Kamis, 25 Juni 2015

PUISI-PUISI KORRIE LAYUN RAMPAN

KUTEMPUH JALAN-JALAN LENGANG

Kutempuh jalan-jalan lengang, derita-Mu
menghadang
Demikian tertib nasib menyalib
Dari pusat hari-hari-Mu yang rumit

Kutempuh jalan-jalan sepi, cinta mekar dalam
bunga-bunga sunyi
Hidup berbeban juang, sepanjang tubir hari-hari
yang garang
Tak berdalih, antara derita dan ketawa
Makna hidup latah cinta, gelepar-Mu yang
menggemuruh di dada
1974 

 

MAHAKAM

Senja pun membenam dalam tragedi
Abad ini
jalan ini semakin sunyi
Tapi kita tak sampai-sampai juga

Angin dari relung itu
Semakin runcing
Dan menciptakan garis ungu

Haruskah ke arah lain jalan pantai
kita kawinkan sepi
Antara dua badai?!

Tualang panjang ini
Semakin jauh semakin lengang
Langkah pun lelah menapak juang

Lalu kelepak yang menjauh
Longsong itu
Tanggalan pun jatuh

Tinggallah gerimis renyai
Dan bait-bait sunyi
Ketika jam pun sampai
Menunjuk-nunjuk tempat sepi
1974 

 

Z

Siapakah yang pulang dengan langkah masai
menyandang duka Adam yang pertama
mengempang arus sungai, membadung nasibnya?

Iakah itu pelancong tak bernama.
Menyusur semenanjung tenggara
istirah ke sini. Menawarkan senja dalam desau prahara
setelah lelah mengedangkan jaring nasib melawan bencana

Siapakah masih mengaliri aku, o, sungai derita
rakit-rakit sarat biduk-biduk dan tongkang, detak jantung luka
memeram musim memberat mengimpikan birahi pada pulungnya
lakah itu yang menggedor pintu dan jendela
malam-malam begini. Dukakah itu duka dunia
menyusur sungaiku yang terus mengaliri dasar jiwa

Siapakah yang pulang dengan langkah masai
menyandang duka Adam yang pertama
mengempang arus sungai, membadung nasibnya?
1974 

 

GERIMIS PAGI INI

Gerimis pagi ini
Adalah gerimis tangis zaman
Ketika sekawanan burung luka
Mencakar tangkai jantung derita

Gerimis pagi ini
Adalah gerimis tangis insani
Karena rahang-rahang kemerdekaan
Disekap moncong-moncong pertikaian
Dan tersumpal luka yang tak kunjung tersembuhkan

Gerimis pagi ini
Adalah gerimis tangis kita
Karena di tengah kelu dan borok dunia
Tuhan tetap mengulurkan berjuta sauh cinta
1974

 

DI TENGAH GALAU RIUH RENDAH ABAD INI

Aku terbanting atas lantai kehidupan
Karena beban seribu jalan
Sukmaku yang gelisah resah
Merangkai sajak tak tersua
Sementara tangan tegang kaku menyandang sunyi
Membusur panah ke jantung waktu
Cintaku yang perih dalam pusat pusaran segala rindu

Memang laut-Mu teramat dalam terduga segala cinta
Dataran lekang kemarau menunggu waktu demi waktu
Adakah kita mampu menyimak segala rahasia
Yang bermain antara gelap dan denyar cahaya?

Adalah semuanya berpulang kepada janji, kepada sunyi
Cinta yang memahat-mahat setiap bait abadi
Bagai hujan yang setia mencuci lantai bumi
Menyelesaikan sebait puisi

Aku terbanting di atas lantai kehidupan
Rebah di tengah galau riuh rendah abad ini
Dan luka-luka
1974

 

PERJALANAN INI

Perjalanan ini
menyusuri langsai-langsai kehidupan
menyusuri luka demi luka
menyusuri gigiran abad padang-padang lengang
menyusuri matahari
dan lautan abadi dahsyat sunyi

Perjalanan ini
menyusuri pantai sukma demi sukma
menyusuri geliat urat-urat hari
menyusuri dasar telaga lembah jiwa
dan tanah hitam coklat merah
sepanjang rentangan tali benang-benang nurani

Perjalanan ini
menyusuri perigi dunia terik kering
adalah jiwa kita yang lelah

Perjalanan ini
menyusuri bumi pahit manis dan langit asing
adalah kita yang sempoyongan menyandang berjuta beban

Perjalanan ini
menyusuri hutan bentangan sepi bentangan api
adalah kita yang menyandang luka dan seribu jalan
adalah kitayang mendukung senja dan sejuta salib
hitam
1974

 

BUNGA-BUNGA DAUN LURUH

Bunga-bunga daun luruh
Halaman ditinggal adzan
jalanan senyap lubuk terpendam
Ke ujung tangisan

Suara menyapa dalam luruhan
Beranda sunyi menatap halaman
Apakah engkau apakah bosan
Yang setia berdiri di sisi kesepian

Bunga-bunga daun luruh
Halaman itu sunyi ditinggal diam
Pelangi mencium lubuk dan kolam
Kita pun di sini ngungun dalam gerimis duka jatuh
Menghitung-hitung sukma hari-had dekat dan jauh
1974

 

KETIKA SOLI DEO GLORIA HAMPIR PENGHABISAN

Kampar waktu pun menghanyutkan kita
Dalam arus zaman
Selalu tiran berceloteh dengan makna ganda
Seakan pelog-pelog burung malang atas ranting yang rapuh
Terus memasang sarang dalam bringas angin puyuh

Di jingga transisi ini
Dewa-dewa mabuk matahari
Mentalkinkan riwayat
Menggiring gamelan yang tiba-tiba
mengatmosfirkan sunyi
Mencuci kemarau pekat

Di aula ini di depan audensia
Terdampar kampar waktu
Dan di tengah padang celoteh aneh ini
Kita saling tuding-menuding
Dalam lilitan benang mursal
Sementara di arah lain angin bangkit membagal
Pantai niskala. Terkesiap kita tiba-tiba

Tiba-tiba hingar. Ruang: Mahsyarl

(Selalu tertawa waktu membujuk-bujuk senja
Sambil membetulkan jam yang buru-buru
menunjuk-nunjuk jadwal)
1973

 

KOTA

Kotaku di sini
Gemuruh yang sunyi
Belantara kembara
ke dasar sukma
ke dalam

Kotaku di sini
Bermatahari berbulan
Di bendulnya aku berdiri
Mengaca diri kehidupan
ke lubuk-Mu dalam

Kotaku di gemuruh dada
Di ujung sukma
Megah
Api nur di sana
BaQa
Kotaku, kota kita
Kota umat
Ke mana suatu kali nanti kita berangkat
1973

 

SENJA DI PARANGTRITIS

Sayap-sayap camar, gaung-Mu berkabar
Serpotong awan luka
menyingkap wajah-Mu bercadar

Bias larut. Legam laut dan senja tertawa
Ada yang luruh di dada. Busuran ujung langit terbakar
Suratan-Mu mistery beribu khabar

Riap sunyi bayang-bayang. Menyusup bendul luka
Di pantai Nyai Roro Kidul. Menanti kekasih pawang
Dengan sekepal jampi mantera
1973

 

SANG WAKTU PUN TERBANGUN

Sang waktu pun terbangun dengan 100 matahari
Dan kucuran darah dari nganga liang-liang luka
Ketika ludah-ludah dunia yang amis
Jatuh rimis pada wajah-wajah kita yang terbakar

Sang waktu pun terbangun dalam angin runcing
Dalam suara gaib lorong-lorong hampa dan bahana cahaya
Ketika kapal-kapal kita pun merapat di dermaga luka
Dari suatu petang entah di mana

Sang waktu pun terbangun dengan 1000 bianglala
Dan nanah-nanah darah Semesta
Karena 29 anak panah
Merobek rahim jantung lukanya

Sang waktu pun terbangun dalam erangan ombak-ombak dunia
Dalam bayang bulan hitam ketika mega jatuh senja
Sang waktu pun terbangun dalam rabu dan nyali kita
Ketika bahana terakhir menikam dinding-dinding sukma semesta
Ketika di meja sebuah kitab terbuka siap dengan daftar nama-nama
1973

 

KITA

Manusia
Tanah
Bungkah-bungkah kata
Adam dan Hawa

Manusia
Tulang-tulang kapur tanah kubur
Rumput bunga layu
Tetes waktu berlalu

Manusia
Domba-domba di padang tanpa gembala
Tersesat sendiri
Ke ujung yang sunyi

Manusia
Tanah
Bungkah-bungkah kata
Adam dan Hawa
1973 

 

DARI A KE Z

Lengan-lengan yang capai
Suara gaib itu
Pohon-pohon kadasai
Berjajar membisiki waktu

Ujung cakrawala
Daun violet sayap rama-rama
Sepotong bulan sabit
Mengintip celah-celah luka berdarah

Riap lalang dan kaki-kaki kerbau
Lumpur rawa dan suara serangga
Gigir bukit yang sunyi
Menanti teka-teki
1973

 

ENGKAU DAN AKU

Dahulu kita bertikai
Antara jalanmu jalanku
Sekarang kita sampai
Antara dua siku

Dahulu engkau ke sana
Aku pun melangkah ke anu
Sang Kala memutar kompas di belakang kita
Sekarang engkau dan aku

Engkau memetik melati
Aku menyiapkan api
Engkau menangis di sini
Aku tak tahu akan pergi

Pintu belantara itu terbuka
Burung-burung rimba berkeliaran
Kita telah sampai di ujung jalan
Memandang tamasya di sana

Siapakah engkau siapakah aku
Siapakah kita yang tersedu di ujung jalan itu
1973 

 

CERMIN

Ada sejuta serigala
Memburu di cermin wajah kita
Lapar dan ganas
Gagak-gagak menyanyi ke arah rimba
Seperti menyayat-nyayat daging kita

Matahari meratap
Dalam remukan-remukan cermin dingin
Telaga mengaca darah hitam
Ada luka yang mengucur darah

Kita ditinggal ngungun bayang cermin ini
Serigala-serigala melulung
Gagak-gagak berteriak
Darah tetap mengucur dari luka demi luka
Kita tiba-tiba pecah dan terserak dalam cermin
wajah-wajah kita
(0, Yang Ada
Kita hanya berteriak, "aduh!" dan meraba-raba)
1973

 

PUISI

Jalan ini berdebu, kekasih
Terbentang di padang rasa
Enam belas matahari memanah dari enam belas ufuk
Siang pun garang sepanjang kulminasi

Bahak malam mengikut pelan langkah tertatih
Ketipak bulan putih
Di taman kekasih

Pengantinku
Antara kerikil dan pasir merah
Tersembunyi jejak-jejak yang singgah
1973 

 

KOTA KITA DI SINI

Kota kita di sini
Dijilat ruh-ruh hidup dan mati

Kota kita di sini
Petak-petak pahir manis dan asam
Menderu diketermanguan
Berpeluh manik-manik logam

Kota kita di sini
Diri kehidupan yang gelisah
Memanjat rumah demi rumah
1973 

 

RAHASIA

Seperti sejumlah kata
Yang menggelepar ke luar
Meniti buih demi buih
Dunia yang terlantar

Seperti sejumlah musim
Yang kering, basah, dan mandi cahaya
Merangkak pada sumbu
jantung kita

Seperti sejumlah risau, benci dan cinta
Yang berpendar pada waktu
Menggaram akar-akar nafsu
Antara Adam lagu impian ziarahmu

Seperti sejumlah kata
Yang menyalin nama-nama
Meniti buih demi buih
jiwa kita
1973

 

PINTU

Pintu biru diketuk dari luar
Siapakah yang berdiri di situ
Dengan suara yang lirih samar

Kujenguk dari jendela bersama angin gemetar
Hanya sebuah kenangan yang luka
Bernyanyi, bernyanyi ke ujung apar
1973 

 

TARAKAN

Pulau kecil mendongak langit
Dan mengaca taut yang tertawa
Angin di bandar dan pawang
Membaca mantera buaya

Tambur perang di dadanya
Mengetuk-ketuk jantung lukal
1973 

 

1973

Antara baunan jejak-jejak waktu
Dan 1.000.000 luka bayang
Kitalah musafir hilang
Mencari gelepar sisa pagi

Adalah perih luka
Garaman cuka peristiwa-peristiwa hari
Adalah 1001 tangan topan
Memukul jantung pelabuhan penghabisan

Tinggal torehan-torehan impian
Pada wajah dan seluruh tubuh
Bersimbah darah dan peluh
1973

 

DOA SEORANG BOCAH TUNA

Berikan padaku pagi
Cahaya dan kebun bunga
Sungai membelah cakrawala
Lubuk-Mu kaca

Berikan padaku siang
Terik didih warna kehidupan
Benua jauh dan tanjung pulau
Tugu-Mu yang kukuh di tengah desau

Berikan padaku senja
Cangkir kopi, perapian dan buku tua
Kacara rabun dan pantai sejarah
Bukit-Mu megah
1973

 

DALAM KIRAI SAYAP WAKTU

Dalam kirai sayap waktu
Engkaukah di situ
Suara samar lirih
Seakan-akan merangkai tasbih

Gugusan kebun apel
Suara serangga
Meramu kehidupan

Seekor serangga
Meramu daun hijau
Seekor serangga
Membangunkan rumahnya
1973 

 

KUTULIS

Kutulis dalam senyum
Hari-hari yang ranum
Sekepal puisi cinta
Membantun sukma kehidupan

Kutulis dalam tangis
Hari-hari yang manis
Sekepal puisi cinta
Gairah dada remaja

Kutulis dalam tawa
Hari-hari berlumur duka
Sekepal puisi cinta
Melayah bicara
1973

 

DARI RIMBA KEHIDUPAN

Hutan daun-daun pohon
Menjangan di sisi telaga
Ada jerit dari rahim bumi tertahan
Geliat menjangan diterkam lawan

Bundakah itu atau langit pemberi kehidupan
Atau Kau atau siapa bersisi api sunyi
Kegelisahan ini adalah pertempuran
Bila reda bila gapai penghabisan

Jauh ada senyap dekat sukma dedaunan
Desah bisik-bisik musim ke ujung kehidupan
Gelepar sayap rantai dari lubuk jauhari
Ke rongga telaga itu jerit yang sunyi

Menjangan, telaga, dedaunan hijau
Sejuta senja terbantun
Kau dan aku dalam ngungun waktu
Kau dan akul
1973 

 

SURAT

Surat ini
Kembang merah dalam hijau
Di bibir danau

Surat ini
Bunga putih dalam biru
Mekar di dasar benua
Dada penyair yang gelisah

Surat ini
Lukisan hari demi hari
Bisik riuh sukma kehidupan
Ke gigir telaga pualam

Surat ini
Untaian kalung khatulistiwa
Yang terserak di antara kita
1973

 

SERENADE HAMPIR PENGHABISAN

Dari pantai itu masih terdengar ujung siul
Dan lagu burung menyambut matahari dan mega timbul

Adalah taman dan bulan mengeras pada padas
Dan sepotong sajak dari bait terlepas

Selebihnya tapak kaki pada pasir tertimbun
Ketika angin mati gemetar menyinggahi rumpun
1973 

 

SEPASANG BURUNG

(Sepasang burung menyerbu pucuk-pucuk bakau
Sepasang burung berlagu menghalau kemarau)

Tinggal gemuruh. Gemuruh hari
Tinggal terik yang keluh kesah
Sepasang dua sejoli
Memandang awan singgah

(Sepasang burung melayah cemara-cemara kota
Sepasang burung berkisah tentang senja)
1972 

 

ADAKAH ENGKAU TETAP DI SANA

Adakah engkau tetap di sana
Memandang awan raib dan pasir penuh bulan
Adakah engkau tetap di sana
Memandang teka-teki nasib ini
Memandang gelepar sayap kata-kata
Yang disusun menurut abjad dengan raji dan setia

Adakah engkau tetap di sana
Memandang kelabu kota dan bumi yang gempita
Memandang burung dan dentur ombak dari rahim telaga
Yang menderu tak kenal waktu mendepak bingkai pematang kita

Adakah engkau tetap di sana
Memandang dan memandang lagi
Memandang bayang-bayang yang dihalau kemarau

Memandang senjakala
Dan iringan sayap-sayap kelelawar
Yang memintas-mintas senja samar
1972

 

MENUNGGU MALAM DI SINI

Menunggu malam di sini
Menunggu laut dan pantai legam
menunggu matahari
Dan seluruh gambar perwujudan

Menunggu malam di sini
menunggu genderang pembebasan
Yang ditabuh ruh-ruh
Dari puncak seribu menara

Menunggu malam di sini
Menunggu kapal-kapal dan sampan nelayan
Menunggu gelepar camar dan harum sayap rama-rama
Serta angin yang membersihkan pelabuhan di malam sisa

Menunggu malam di sini
Menunggu warna-warna mimpi
Yang dipukuli ombak
Menunggu malam di sini
Menunggu bisik-bisik harap
Menunggu langit pijaran api
Dan suara-suara gaib
Melayah ombak yang dahaga sendiri
1972

 

CERMIN

Ada sejuta serigala
Memburu di cermin wajah kita
Lapar dan ganas
gagak-gagak menyanyi ke arah rimba
Seperti menyayat-nyayat daging kita
Matahari meratap
Dalam remukan-remukan cermin dingin
Telaga mengaca darah hitam
Ada luka yang mengucur darah
Kita ditinggal ngungun bayang cermin ini
Serigala-serigala melulung
Gagak-gagak berteriak
darah tetap mengucur dari luka demi luka
Kita tiba-tiba pecah dan tersentak dalam cermin wajah kita
(O, yang ada
Kita hanya berteriak ‘aduh’ dan meraba-raba)

 

PERJALANAN

Bayangan kekasih yang tulus
Pergi bersama matahari
Bumipun pupus segala tuntas dan aus
Juga sunyi nyanyian kudus
Siapa yang menyeru dari balik hari
Mengetuk lukuk likukan nurani
Segala hanyut : jiwa dan hati
Tuhanku yang di pintu menanti ?
Irama yang salih menyeru malam putih
Gadiskukah yang di sana melambai sayup
Aku terhenyak aku masih merangkai tasbih
Menyisir peluru menyisih dosa hujan yang kuyub
Pada meja aku menghabiskan gelas
Tuak dan Tuhan dan kekasih yang tak ternoda
Menyanyikan keras-keras firman dari kitab pada nabi
Seru-Mu dari sunyi : ‘Fajar ! Fajar ! Matahari !’

 

ELEGI

Gerimis pun memahat-mahat kaca
jendela. Dan di luar pintu
kita masih setia menunggu
musim tak lalu !
Bunga-bunga. Aromanya mengeras
di atas lanyai bumi
Dan kematian selalu memanggil-manggil
usia ! dari balik jendela
nestapa. Mengelupas kita dalam dingin menggigil
Betapa pahit dosa dan cinta
di mulut kita
yang dikunyah : darah
Di jendela tinggal matahari.
Berahi dan bunga sepi.

AKU MEMILIH
Aku memilih tanah
Tapi ayahku berang
Ia memberiku sungai,
“Datangi sumbernya di udik sana,
Yang mancur di antara akar dan batu-batu.”

Aku memilih arus
Tapi abang memberiku air
“Ikuti arusnya sampai muara,”
Suaranya menghentak jiwa.

Aku ragu saat kudengar suara ibu
Yang mana harus kupilih
Muara atau sumbernya.
“Kau harus pilih kehidupan,”
ibuku tersenyum sambil meraba cahaya harapan

Aku gagu melangkah di antara tasik dan pegunungan
Di manakah kehidupan?
Adikku berseru, “Kau harus pilih hati dan cinta
Sumber segala cahaya.”

Di antara enggan dan keinginan
Aku bertanya rumah cinta
Di mana?

“Yang bersih hanya kasih,”
Kakekku berkata menunjukkan benih
Aku tengadahkan dada
“Di sini?” aku menunjukkan kepala

“Bahagia selalu ada di dalam sepi dan ramai,”
Nenekku menimpali sambil membersihkan kuali
Adakah kehidupan berbiak di antara tungku
Di dasar nyala api?

Aku menyusuri segala mula jadi
Fajar di kaki: di mataku jalan panjang sekali!

SERULINGMUKAH MENGHANYUTKAN TONGKANG
Serulingmukah menghanyutkan tongkang
Menggapai sungai
Menambur di arus deras
Menghamburkan lagu ke cakrawala bebas

Segala perih dini hari
Membersihkan beranda
Tanpa restu
Bayang wajahmu yang menunggu

Kelap-kelip mimpi yang diburu
Seperti penantian
Seperti perkawinan
Rahasia kado kehidupan

Waktu pun memuja
Sunyi yang tua
Segalanya padang rawa
Kematian tanpa kata-kata

Perpisahan tiada
Perih nadi, arus, dan air
Lidah yang dahaga
Duka anyir

Serulingmukah mengalun dalam tongkang
Mendarah luka
Segala fana menderai sungai
Menunjuk-nunjuk pelayaran muara

UPACARA BULAN
Upacara bulan di ranting-ranting jiwa
Memelihara serangga
Lalu matahari esok hari
Mendirikan kemah-kemah semut api

Para bidadari menarikan birahi
Di gerbang-gerbang kehidupan
Kaudengar ketukan demi ketukan
Di pintu-pintu hati kita?

Yang diserukan sauh pada lautan
Kapal dermaga kita
Yang diserukan mercusuar
Nyawa cinta yang gemetar!

Adakah kaudengar telepon hati
Yang berbicara tentang kejujuran budi
Dunia kita
Tentang sakit dan derita?

Upacara matahari di pusaran waktu
Memelihara padi
Di ladang-ladang berdarah
Di kota-kota kesangsian

Kecemasan purba melekat di dahi dan ubun kita
Tanda di pundak-pundak sejarah
Kaulihat langit merendah
Menyerbumu dengan kesangsian derita!

ROH ANGIN
Roh angin mencari akar pohon
Yang tertanam di pusat bumi
Sementara pohon-pohon hilang dari rimba
Meninggalkan luka zaman

Musik tanah menangisi kuburan
Menangisi gurun padang kesuburan
Kesetiaan diuji dunia yang tuli dan buta
Lewat derita dan kematian

Roh malam memburu sayap rindu
Mengejar kereta pulang
Sayup lagu “gugur bunga”
Tak alang kepalang

Tangkai-tangkai rahasia
Menulisi kegelapan tebing
Di nisan-nisan di batu-batu
Mengurai kecewa

Di halaman yang beku oleh derita
Roh pagi bangkit bersama cinta
Memanggilmu dalam doa
Mengubur luka

Roh segala roh bersatu dalam jiwa
Berenang bersama anak-anak bulan
Melepas lambaian keranda ke wilayah gulita
Mengusap tolakan gerimis keabadian!

KUALA LUMPUR
Suara seperti kehilangan suara
Antara lidah melayu dan logat eropa
Lift dan tandas
Banjir ilusi: hujan kota menderas!

Antara gedung dan oto menderu
Antara rumah dan sungai itu
Suara pesawat dan kereta api lalu
: Kita bertemu

Panjangnya garis sejarah
Memintas masa silam
Musim demi musim yang runcing
: Patah di tengah

Kini banjir kenangan
Negeri kuyub waktu
Seribu tamu para antrean
: Mengetuk pintu!

MANILA
Batu tengah kota
Air melimpah

Merembes tanah
Luka di dada

Gunung api
Pelabuhan sepi

Franky*
Rayap di tengah buku
------- 
* Sastrawan F. Sionil Jose

EPITAF
kepada (alm) soesilo murti

Serasa masih ada yang berkata-kata
Menyeru seperti lagu
Seperti sosok wajah tertawa
Bayang-bayang yang berlalu di pintu

Datang pada hidup dan pergi
Meninggalkan meja ruang hampa
Luruh bunga tak kembali
Pada rumah dan kawan sekerja

Lugas dalam tugas pekerjaan
Perihnya membenih dan menanam
Sumringah dalam laku kehidupan
Biru langit dan matahari terbenam

Ada kata-kata ada suara tersimpan
Ada kenangan ada gairah kerja menanti
Ada sepi ada duka tak terucapkan
Yang luruh diam-diam pada dataran hati

Yang berdiri depan pintu mengucapkan salam
Yang duduk di kursi melukiskan kata diam
Yang melangkah sendiri di jalan pulang
Yang menanam bunga kuntum-kuntum kasih sayang

Segala silam dalam cinta
: Indahnya kehidupan
Di atas jalan tak bertabur bunga

KATEKISASI
Hatiku yang hitam telah memetik bedil
Dengan tangan kekasih
Di ujung pelarian aku masih coba memandang: nihil
Terlihat dalam diriku pertempuran kaum salih

Dengan hati merah aku membakar matahari
Menggulir bola-bola nestapa
Tuhan terus memetik kecapi di hutan-hutan sunyi
Membungkas jiwa yang diam, o, sang pertapa

Kekasih terus bertanya tentang harga kesetiaan
Tentang kejauhan arasy-Mu
Aku menunjuk ke puncak terus ke bawah ke dataran
Kepada hidup dan jawaban yang tersimpan dalam kalbu

Kita berhenti pada luka
Tepi hari-hari mati
Kupersembahkan hati, jiwa semesta
Ayat-ayat fana, jantung tertidur pagi hari


LETUPAN BAMBU, TAMBUR UPACARA
Letupan bambu, tambur upacara
Menyala di air
Kaki-kaki telanjang
Giring-giring
Malam menari
Bulan

Bulan di langit-langit
Lou
Seribu ancak
Lilin
Pisang dan ubi
Balai-balai permandian
Daun lenjuang
Getang
Tarian malam
Mengupas malam

“Yang sakit bawa ke sini
Yang muntah dan mandul
Yang pekung dan lepra
Bawa ke sini
Yang kehilangan …
Seribu satu penyakit badan dan jiwa!”

Tambur mengeras
Dalam malam keras,
“Segala penyakit pergi
Encok, koreng gatal
Lumpuh dan penyakit mata
Jantung demam kura
Pergi semua
Ke hutan-hutan tak bertuan!”

Sepuluh penari
Sepuluh mangkuk lilin
Menari dalam gelap

Beras kuning
Terbang ke udara
Beras putih-hitam
Terbang ke udara
Sukma pulang ke sukma

Ancak piring upacara
Tambur leluhur
Lemang ketupat tumpi
Dibagi baki
Panggang ayam panggang babi
Salawat api
Yang merecik di dapur dupa
Akar wangi
Yang menutup serapah upacara
Balian mulut waktu,
“Pulang semua pulang
Yang tinggal punggawa
Penjaga badan jiwa!”

Malam mengucapkan tanah
“Hari! Hari!”

ADA
Ada belantara dalam diri kita
Durinya amat lebat
Ada laut dalam diri kita
Derunya tak kenal waktu
Ada api dalam diri kita
Nyalanya membakar segala
Ada dengki dan cemburu dalam diri kita
Perihnya mengiris dinding hati
Ada cinta dalam diri kita
Tumbuh dalam taman bunga-bunga terlarang
Ada yang tak terkatakan dalam diri kita
Ada: …!


KUBIARKAN
Kubiarkan tulang-belulangku
Mengadu kepada langit
Kubiarkan kuku dan rambutku
Mengadu kepada bulan
Kubiarkan mataku
Mengadu kepada matahari
Kubiarkan darahku
Mengadu kepada bumi

Kubiarkan! (adikku terus menari!)

Segala mengadu kepada tiada
Celaka!
Gerak batin dan jiwa
Mengadu kepada cuaca
Segala mengadu kepada keabadian

Kubiarkan! (hanya secercah isyarat dian!)

Segala gerhana di mulut
Segala gempa di telinga
Segala kerongkongan dahaga

Kubiarkan segala!

Kota-kota tak henti berjudi
Perawan kehilangan angin
Lalu matahari membela hawa

Terbakar jurang kehidupan!

Siapa namamu?
Kesunyian?
Siapa namamu?
Kematian?

Serempak segala mengadu pada darah
Siapkah?
Ibu atau wanita pujaan dunia?

Siapkah?
Kubiarkan!
Kau atau aku?

SISI MALAM
Sisi malam seperti belati
Seperti rampok
Mabuk kelaparan
Gadis yang ngidam tanpa suami

Perempuan yang memahat-mahat bahagia
Mengasah rahasia bunga
Menertawakan kesedihan
Di pintu marabencana

Sisi kehidupan yang tajam
Setajam pasar dan rupiah
Roh layang-layang kehidupan
Kecambah puisi para bedebah!

Lagu kabut derita yang padat
Mempermalam kota
Rahasia hitam di lorong-lorong
Menanak kengerian di ruang-ruang jiwa

Lalu cakrawala dan bintang kejora
Lalu lautan dan gelombang dunia
Tumpah di ladang-ladang minyak terbakar
Tahun-tahun tanpa akar

Sisi hari yang tajam
Lumpur gerak cahaya
Perjalanan di atas duri
Gadis yang ngidam tanpa suami

MANTRA PERKAWINAN ANYEQ HALING UBUNG DO DENGAN WAU NUKING UNG*
Inilah adat aveq, upacara perkawinan
Anyeq Haling Ubung Do dengan Wau Nuking Ung
Putra yang diturunkan Tamai Tingai Buring Aring
Dengan putri kayangan
Yang menjelja jadi manusia
Seperti kita.

Tamai Tingai Buring Aring
Dan semua arwah leluhur seperti kakek dan nenek
Datuk dan buyut kita
Sampai ke atas ke silsilah ketujuh belas
Yang memandang dari kejauhan
Ini kami menyapa dengan beras
Nyawa yang menjelma dari alam raya
Sumber kekuatan di dalam kehidupan
Beras yang berasal darimu
Kami hitung sampai delapan

Dengan daun savang akan menghilangkan
Dengan daun ureu akan melenyapkan
Noda dan beban yang melekat
Daki yang mengotori
Badan dan pernikahan agung
Anyeq Haling Ubung Do dengan Wau Nuking Ung

Segala kesialan dan derita,
Segala sakit penyakit dan malapetaka
Lepas dan lenyaplah bersama mendung hilang,
Seiring terbenamnya matahari
Yang pergi ke balik bumi
Kami dipulihkan menjadi putih bersih
Murni kembali seperti sediakala

Ini saya mengait dengan kawit aveng
Saya kait dengan kawit deset
Harap kami pada Tamai Tingai Buring Aring
Nasib dan kehidupan baik
Kelayakan sempurna dalam kehidupan
Anyeq Haling Ubung Do dan Wau Nuking Ung
Kekal selama-lamanya
******
Minumlah dari tuwung bambu
Air yang diciptakan Tamai Tingai Buring Aring
Air yang menyejukkan badan
Air yang memberi kehidupan
Air yang sejuk dan dingin
Yang mendinginkan sendi-sendi kehidupan
Agar Anyeq Haling Ubung Do dan Wau Nuking Ung
Damai bahagia selama-lamanya
Bersama damai bumi yang setia
Menerima segala tiba
******
Kini saatnya mengikat gelang manic
Pada pergelangan tangan pengantin
Ini ikatan nasib mujur kebaikan
Mengikat suasana kekeluargaan
Semuanya menyatu dalam kehidupan
Kukuh kuat tegar
Seperti manik yang indah
Melingkar di pergelangan tangan
Pengantin kehidupan

Tiba masa pengantin untuk menyantap
Nasi dan garam
Nasi yang memberi napas
Garam yang mengawetkan
Sehingga hidup jadi kekal kebajikan
Karena terlepas dari ketidakpastian
Semua keturunan lebih berarti
Laksana cahaya suar di gelap malam
Tak akan pudar
Seperti cahaya lentera damar api
Abadi
Selama-lamanya
*****
Inilah waktu kehadiran yang ditunggu
Bagi keluarga Anyeq Haling Ubung Do
Dengan Wau Nuking Ung
Menginjakkan telur
Menginjakkan dupa wangi
Menginjakkan kaki di tanah leluhur
Yang penuh rezeki
Gembur subur
Manusia dan tanah menyatu
Dalam kehidupan
Seperti tapak kaki
Menandai kehadiran
Di muka bumi pemberian para dewa
Bersatu untuk menerima berkat
Yang ditarik dari darat
Yang dihela dari sungai kita
Dari huma leluhur semua
Untuk kebaikan kehidupan

Seperti doa yang manjur
Kami sampaikan nasar
Demi umur
Bersama kehadiran Tamai Tingai Buring Aring
Pengantin menerima kemaslahatan
Yang abadi
Tanah ini adalah tanah janjian
Yang mengalirkan harapan
Kebajikan
Pengantin telah menyatu
Dalam kehidupan
Seperti awan menyatu dengan lautan
Seperti asap menyatu dengan api
Semuanya senasib sepenanggungan
Bersama berkat yang berlimpah
Tumpah ruah
Di dalam kehidupan
Anyeq Haling Ubung Do dan Wau Nuking Ung
Hadir kesejukan abadi
Seperti aliran sungai kekal
Dalam kerukunan dan kedamaian
Yang terikat di bumi
Dan di langit keabadian
Tuhan.

*Anyeq Haling Ubung Do dan Wau Nuking Ung diyakini merupakan cikal bakal suku Dayak Bahau yang kini mendiami pehuluan Sungai Mahakam, Kutai Barat, Kaltim.

MATA
isyarat yang menikam jantung hari
pisau, panah, pedang api firdausi
laut: kolam yang dasar tiada
cahaya yang diam-diam mengintip kita

 ZIARAH
telah kutempuh ziarahku setiap waktu
antara pulau kenangan dan jiwa yang bisu
telah kubangun rumah di bibir gelombang dan dada kota
kubangun jembatan antara kebeliaan tua jauhari

hari-hari menepi melawat bersama sauh
siapakah lagi yang mati di sekitar kampung jauh
memanggil bunyian alam dan gong penghabisan
memanggil tangis dan duka yang redam

sebuah legenda mimpi laut
tualang padang akal
kanak-kanak tertawa mengusap mainan mimpi pertama
babak lakon yang bengal

ziarah panjang kekasih sajak
di sini telaga matahari: duniaku terserak!

MAZMUR PAGI
wangi pengantin
napas hayat
: pelaminan

harum kehidupan
mengemaskan fajar
: lembah

merdunya nyanyian tanah air
lagu leluhur kita
: ”lapar! lapar yang baka!”

PINTU
bunyian termanis dari kata
ialah kecantikan
sebagai keindahan yang dapat menaklukkan
segala kekuatan

siapa yang lebih bijak dari alam
Tuhan?
Tuhan adalah keabadian
cinta yang menciptakan kedamaian

siapa yang lebih dari aku
ialah mau
syahwat yang memikul beban zaman
yang tak sampai jalan

apakah yang bernama nilai dan harga
emas? jiwa? atau yang bernama kejayaan
perasaan yang berjalan
likuan maya?

bunyian terpahit dari kata
ialah kecantikan
karena nasib ia menggorok leher sendiri
ketika diri kehilangan diri

diri yang berjalan menyongsong kehidupan
bernyanyi dari ufuk-ufuk hidup
kasih, ini alam murni lagu tak sampai
menyeru dari balik pintu-pintu tertutup!

SAJAK 2
segala memberat  dalam warna transparan
lambang, tema, kerinduan-mu menyapa
jalan berujung cakrawala, titian keabadian
gerak kehidupan, napas, kecintaan penyair tanpa batas

SKETSA
di luar gerbang hingar, lagu-lagu liar, bendera kain rombeng
hari-hari mengandung lapar, musim berdenyar, lonceng
                                                                             berkeloneng
bapa! bapa! petaka apakah ini, atau gethsemani
duka firdausi?

RUMAH SAKIT CIKINI 29 APRIL 1978
yang bangkit dalam waktu
dalam sabda
riang suara-suara gembira

kami berpaling kami menatap ke depan
dinding dan pilar-pilar pualam
jajaran firman dahulu kala

yang terjadi dari kata
cinta yang dulu juga
lubuk kasih setia
temali jiwa

kami melangkah kami memasang arah
jalanan dalam arus
damai yang kudus

yang mekar dari tanah janjian
bunga pohon-pohon hidup
khuldi keabadian

ROH YANG PERGI KE SWARGA
roh yang pergi ke swarga
dari lepasan derita
kerbau ditombak di belontakng
ayam disabung di halaman
babi disembelih
tuak-tuak mengalir
keringat mengalir!

irama titi dan tangis
menciptakan tangga
desahan napas kerbau
menciptakan pintu
yang menuju ke dunia atas

dalam kelahiran
hidup dimulai
upacara bayi merah
dalam perkawinan

hidup dimulai dalam hidup
pelahiran generasi
dalam kematian
hidup dimulai di dunia baru
dalam hidup baru

roh berjalan ke swarga
meniti benang-benang upacara
napas warisan leluhur

****
Belontankng: patung ulin untuk mengikat kerbau dalam suatu upacara tradeisional dayak
Titi: suara gong ditabuh sebagi tanda kematian
Swarga: surga, menurut kepercayaan dayak benuaq, orang yang meninggal harus dibuat suatu upacara agar roh atau jiwanya bisa masuk ke swarga.

AMUNTAI 16 DESEMBER 2007
Untuk Syarifuddin R dan Y.S. Agus Suseno

berdiri di tepi sungai ini
berdiri di tepi waktu
tepi tahun-tahun pergi
jembatan masa lalu

riak-riak sastra di kota pangeran
riak kisah-kisah dilupa
kapal atau perawan atau adzan
bersaing dengan jiwa bangsawan raja-raja

lalu pagi lalu siang
bersaing dengan hujan dan terik matahari
lalu sajak lalu kisah rancangan lama
menyelam di kedalaman sanubari

siapa membangkitkan batang terendam
cemas anggaraini antemas
perih nyeri burhanuddin soebely
zaman tanpa peduli?

air dan arus dan kapal angkutan
berlaju menembus waktu
masihkah kau di situ
memerih sedu tertahan-tahan?

yang berkhalwat dalam musim
berzikir melepas jisim
adakah masih rumah puisi
tumbuh kata-katamu baiduri?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar