Kamis, 25 Juni 2015

PUISI-PUISI INGGIT PUTRIA MARGA

PEMBAWA KINCIR
rambutmu meriap seperti garis-garis petir, ketika kemarin senja
kulihat kau melayang di atas tubuhku sambil membawa kincir
tapi mataku yang berbinar memandangmu saat itu, membuatmu tahu
lidi-lidi dupa yang kubakar tiap senja adalah mantra
yang akan menyihirmu jadi kuda
mungkin murka mungkin bangga
seiring putaran kincir yang tiada berawal-akhir, dari tatapanku kau menyingkir
lenyap sekejap peluh terserap pasir. aku menggigit bibir, terasa sisa putaran kincir
mengapung di angin sepoi semilir. di hatiku sesuatu berdesir, berkata:
pertemuan belum berakhir
pandanganku mencarimu di angkasa
ribuan burung gereja terhambur di bawah awan yang menyusun diri jadi tangga
menuju atap cakrawala. barangkali kau telah di sana, rebah sambil berpikir
mengapa aku hendak menyihirmu jadi kuda. di bumi, aku yang tak merasa dosa,
menutup mata. sisa senja telah mengubah planet ini jadi makam yang jarang
ditaburi bunga
hingga malam hilang hitam
kutunggu kau di padang mimpiku yang hijau, yang terhampar bagi domba-domba
beraroma kacau. namun kau tak lagi terjangkau, pergantian jam pun cuma persalinan
risau. apakah kau tersinggung dan berpikir aku tak serius menganggapmu agung?
sungguh, terlalu lama perjalananku terhenti. jutaan kilometer, padang api, laut duri,
hutan siluman sesak penghuni, membuatku getir meneruskan langkah mencapai asal
diri. sungguh, terlampau panjang waktu kau habiskan untuk memutar kincir
di ruang tersembunyi, menghindari para pencari, menghilang bahkan dari makna
terdalam sebuah puisi
senja ini kubakar lagi untukmu beberapa lidi dupa
datanglah. jika mantraku berhasil menyihirmu jadi kuda, kau akan lebih berguna
perjalananku mencapai asal diri yang lama terhenti pun
kembali bermula
2009

BOLA KRISTAL
padahal sebelum sangkar hidup mengurungmu
aku telah menegurmu:
di telaga keruh, takkan membayang bulan meski separuh
bila genderang angin puyuh masih tertabuh
tiada mungkin tegak si gubuk rapuh
tapi umpama lampu penyepele kegelapan
betapa ringan kata-kataku kau silaukan
kau pergi sepergi asap meninggalkan api
di bara, aku sunyi pemeluk api
berwajah pucat terigu, setelah lima ribu malam bergerak
sepelan sayap debu, sore ini kau datang lagi padaku
kerut tangan, kabur pengelihatan, samar pendengaran
bukti sangkar hidup belum melepas statusmu sebagai tawanan
garis tubuh dan rambutmu mengaku
kini kau hantu labirin batu
labirin hasrat yang membuat anganmu terhempas
pada pemilik cinta yang sesempurna hawa dingin
pemilik cinta yang paling angin di antara semua angin
penujum, andai dulu kau bukan lampu penyepele kegelapan
maka kini di antara angin lebat pemutar roda musim
kujadikan kau selembar telaga jernih
tempat beragam bentuk bulan membayang
ratusan lotus mekar takzim menyarang
2009

RODA SUNYI
delapan butir telur embun
pecah di jalan batu
sembilan bulir air waktu
menitik ke kereta abu
di tanganku terbakar kamu:
cakram duri
roda sunyi
energi yang merebutku kembali
dari kurungan debu abadi:
hidup-mati
datang-pergi
membuat kepalaku
berdenyut dihutani ilusi
2008

KATIKA KERETA KAMI BELUM TIBA
kau mau ke mana? tanyaku kepada dia : seorang kawan masa kecil yang kini 165 cm tinggi tubuhnya di atas bangku stasiun kereta
kami duduk menghisap debu mengeluarkannya, menariknya lagi, kemudian menghembuskannya kembali
kamu mau ke mana? dia balas bertanya : sesosok teman masa kecil yang hampir 165 cm tinggi tubuhnya di bawah pantat kami
bangku stasiun kereta duduk menghembuskan debu menghisapnya, mengeluarkannya lagi, lalu menariknya kembali
engkau mau ke mana? tiba-tiba, kami serentak bertanya pada bangku stasiun kereta : sebuah rekan masa kecil yang tak pernah 165 cm tinggi tubuhnya
2007

SUATU HARI DALAM HIDUP GEBE
ditatap matahari selembut roti dari balik terali gebe hasratkan pelarian diri ke tempat tak bersepi, tak bersunyi:
padang duri, kampung kelahiran yang kini hanya dilihatnya bila bermimpi gebe, lelaki yang dipenjara karena mencuri sapi
dari balik terali tak sendiri ditatap matahari di tangan kiri sang pencuri tergenggam roti berbentuk hati hadiah dari istri yang niatkan penggantungan diri di tempat tak bersepi, tak bersunyi
2007

MAGHRIB DI JALAN PULANG
lingkaran angin tapak pinus pecahan batu gunung jalan pulang yang termenung semoga
di bersit sajak sebagai putaran bait lingkaran itu menjadi tubuhku memelihara percakapan mengelupasi ingatan namun, tak mudah gugur bagai hujan lingkaran kesunyian:
jalan pulang yang mengabur pelan nyala hutan lampu sepanjang jalan semoga bersama larik-larik yang teratur lingkaran itu tak mudah luntur
2003-2008

Tentang Inggit Putria Marga:
Inggit Putria Marga lahir di Tanjungkarang, 25 Agustus 1981. Ia aktif di Komunitas Berkat Yakin, Bandar Lampung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar