Minggu, 28 Juni 2015

PUISI-PUISI LEON AGUSTA

JALAN RAYA IBU KOTAKudengar topan menggertak dan angin menerjang
“Apakah belum lagi siap; aku tak akan pernah siap”
Bahkan untuk tidur
Tapi aku tertidur juga
Diayunkan deru cemas
Dinyanyikan jeritan badai
Sampai pagi yang pucat
Membangunkanku
“dalam tidur, mimpi buruk selalu mengejarku”
Pagi hari
Musim tampak memanjang oleh cahaya yang rebah
Dari timur
Dan kabut masih kental mendekap jendela
Kutatap Koran pagi yang terhantar lemas di atas meja
“Cinta kekaksihku lenyap di jalan raya”
“Dendam kekasihku berkeliaran di jalan raya”
Aku cemas sebab aku belum kemas untuk menyempatnya
Di senja penghabisan; di jaringan jalan raya ibu kota
Berdebaran aku menunggu begitu gairah
Mendengar nyanyian dan bisikannya
Walau mimpi buruk selalu mengejar

DARI SUATU MASA
“Mungkin, masih ada yang tersisa dari prahara selain
kitab suci dan puisi,” katamu, sembari bergegas pergi
Aku tak begitu sadar, apa pernah mengucapkannya
Gerangan berapa kali atau mungkin tak pernah
Tapi kenapa ada yang mendengar dan mengingatnya
Aku ingin mengatakan, kau mungkin benar
Ketika kau melangkah, meningggalkan pagar terbuka
Aku kira kamu masih akan menoleh sejenak. Kau pun
berangkat, meninggalkan suatu masa yang pincang
Menuju sebuah zaman lain yang belum bernama

KETIKA LANGIT DAN BUMI TAK LAGI TERBAYANGKAN
Apakah aku terlihat siang atau kabut atau debu-debu
Tak tahulah. Sungguh tak lagi terbayangkan
Tapi barangkali ketika itu di suatu senja yang asing
Aku pernah punya wajah buat dikenal. Wajahku
Barangkali ketika itu aku hendak mengenangnya
Sebagai tanda dari perkenalan yang diterima
Sebagai tanda dari percintaan yang selesai buat mencipta
Atau barangkali pernah pula ada perkenalan yang lain
Namun segalanya jadi lupa. Tak lagi terpikirkan. Pula
Bagaimana aku kan tahu sekiranya masih ada saat dan ketika
Masih meniti nafas dalam kesendirian yang lemas indera
Bahkan maut pun tak tersapa dan cinta pun tiada bangkit
Cuma, ada perasaan kehilangan yang melaju. Melaju.
Kehilangan di daerah pengasingan. Terhantar di sini
Dalam segala tak lagi punya warna atau ungkapan
Ketika langit dan bumi tak lagi terbayangkan

CATATAN HUKLA MEI 2008
Puluhan ribu senja tenggelam
Dalam kabut remang-remang labirin
Sejak terlihat ada pohon tumbuh di atas kertas
Dulunya kabur namun kini tampak rimbun
Menjelma jadi taman impian
Daun-daun berguguran jadi dendang kata-kata
Di atas kertas-kertas resmi, dalam aneka risalah
Memuat pasal demi pasal dan ayat demi ayat
Maka terjadilah
Bibit tumbuh bersemi di negeri nusa-antara
Lebat buahnya berjatuhan di negeri tetangga
Pasal-pasal tak sakral
Ayat-ayat pun tak suci
Hanya taman
Yang terlarang
Kini genderang mulai riuh bertalu
Barisan gelombang menderu berpacu
Tanpa bimbang dan ragu
Gemertap maju menyerbu
Hukla, ke taman impian menuju

KISAH BURUNG-BURUNG BEO
Burung beo di dalam sangkar itu
Dulunya adalah seorang filosof
Konon kata orang dia juga seorang ahli hukum
Bertahun-tahun dalam hidupnya dia telah dengan gigih
Mengajarkan kejujuran dan keadilan bagi rakyatnya
Hingga, setelah melalui perjalanan yang panjang
Dia sampai di satu tikungan berbukit batu.
Ia teramat letih.
Dan seseorang pun datang
Membisikkan sesuatu kepadanya
Kemudian, mereka menghilang di balik tikungan itu
Lama sekali tak ada kabar tentang sang filosof
Gema suaranya pun sudah menghilang
Sampai suatu hari orang-orang mulai mendengar cerita
Tentang burung-burung beo yang tinggal dalam sangkar emas
Gemuk-gemuk dan sangat manja, tapi sangat pendendam
Konon, seekor diantaranya adalah filosof itu
Kini, bila anakku Hukla Inna Alyssa mendengar
Orang-orang bicara lembut penuh petunjuk dan ajaran
Segera saja ia menutup kedua telinganya
Dan menatap dengan jelas kemudian wajahnya pucat pasi
Melihat banyaknya burung-burung beo menyamar jadi filosof

TENTANG LEON AGUSTA
Leon Agusta (Ridwan Ilyas) lahir di Desa Sigiran, daerah pinggiran Danau Maninjau, 1938. Pernah mengikuti International Writing Program di Iowa University, tahun 1976 dan 1978. Karya-karyanya, berupa puisi, cerpen, esei, dan novel, dimuat di berbagai media massa, termasuk Horison, dan diterbitkan dalam sejumlah buku antologi. Walaupun usianya sudah kepala enam, Leon masih aktif menulis puisi, dan mengikuti berbagai forum sastra di dalam dan luar negeri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar