagai teroris serta
bersalaman dengan Sharon sang penjagal
Padahal Palestina berjuang untuk merdeka dari kebiadaban
Zionis Israel

TAMAT.
Jendela waktu
noktah kecil
debu Januari
dan kopi yang berhenti
mengepulkan
sebuah wajah
: Bagaimana rasanya rindu yang selesai?

KANGEN
Telah kutuliskan puisi-puisi itu
sejak usiamu 26 tahun
ketika pertama kali kita bertukar senyum
pada jarak pandang yang begitu dekat

Kau ingat,
saat kubisikkan mungkin aku tak perlu matahari,
bulan atau bintang lagi
cukup kau, cahaya yang Dia kirimkan untukku

Ah, apa kau masih menyimpan puisi-puisi itu?

Belasan tahun kemudian
aku masih menikmati
mengirimimu puisi
hingga hari ini
aku pun menjelma hujan yang enggan berhenti di berandamu
bersama angin yang selalu kasmaran

Kau tahu, aku masih saja menatapmu
dengan mataku yang dulu
lelaki sederhana berhati samudera
yang selalu membawaku berlabuh padaNya

Pada berkali masa, kau pernah berkata,
"Aku tahu, Aku hanya ingin menikahi jiwamu selalu"
(HTR)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar